Tahun ini tak seperti sebelumnya. Tahun kemarin bola api angkasa garang membakar lahan kering, menyembulkan batuan karang ke permukaan bumi
Riasan api bercampur kabut hitam juga putih bersumber dari tangan-tangan jahil menambah sengatnya panas. Ternak sapi, kerbau, kuda, kambing merintih dalam harap: hujan turunlah
Bukan Cuma hewan. Bahkan manusia terancam kelangsungannya. Gagal panen berujung lapar, penyakit hingga nafas terhenti dan tubuh bagai benda tak bernilai
Tertegun haru mendengarnya, memandangnya
Ya sebatas itu. Â Meski naluri mengusik mencoba menantang kuatnya alam. Dengan tulisan himbauan, berupa ulasan analitis pun puisi dan syair lagu merdu hendak mendidik akal. Dalam pasrah tak henti doa: "semoga tak ada lagi hasrat jahanam yang membakar lahan"
Kini alam bersahabat. Langit menurunkan air membasahi lahan kering bebatuan. Terpancar gurauan ria para ternak
Padang rumput nan hijau hiasi padang. Bukit Wairinding  dan Mauliru menggeliat menebar pesona. Semua mata terpanah entah kagum ataukah heran enggan percaya. Toh fakta baru berujar: "Sumba salah satu pulau terindah dunia"
Hujan, kaukah itu?
Pagi, siang, malam hadir menemani risau panjang di rumah beratap langit berlantai tanah berdinding angin. Ada keluh para penggarap tradisional: "hujan keseringan, kelebihan air, tanaman tak tumbuh sehat". Ujungnya gagal panen. Tentu saja lapar masih mengancam
Terbersit harap pada penentu kebijakan: "tata lahan kering-basah jadi duit, bedah akal masyarakat jadi cerdas. Bangkitkan unggulnya. Halaukan piciknya. Tingkatkan kualitas didiknya"
Memanen hujan tak selamanya  membawa berkat, bahagia
Waingapu, 14 Maret 2018