Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memimpikan Ketahanan Pangan Minim Impor dari Sawah Sendiri

6 Mei 2024   14:18 Diperbarui: 6 Mei 2024   16:42 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak adanya tenaga kerja yang membantu di sawah membuat petani kesulitan mengolah sawahnya | Foto: Dokumentasi Pribadi

Kalau untuk teknologi rekayasa genetika kita sudah punya IPB, BRIN, dan Kementerian Pertanian. Kementerian Pertanian kita (dulu Deptan) pernah bekerja keras membangun sistem pertanian dan pangan, termasuk mengirim 12 mahasiswa IPB untuk mendampingi petani dalam hal intensifikasi lahan. Hasilnya, ya itu, swasembada beras di tahun 1984, pun di tahun 2019-2021.

Kemudian kalau soal tenaga kerja, kita punya banyak tenaga, apalagi Indonesia sedang dalam masa bonus demografi yang mana jumlah orang-orang muda jauh lebih banyak dari lansia.

Pun beliau mengatakan bahwa langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah mencari mitra lokal untuk bekerja sama dalam mengembangkan pertanian di Indonesia. Ini pun sebetulnya mudah. Kita sudah punya mitra lokal yang siap bekerja sama, yaitu kelompok-kelompok tani yang mewadahi para penggarap sawah.

Kelompok tani ini masih eksis dan kadang dapat pendampingan dari PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Sayangnya, jumlah anggota kelompok tani makin sedikit karena terus berkurangnya para petani yang menggarap sawahnya. Enggannya orang mengolah tanah jadi sawah karena pendapatan dari bertani bahkan tidak cukup untuk makan.

Kesulitan makin bertambah karena tidak adanya orang yang mau jadi pekerja sawah. Sawah bisa dikerjakan seorang diri tanpa bantuan pekerja kalau luasnya tidak lebih dari 500 meter per segi. Anak-anak muda lulusan SMP-SMA lebih memilih menganggur sambil menunggu lowongan kerja di toko atau pabrik.

Hari gini masih bergantung sama tenaga manusia? Pakai mesin dong, traktor, kek, mesin panen, kek. Penggunaan mesin untuk menggantikan tenaga manusia sesungguhnya tidak semudah bicara di warung kopi.


Aneka mesin pertanian cuma cocok digunakan di lahan yang datar dan luas. Sementara itu di pulau Jawa banyak lahan berbukit sehingga sawahnya pun berundak-undak. Luas lahannya juga kecil-kecil ribuan meter saja, bukan hektaran. 

Lahan kecil, berbukit, dan berundak harus dicangkul, dibajak, dan dipanen manual dengan tenaga manusia sebab traktor dan mesin pertanian tidak bisa menjangkau sudut-sudut lahan.

Masalah lain adalah sumber daya manusia. 

Bisa kita lihat kasat mata hampir semua petani dan pekerja sawah di Indonesia sudah lansia. 

Sulit bagi mereka untuk belajar mengoperasikan traktor. Kalau disatu kelompok tani ada seorang saja yang bisa mengoperasikan traktor bajak, itu sudah bagus banget. Banyak kelompok tani yang anggotanya tidak ada yang bisa mengoperasikan traktor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun