Mohon tunggu...
Badriah Yankie
Badriah Yankie Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk keabadian

Badriah adalah pengajar bahasa Inggris SMA yang menyukai belajar membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerpen | Menanti Fitri

23 Mei 2019   19:42 Diperbarui: 23 Mei 2019   20:12 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Telah lama Ayah berharap mendapatkan pekerjaan yang menurutnya sesuai dengan keahliannya. Ayah mengaku, terlalu banyak yang dia bisa sehingga tidak tahu harus memilih keahlian mana yang mampu dijadikan sandaran kerja. 

Kebingungan memiliki terlalu banyak kompetensi menjadikan Ayah selalu gagal menempati satu kubikel di ruang kantor manapun. Ayah sanagat piawai memainkan kata, idenya mengalir tiada habis dan semuanya hanyut bermuara di kolam kata-kata, tidak pernah menjadi sebuah aktivitas nyata yang membawa angka pada kertas bergambar Presiden pertama Indonesia yang berlatar warna merah muda.

Fitri sering memberikan sekadar ide pada Ayah agar bisa memulai menggerakkan otot,  selain otot lidah, untuk mengimbangi gerak ide yang berbusa-busa tanpa menjelma uang. Fitri terlalu tidak tega melihat Ibu membanting tulang menghidupi ide-ide Ayah. 

Fitri sangat tahu, Ibu tidak akan pernah mengeluh tentang kehebatan Ayah membela diri pada saat orang bertanya apa tidak malu menumpang hidup pada istri. Ibu akan dengan tenang mengambil jalan tengah dengan berkata, "Ayah menjadi bapak yang tidak mampu menghidupi keluarganya, itu salah Ibu. Sebagai istri, Ibu tidak mampu berperan seperti para istri pada umumnya. 

Istri yang berhasil adalah istri yang mampu mendorong suaminya setiap pagi membuka pintu, berangkat mencari nafkah, dan sore hari pulang membawa kabar harapan bahwa hari ini bisa makan. Ibu tidak pernah berhasil melakukan itu pada Ayah. Ayah memiliki lebih banyak kata untuk meminta ulur waktu sampai menemukan pekerjaan yang tepat."

Mendengar kata-kata Ibu, Ayah akan diam saja, memberikan reaksi netral agar Fitri tidak mengeluhkan betapa miskinnya keberanian Ayah untuk memulai sebuah kerja. Begitu kokohnya keyakinan Ayah bahwa dirinya orang hebat yang sedang mencari pekerjaan yang tepat. Ayah tidak cocok bekerja di bawah telunjuk seseorang, karena kecerdasannya. Ayah tidak pantas menjadi bawahan, karena kecerdikannya.


Ayah melegitimasi, Ibu memang salah. Salah karena telah menjadikannya pria yang paling beruntung di dunia. Salah satu keberuntungannya adalah Ayah bebas berkata-kata. Mengatai Ibu sebagai wanita beruntung yang diangkat derajatnya sehingga menjadi perempuan berstatus istri. 

Ibu harus bersetuju bahwa kekayaan Ayah adalah nasihat, ide, dan pendapat tentang segala ikhwal dunia, termasuk pernikahan ideal seperti yang dimilikinya sekarang.

"Rumah tangga Ayah adalah gambaran bersatunya dua orang yang masing-masing menjadi setengah dan genap menjadi satu jika berdua. Itu adalah matematika rumah tangga," begitu ucap Ayah pada Fitri. Fitri mendengar penjelasan Ayah dengan sedikit kerut. 

Dalam pikirnya, bersatu tidak cukup untuk menjadi acuan rumah tangga sakinah secara matematis kehidupan. Seorang ayah perlu memberikan isi dompetnya kepada istrinya, ayah seperti itu terlihat seksi di mata Fitri, selaku anak.

Fitri mengetahui dengan baik ketika Ayah mendorong Ibu untuk mempertaruhkan seluruh uangnya untuk memulai pekerjaan yang menurut Ayah paling cocok:  merebut satu kursi Caleg. Ibu dengan segala kebosanan melayani Ayah yang terlalu kaya ide, membiarkan gajinya selama 10 tahun ke depan, lengkap dengan bunganya, digadaikan di bank. 

Ibu enggan bertukar kata dengan Ayah. Ibu tidak akan menyinggung sedikitpun kekurangan suami yang mandul penghasilan, dan tak pernah menghidupinya. Ibu malah menyalahkan diri sendiri. Ibu menyalahkan keputusannya dulu memilih Ayah sebagai suami dan kini harus menanggung seluruh akibat dari pilihannya. Fitri tahu, Ibu berpendapat bahwa setiap keputusan memiliki konsekwensi.

Dengan modal gaji  digadaikan 10 tahun yang mencekik nafas, hari-hari pencalegan Ayah dipenuhi dengan asap rokok mengepul tiada henti di rumah Fitri yang sempit. Ayah terlihat seperti sosok pahlawan yang mengajak rakyat menuju kehidupan baru yang lebih cerah dengan menunjuk dirinya sebagai wakil di legislatif. 

Ayah menjelaskan suara rakyat yang memilih dirinya yang akan mengubah wajah garis nasib telapak tangannya. Rakyat yang sehari-hari berjualan mi tek-tek akan dibantu disediakan koperasi yang modal dan hasil usahanya diberikan untuk anggota. Rakyat yang menjadi tukang ojek akan dibantu asuransi keselamatan kerjanya. 

Ayah berbusa mengajak rakyat untuk menyerahkan suara pilihannya dengan mencoblos nomor di depan namanya. Rakyat yang bermandi lumpur menanam padi akan dibeli hasil panennya dengan harga tinggi plus, disediakan pupuk dengan harga murah. Rakyat akan Makmur, seluruh gaji Ayah sebagai anggota legislatif, semuanya, untuk kesejahteraan rakyat. Tugas wakil rakyat adalah menyelematkan rakyatnya, mendahulukan rakyatnya.

Berbarengan dengan menggebunya Ayah mencari kerja lewat caleg, alih-alih Fitri menonton pertarungan hidup mati untuk kehidupan keluarganya. Ibu tak lagi berdaya dengan seluruh uang telah dijadikan modal menjadi caleg Ayah.

Ayah, sumringah. Pagi, siang, malam, habis waktunya untuk berbicara. Keahliannya memang berbicara. Bagi Ayah, bicara adalah bekerja. Ke setiap kampung, dapil, Ayah berbicara, menawarkan namanya untuk perubahan nasib, menggadangkan seluruh gajinya nanti untuk mengaspal jalan dan gang-gang.

Pertarungan hasil memulai kerja dikabarkan pada bulan puasa. Ayah sama sekali tidak merasa kalah ketika dia tidak dipilih siapapun. Rakyat yang dipuji-pujinya memiliki suara Tuhan, memiliki kekuatan untuk mengubah wajah negeri, memiliki harapan pekerjaan baru jika Ayah mendapatkan satu kursi, tidak mencoblos nomor yang ditulis di depan namanya. Ayah membeli mahal suara kosong rakyat dengan menjadikan istrinya sendiri agunan untuk bank.

Kini terpaksa Ayah menikmati puasa bicara. Tidak ada lagi para lelaki yang berduyun-duyun datang ke rumahnya mengeluhkan istrinya hendak melahirkan yang ditutup ayah dengan memberinya lima lembar uang lima ratusan. Tidak lagi ada pria mengetuk pintu mengeluhkan badannya demam karena belum makan dan disudahi dengan tiga lembar uang ratusan berakhir di tangan pria itu. 

Tidak ada lagi ibu-ibu yang memuji-muji Ayah sebagai caleg yang merakyat. Tidak lagi ada gadis remaja yang mengintil meminta selfi dengan melabeli Ayah caleg gaul. Semua yang datang ke rumah, semua orang yang dikunjungi Ayah sepakat bahwa Ayah caleg dermawan berhati mulia. Kesepakatannya itu membuat dompet Ayah makin tipis. Sedangkan Ibu dan Fitri makin meringis membayangkan 10 tahun ke depan harus berpuasa menggantikan eksperimen Ayah mencari kerja.

Ayah meminta Ibu untuk tidak berkomentar. Ayah tidak membutuhkan komentar Ibu, Ayah hanya perlu Ibu mendengarkan Ayah bicara, karena itu keahliannya.

"Kekalahan pada caleg hal biasa," begitu Ayah berkilah. "Masih untung Ayah tidak menjadi gila" tambah Ayah. "Semua usaha ini telah optimal, tapi memang Ayah belum berjodoh mendapatkan kerja. Ibu harus sabar. Dari caleg ini, paling tidak Ayah punya jejaring. Kalau tahu nyaleg itu begini, Ayah menyesal tidak mendaftarkan jadi caleg RI."

Ibu diam saja. Diam memang pilihan yang tepat bagi Ibu. Sepenggal kalimat saja Ibu berucap, Ayah akan menimpali dengan berparagraf-paragraf berisi permakluman bahwa Ayah adalah manusia biasa yang sedang berusaha dan tidak adil jika dipersalahkan setelah berusaha bergitu kuat. Perempuan kadang tidak sensitif, begitu kritik Ayah pada Ibu.

"Ayah harap Fitri bisa menjadi andalan keluarga. Sebagai anak tunggal, Fitri harus menyokong kehidupan orang tua," Ayah menyampaikan idenya pada Fitri. "Kamu harus mendukung usaha Ayah. Jejaring yang Ayah bangun selama menjadi caleg memerlukan dukungan seluruh keluarga." Ayah melabuhkan kata-kata mengatasnamakan tanggung jawab dan balas budi dalam keluarga.

"Ayah menanti Fitri. Menanti Fitri untuk mendukung ide Ayah." Suara Ayah tegas, matanya lurus menatap bola hitam mata Fitri yang menyiratkan tanya.

"Ada teman dalam jejaring yang dibangun Ayah yang memerlukan anak gadis. Sudah Ayah sanggupi pertukaran peluang kerja untuk Ayah dengan menempatkan Fitri pada posisi menjadi teman sekamarnya selama semalam saja. Itu awal membangun jejaring. Setelah itu, Ayah mendapatkan posisi di cabang perusahaanya, dan hutang ke bank yang harus dibayar dalam 10 tahun, bisa mulai Ayah cicil. Dan lebaran ini, kita bisa bergembira."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun