Mohon tunggu...
Yana Karyana
Yana Karyana Mohon Tunggu... Aktivis konsen dalam kajian Politik, Pendidikan dan Hukum

Aktif sebagai Dosen dan mengabdi dibeberapa organisasi,Pengurus DPP PK-Tren Indonesia, Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama [Pergunu], Ketua MWC NU Jati Uwung/Cibodas, Wakil Sekretaris PCNU Kota Tangerang/Milanisti

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dari Pesantren ke Layar: Di Mana Nurani Media?

14 Oktober 2025   09:55 Diperbarui: 14 Oktober 2025   09:55 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi baikot trans 7 menyusul tayangan xpose Uncensored 13 oktober 2025 (sumber :instagram)

Media seharusnya menjadi ruang rasionalitas publik, tempat kebenaran diuji dan akal sehat bangsa dijaga. Namun kini, sebagian media justru menjelma menjadi sumber kebingungan baru. Mereka kehilangan arah etik, kehilangan empati kultural, dan kehilangan fungsi moralnya, yang tampak di hadapan kita hari ini adalah krisis etika dan akal sehat dalam dunia media, krisis yang tidak hanya merusak profesionalisme jurnalistik, tetapi juga mengguncang fondasi moral demokrasi itu sendiri.

Kasus tayangan program salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, Tayangan Xpose Uncensored, pada 13 Oktober 2025, yang menampilkan potongan video KH. Anwar Manshur Lirboyo secara tidak proporsional, menjadi bukti telanjang keruntuhan etika penyiaran dan kegagalan media menjalankan perannya sebagai pilar demokrasi. Potongan visual yang dilepaskan dari konteks keilmuan dan tradisi pesantren bukan sekadar kelalaian redaksi, melainkan bentuk pelecehan terhadap simbol keulamaan dan pengkhianatan terhadap tanggung jawab sosial jurnalisme. Padahal, pesantren bukan institusi pinggiran. Ia adalah sumbu sejarah panjang pendidikan bangsa, tempat ilmu, moralitas, dan kebangsaan ditempa dalam satu tarikan napas. Sejak masa kolonial, pesantren telah menjadi pusat pencerahan dan benteng moral publik. Maka ketika pesantren diframing secara negatif, yang sesungguhnya tercemar bukan hanya nama santri, melainkan memori kolektif kebangsaan itu sendiri.

Fungsi yang Gagal

Dalam demokrasi, media memegang tiga fungsi pokok yaitu penyedia informasi, pengawas kekuasaan, dan pendidik publik. Ketiganya hanya hidup bila media menempatkan kebenaran di atas kepentingan komersial. Namun kini, sebagian media justru berubah menjadi mesin rating, menjual sensasi dan mengorbankan nilai. Framing dangkal terhadap pesantren menunjukkan bahwa orientasi redaksi lebih didorong oleh logika pasar ketimbang tanggung jawab sosial. Padahal, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa pers wajib menghormati norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Sementara Pasal 7 ayat (2) mewajibkan wartawan menaati Kode Etik Jurnalistik. Mengabaikan prinsip tersebut bukan hanya pelanggaran profesional, tetapi pengingkaran terhadap mandat konstitusional kebebasan pers itu sendiri.

KPI dan Dewan Pers Harus Bertindak

Kesalahan fatal dalam tayangan Trans7 pada 13 Oktober 2025 itu tidak bisa dilepaskan dari rantai tanggung jawab yang terputus di tubuh ekosistem penyiaran. Tim redaksi gagal melakukan riset mendalam, produser gagal menguji kelayakan moral tayangan, sementara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) gagal menjalankan fungsi pengawasan. Padahal, Pasal 36 ayat (5) huruf (a) dan (b) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran secara tegas melarang isi siaran yang merendahkan martabat manusia atau melecehkan nilai-nilai agama. Jika tayangan semacam ini bisa lolos ke ruang publik, berarti fungsi kontrol KPI tidak berjalan. KPI tidak cukup hanya memberi teguran administratif. Lembaga ini harus berani menjatuhkan sanksi tegas hingga pencabutan izin siar apabila ditemukan kelalaian berat. Regulator yang diam terhadap pelanggaran moral hanyalah penonton dari krisis etik yang mereka biarkan tumbuh.

Begitu pula Dewan Pers, berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf (c) UU Pers, memiliki mandat untuk menegakkan kode etik jurnalistik. Diamnya Dewan Pers terhadap pelanggaran yang menyentuh nilai keagamaan dapat dimaknai sebagai bentuk pembiaran. Dewan Pers harus memanggil lembaga penyiaran terkait dan, bila ditemukan unsur kesengajaan, merekomendasikan sanksi berat bahkan pembekuan izin siar.

Aspek hukum tidak berhenti di sana. Karena tayangan Trans7 tersebut juga beredar luas di platform digital, maka lembaga penyiaran yang bersangkutan harus pula mempertanggungjawabkan pelanggaran ini berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melarang distribusi konten bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Jika tayangan itu terbukti menodai kehormatan tokoh agama, maka pelakunya dapat dijerat sanksi pidana.

Dengan demikian, baik KPI, Dewan Pers, maupun aparat penegak hukum memiliki tanggung jawab hukum dan moral yang bersinggungan langsung. Ini bukan lagi sekadar persoalan teknis redaksional, melainkan soal penegakan etika publik dan keadaban nasional.

Penutup: Nurani yang Mati di Ruang Redaksi

Kini publik berhadapan pada satu pertanyaan mendasar, apakah media masih menjadi penjaga akal sehat, atau justru bagian dari kebisingan yang menyesatkan? Kebebasan pers, yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan idealisme, kini seolah berubah menjadi kebebasan untuk melukai nilai, menodai marwah, dan menistakan kebudayaan sendiri. Di tengah derasnya arus informasi, bangsa ini memerlukan media yang berani menjadi jembatan nalar, bukan pelontar kebencian, penuntun makna, bukan pemburu sensasi. Namun ketika media lebih sibuk mengejar klik ketimbang kebenaran, ketika lembaga pengawas lebih nyaman diam ketimbang bertindak, dan ketika kesalahan terus dianggap "lupa teknis," maka yang sesungguhnya tengah runtuh bukan sekadar kredibilitas media, melainkan kepercayaan publik dan moral bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun