Mohon tunggu...
Yanto Yanto
Yanto Yanto Mohon Tunggu... Administrasi - Berusaha menginspirasi

Dosen FKIP Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lagi-lagi karena Doa Mama

9 April 2012   00:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:51 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak hal dalam hidup ini yang terkadang terjadi di luar nalar manusia. Setidaknya itulah yang saya alami beberapa kali. Terakhir, ketika saya dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa S3 di sebuah universitas di Australia. Menurut logikanya, mestinya saya tidak mungkin lulus. Sebab, sampai ketika saat wawancara, saya tidak bisa menunjukkan kepada panitia seleksi surat penerimaan dari universitas yang saya tuju. Namun, di sinilah doa seorang ibu menjadi senjata paling ampuh. Tiga minggu setelah wawancara, saya berhasil memperoleh surat yang diminta. Lalu langsung saya kirimkan ke panitia. Dan 10 hari kemudian, ketika pengumuman, nama saya tercantum di antara ratusan peserta yang lulus.

Sebenarnya, cerita tadi tidaklah sesederhana itu. Tahun 2011 lalu, sebelum melamar beasiswa, saya menelpon mama di Padang untuk mengatakan niat saya untuk melanjutkan sekolah lagi ke luar negeri. Tentunya dengan beasiswa. Saya mencoba mengajukan lamaran via online maupun pos ke beberapa universitas di luar negeri. Setidaknya ada 15 universitas yang saya lamar. Beberapa diantaranya langsung menolak. Ada yang beralasan, kualifikasi S2 saya yang full coursework tanpa tesis membuat mereka enggan menerima saya. Ada juga yang beralasan karena mereka tidak punya profesor yang bisa menjadi pembimbing saya. Intinya, 14 menolak.

Nah, ada satu universitas yang memiliki program doktor namun dapat diambil oleh mereka yang S2nya full coursework. Saya pikir ini cocok buat saya. Merekapun kemudian meminta saya meminta melengkapi beberapa bahan yang masih kurang. Satu diantaranya adalah nilai IELTS terbaru. Nilai IELTS yang saya kirimkan adalah keluaran tahun 2005. Jadi sudah 6 tahun. Padahal berlakunya nilai IELTS atau TOEFL hanya 2 tahun. Dan untuk mendapatkan nilai IELTS dalam waktu dekat bukanlah perkara mudah. Saya harus ke Jakarta untuk mendaftar, lalu menunggu penentuan hari ujian dan menanti hasil ujian. Biaya yang dikeluarkan juga bakalan tidak sedikit. Untuk ujian saja, 2 juta lebih, belum tiket pesawat Jakarta – Jambi pergi pulang serta penginapan. Buat saya pegawai negeri golongan 3 tentu saja jumlah itu terasa sangat besar. Sementara batas waktu beasiswa sudah tinggal hitungan hari. Akhirnya dengan terus terang saya kirimi email ke universitas yang saya tuju dengan menjelaskan keadaan saya. Dengan meyakinkan mereka bahwa saya adalah pengajar bahasa Inggris dan S2 saya juga di negara yang berbahasa Inggris. Lalu saya langsung telepon mama, minta sekali lagi didoakan. Begitulah, setiap kali mentok, saya selalu mengadukannya ke mama. Tentu saja tidak berupa keluhan. Saya hanya minta didoakan saja. Soal detailnya, tidak saya jelaskan.

Di sinilah kembali doa ibu menurut saya berperan lagi. Beberapa hari setelah itu email saya dibalas. Pihak universitas mengatakan akan membahas masalah saya ini. Selang beberapa hari saya mendapatkan jawaban positif. Saya diterima dan mereka mengirimkan surat penerimaan tanpa syarat. Surat inilah yang saya kirimkan ke pihak panitia yang sebenarnya sudah terlambat 3 minggu.

Padahal, saat briefing sebelum wawancara, pihak panitia sudah langsung mengatakan bahwa yang hari ini tidak membawa surat penerimaan (Letter of Acceptance) dari universitas yang dituju, dipastikan tidak lulus. Saya langsung lemes. Jauh-jauh dari daerah ke Jakarta hanya untuk mengetahui bahwa saya sudah pasti tidak lulus. Namun begitu wawancara selesai, saya langsung telepon istri dan mama. Kepada keduanya saya tetap mengatakan bahwa wawancara berjalan lancar dan minta didoakan agar lulus.

Karena sering minta didoakan, mama pernah mengatakan bahwa saya tidak perlu kawatir karena beliau selalu mendoakan saya setiap hari. Tentu saja ini membuat saya lega. Rasanya tidak ada yang lebih berkah di dunia ini selain hidup selaludalam doa seorang ibu. Saya sangat percaya bahwa banyak kejadian di dunia ini yang dapat diubah dengan doa seorang ibu jika kita percaya. Setidaknya itulah yang selalu terjadi dalam hidup saya. Saya yakin hati manusia manapun dapat digerakkan dengan bantuan doa ibu yang jika diterima oleh penguasa langit dan bumi, maka tidak ada yang tidak mungkin.

Singkat cerita, bulan Maret 2012 yang lalu, hasil seleksi wawancara diumumkan secara online. Dan Alhamdulillah saya dinyatakan lulus. Pagi itu juga mama langsung saya telepon untuk memberitahu berita yang menggemparkan dunia persilatan ini (maaf, sedikit bercanda!). Saya katakan menggemparkan, karena kami berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Mama adalah pensiunan guru SD dan seorang single parent. Dengan gaji guru SD-nya serta pensiunan almarhum ayah yang juga guru SD, keempat anaknya berhasil beliau antarkan menjadi sarjana. Beliau tidak pernah mengeluh dengan kesulitan hidup. Beberapa kali SK PNSnya beliau gadaikan di bank untuk memperoleh pinjaman demi kuliah keempat anaknya. Inilah yang membuat saya selalu bercita-citauntuk membuat beliau selalu bahagia. Saya sering minta didoakan dengan harapan bahwa beliau tahu betapa berharapnya saya dari doa beliau. Betapa berartinya doanya buat saya.

Terdengar di telepon suara mama agak bergetar ketika saya beritahu kalau saya lulus beasiswa ke luar negeri. Saya tahu pasti beliau sangat bahagia. Dan buat saya itu adalah segalanya. Membahagiakan orangtua satu-satunya. Semoga cerita diatas menginspirasi. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun