Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencermati Puisi "Di Kolong Meja" Karya Setia Novanto

16 April 2018   06:51 Diperbarui: 16 April 2018   08:55 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Membaca puisi dari Setia Novanto (SN) yang ditayangkan kompas.com pada Jumat, 13 April 2018, 12.39 WIB, sedikit membuat saya terkejut. Pasalnya, selama ini saya mengenal sosok SN sebagai politikus partai Golkar dengan daerah pemilihan NTT II yang meliputi seluruh Timor, Sumba, Rote dan Sabu. Ia bukan seorang penyair atau sastrawan. Namun dalam sidang penyampaian nota pembelaannya, ia menunjukkan kebolehannya dalam merangkai kata menjadi kalimat yang enak untuk diucap dan didengar. "Wow, hebat". Itu kalimat yang sontak terucap saat saya membaca puisinya.

Puisi merupakan curahan perasaan (subyektif) pengarang yang muncul pada suatu saat yang  bentuknya cukup dilukiskan dengan beberapa kata atau pun kalimat. Karena itu dapat  pula dikatakan bahwa puisi adalah karangan berbahasa pekat dan berisi. Untuk memahami sebuah puisi biasanya tidak cukup dengan membaca sekali atau dua kali.

Membaca puisi ialah menghayati perasaan, pikiran dan angan-angan penciptanya (Surana, 2001: 86). Saya pun mencoba mencermati puisi SN secara serius, meski saya menyadari kalau saya bukanlah seorang kritikus sastra. Saya hanyalah seorang yang enggan lelah untuk belajar.

Sebagai warga NTT dan warga negara Indonesia tentunya, sejujurnya saya bangga pada sosok SN. Bagi saya beliau adalah figur pekerja keras yang patut dijadikan teladan. "...cerita sukses anak manusia yang semula bersahaja akhirnya bisa diikuti siapa saja karena cerdas caranya bekerja." Ini jelas menunjukkan keadaan dirinya yang dulunya sederhana dan tidak diperhitungkan.

Tetapi berkat ketekunan serta kerja keras, ia bisa menjadi pengusaha sukses yang disegani dan diikuti oleh banyak orang. Pada bagian ini, saya pikir banyak orang mengacungkan jempol bahkan "standing ovation" jika mendengarkan bagaimana sepak terjang hidupnya sebelum menjadi seorang politikus.

Beliau memang sudah mendapatkan segalanya dari usaha serta kerja kerasnya. Tetapi ternyata semua yang telah dicapainya membuatnya menjadi pribadi yang rakus. Seakan semuanya belumlah apa-apa. Sehingga harus ditambahkan guna menjadi lebih banyak lagi.


Di sini setan yang adalah dirinya sendiri bekerja sangat cerdik, cerdas caranya bekerja. Kecerdasan inilah yang membawanya untuk menjadi politikus yang diikuti siapa saja. Dan itu nyata terlihat ketika ia berhasil mencapai puncaknya yakni sebagai ketua DPR.

Belum habis sampai di situ, tatkalah ada dugaan pelanggaran kode etik, ia mengundurkan diri sesaat sebelum dewan kode etik DPR memutuskan sikapnya. Lantas setelah pengundurannya, ia masih begitu mudah menggapai kembali pucuk pimpinan. Dan di sana semua orang mendukungnya, seakan tak ada cacat cela dan noda dosa yang telah dilakukannya. Hebat bukan? Dan pada bagian ini semua orang yang peka terhadap persoalan hidup berbangsa dan bernegara dengan garang mencacinya sebagai politikus yang licin dan busuk.

Tentu ini bukan tanpa sebab. Karena, ketika ia tersandung kasus mega korupsi e-KTP, lagi-lagi ia menunjukkan ketangguhannya dengan menang di praperadilan sehingga tidaklah mengherankan jika kawan-kawan seperjuangannya di DPR berupaya keras untuk mengajukan hak angket terhadap KPK bahkan ada yang tak segan ingin membubarkan lembaga antirusuah itu. Pertanyaan muncul mengapa mereka begitu ngotot untuk memaksakan kehendaknya?

Jawabannya secara gamblang disampaikan SN dalam puisinya: "... ada pecundang yang bersembunyi sembari cuci tangan, cuci kaki, cuci muka, dan cuci warisan kesalahan." Bagi saya ini jelas menunjukkan kalau beliau tidak sendirian dalam melakukan perbuatan cerdasnya. Besar kemungkinan mereka mengambil bagian dalam berkah anugerah yang diperoleh SN.

Dan, ketika hukum tidak lagi bisa dipermainkan, tersingkaplah tabir kebohongan, kebusukan yang telah dibuat. Seni teater, drama, sandiwara yang pernah dilakonkan mulai dari menderita sakit di rumah sakit, kecelakaan lalu lintas hingga lemah lunglai, pikun dan membisu di pengadilan, tetaplah sebagai aksi imajiner.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun