Mohon tunggu...
Yana Haudy
Yana Haudy Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ghostwriter

Istri petani. Tukang ketik di emperbaca.com. Best in Opinion Kompasiana Awards 2022.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menjadi Orangtua yang Tidak Memusuhi Sekolah Anak

19 September 2022   15:17 Diperbarui: 20 September 2022   06:10 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dukungan dan kritik membangun orangtua penting untuk sekolah, bukan omelan dan kritik destruktif yang menjatuhkan mental guru. (KOMPAS.com)

Guru sudah jadi salah satu profesi paling sulit di Indonesia karena mereka harus mengajar anak-anak Gen Z dan Gen Alpha yang jauh lebih menantang daripada mengajar Gen X dan Milenial. Mengapa bisa begitu?

Pertama, karena Gen Z dan Gen Alpha sudah bisa mengutarakan pikiran dan isi hatinya sehingga anak yang kemampuan akademiknya baik cenderung "menantang" kreativitas gurunya. Sedangkan anak trouble maker cenderung "menantang" kesabaran gurunya.

Kedua, sebagian besar orangtua dari Gen Z dan seluruh orangtua Gen Alpha ini adalah Milenial, yang mana sangat dekat dengan teknologi informasi dan digital. Ini membuat mereka cenderung merasa paling benar dan bisa memaksakan kehendaknya. Merasa paling benar dan ingin kehendaknya selalu dituruti ini adalah ekses dari medsos dan berita internet yang datang sangat cepat.

Sebelum filter dalam otak dan nurani kita, tentang suatu informasi, memberi peringatan, sudah datang informasi yang lain lagi. Menurut situs jurnal Frontiers for Young Minds, semakin banyak informasi yang diterima justru mengacaukan kerja otak karena banyak gangguan yang diterima otak saat sedang fokus.

Contohnya saat kita menonton film, notifikasi yang muncul dari WhatsApp menganggu fokus kita pada film. Pun tiap hari ada saja berita viral yang membuat kita terjebak FOMO (fear of missing out) lalu secara sadar terus-terusan mencari apa saja berita dan yang viral-viral hari ini.

Makanya tidak heran kalau pola pikir kebanyakan orangtua Milenial cenderung pendek, ingin cepat dan praktis, juga tidak mau repot. Pola pikir itu kemudian menyebabkan mereka jadi sering mengkritik serta mudah marah dan tersinggung kalau pendapat dan kehendaknya tidak diterima. 

Riset yang dimuat pada situs The Ohio State University mengungkapkan bahwa hal yang seperti itu terjadi karena fungsi kognitif pada otak berubah seiring dengan makin seringnya kita mengakses internet, termasuk berita online dan medsos.

Itulah sebabnya makin banyak orangtua Milenial yang, alih-alih mendukung kemajuan yang dijalankan sekolah untuk masa depan anak, malahan mengkritik sekolah secara destruktif seperti mengomeli tukang sayur ketika harga cabe naik.

Guru

Cara mengajar guru, terutama wali kelas, sering jadi bahan kritik orangtua. Guru yang menerapkan aturan ketat soal tata tertib kelas dibilang galak, tapi kalau tidak menerapkan aturan dibilang tidak tegas.

Guru juga dituntut harus bisa mengajari anak mereka sampai menguasai suatu materi, tapi tidak mau membantu dan mendampingi ketika anak diberi pekerjaan rumah. Padahal seorang guru harus mengajari dan mengawasi 20-30 anak di kelas dalam satu waktu.

Kalau orangtua hanya menyerahkan semuanya ke sekolah, pendidikan anak jadi pincang. Pendidikan karakter juga akan alakadar karena si anak diajarkan bersikap baik di sekolah, tapi dibebaskan berbuat apa saja di rumah.

Sejak tahun ajaran dimulai sampai sekarang saya sering dengar orangtua mengeluh soal wali kelas anak di sekolah kami yang usianya masih 24 tahun. Baru lulus kuliah dan sedang prajabatan untuk jadi ASN. Banyak orangtua menganggap guru yang masih muda tidak kompeten mengajar dan tidak bisa tegas. Tegas yang bagaimana? Menerapkan kedisiplinan, sudah. Mencontohkan etika dan sopan-santun juga sudah. 

Lagipula apa korelasinya usia muda dengan kompetensi? Toh, si guru adalah Sarjana Pendidikan SD yang belajarnya memang di urusan pendidikan sekolah dasar. Itu berarti dia kompeten. Kalau saya yang lulusan jurnalistik lalu jadi guru, itu baru namanya tidak kompeten.

Sebagai contoh, Putri Tanjung sudah menjalankan bisnis EO sendiri sejak SMA, terlepas dari dia anak konglomerat Chairul Tanjung. Pun para gamer dan pro-player rata-rata mencapai puncak karirnya di esports di usia 17-19 tahun. Jadi anggapan usia yang muda belum pantas jadi guru amatlah mengada-ada.

Ilustrasi pertemuan orangtua dengan guru (sumber: iStockphoto via k12insight.com)
Ilustrasi pertemuan orangtua dengan guru (sumber: iStockphoto via k12insight.com)

LKS

LKS (Lembar Kerja Siswa) atau yang sekarang disebut sebagai Modul, harganya cuma Rp10.000, tapi urusan LKS bisa membuat guru pusing kalau orangtua menolak membayar LKS.

LKS/Modul fungsinya ada tiga, yaitu:

  • Melatih siswa mengerjakan soal-soal sesuai buku teks utama. 
  • Mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu materi.
  • Mendongkrak nilai siswa karena masuk ke penilaian rapor.

Kalau orangtua menolak membayar LKS yang disediakan sekolah, bagaimana mendukung belajar anak? Orangtua yang menolak biasanya beralasan karena sudah bayar SPP, sumbangan pembangunan, iuran kelas, belum lagi uang jajan anak. Kalau disuruh beli LKS akan memberatkan keuangan orangtua.

Padahal harganya cuma Rp10.000. Paling mahal Rp15.000. Bapak stop dulu beli rokok, sudah kebayar itu LKS. Ibu tahan dulu jajan bakso, sudah kebeli itu Modul.

Iuran dan Sumbangan

Beberapa orangtua pernah mengeluh kalau uang sekolah anaknya (SD swasta) mahal dan memberatkan. Awalnya dia mengira kalau sekolah milik yayasan Islam itu tidak mahal-mahal amat. Ternyata SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) sampai Rp650.000 per bulan (di Kabupaten Magelang).

Karena itu para orangtua yang kaget mahalnya SPP di sekolah swasta kemudian memutuskan anak kedua dan seterusnya akan disekolahkan ke negeri supaya murah. 

Well, sejak zaman kuda gigit besi semua orang tahu sekolah swasta memang mahal. Pun persepsi tentang sekolah negeri murah itu amat sangat keliru.

Sekolah negeri berakreditasi A dan berlabel unggulan sekarang banyak yang bersaing dengan swasta supaya lulusannya billingual dan punya skill yang sesuai dengan zaman saat mereka dewasa.

Membuat sekolah seperti itu tidak cukup dengan mengandalkan dana BOS karena pemerintah harus membiayai seluruh sekolah di Indonesia, bukan cuma satu-dua sekolah. 

Pada tahun ajaran 2020/2021 data BPS, seperti yang dimuat pada Data Indonesia, mencatat ada 217.283 sekolah dari jenjang SD sampai SMA/SMK. Jumlah itu tidak termasuk madrasah yang walaupun ada dibawah naungan Kemenag, tetap dapat alokasi dana BOS.

Itu sebab komite di sekolah negeri minta sumbangan kepada orangtua untuk membiayai ekstrakurikuler dan fasilitas yang tidak mampu dicukupi dari BOS. 

Makin banyak prestasi, fasilitas, dan ekstrakurikuler di sekolah negeri, makin tidak bisa murah sekolah tersebut, apalagi gratis.

Lagipula, daripada harus memusuhi sekolah dengan ngedumel kesana-kemari, lebih baik datang bicara kepada kepala sekolah, baik negeri atau swasta. Bilang kepadanya kalau kita keberatan dengan besaran SPP atau sumbangan komite. Minta diskon SPP atau minta keringanan dengan cara mencicil.

Kita ini orang Indonesia, apa saja bisa dibicarakan baik-baik dan ketemu jalan keluarganya, kok.

Kantin Sekolah

Mayoritas orangtua menyalahkan kantin kalau anak mereka kena radang tenggorokan, batuk, atau sakit perut. 

Padahal jajanan di kantin rutin diperiksa oleh kepala sekolah, yang didelegasikan ke guru dan staf tata usaha, supaya tidak ada jajanan yang mengandung pewarna, penyedap, pengawet, dan pemanis buatan. Karena itulah jajanan kantin terasa membosankan karena yang dijual tidak menarik dan menggugah selera.

Maka kalau anak batuk dan sakit perut karena jajan sembarangan, paling mungkin karena si anak jajan di luar sekolah di mana tukang cilok, cilor, mi gulung, telor gulung, tahu bulat, dan aneka minuman saset berpengawet dan berpemanis buatan di jual di depan gerbang saat anak istirahat atau bubaran sekolah.

Paling mengejutkan buat saya adalah orangtua mengeluh banyak jajanan tidak sehat yang ditelan anaknya, tapi tidak membawakan bekal makan siang. Mereka juga tidak memberi pengetahuan dan pengertian tentang makanan tidak sehat atau tentang jajanan apa yang harus dibatasi konsumsinya.

Sebenarnya untuk membuktikan sehat tidaknya jajanan di sekolah, kita bisa mendatangi kantin dan melihatnya langsung. Kalau menemukan ada jajanan macam ciki-cikian, jasjus, kerupuk warna-warni, atau permen-coklat yang mereknya gajelas, kita bisa mendatangi kepala sekolah untuk menanyakan kenapa jajanan seperti itu ada di kantin.

Apalagi, selain menyediakan kantin, sudah banyak sekolah swasta yang juga menyediakan katering untuk makan siang siswa. Menu katering sudah disesuaikan dengan kebutuhan gizi harian dan lebih sehat karena bukan fast food. Jadi, kalau ada orangtua menyalahkan kantin mungkin perlu diajak tur keliling sekolah sekali lagi seperti saat dia mendaftarkan anaknya ke sana.

***

Bisa dimaklumi, orangtua Milenial menjalani masa sekolah di era orde baru yang mana pendidikan akademik dan karakter diserahkan sepenuhnya ke sekolah, guru les, dan guru ngaji. Pola pikir dan persepsi mereka tentang sekolah mungkin masih sama seperti saat mereka mengalaminya dulu.

Sekarang sekolah sudah bukan jadi tempat penitipan anak, melainkan mitra mendidik dengan pendidikan nomor satu ada di tangan keluarga si anak. 

Kalau ada sesuatu yang tidak mengenakkan, datang saja dan bicarakan dengan wali kelas. Ngedumel boleh, tapi jangan sampai menganggap guru dan kepala sekolah sebagai "musuh" hanya karena kita menganggap mereka memberatkan keuangan dan bikin repot karena sering minta orangtua ikut berpartisipasi di banyak kegiatan sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun