Ada yang bilang, krisis 1998 itu krisis kredit. Sekarang beda. Ini krisis fiskal. Pemerintah defisit. Utang jatuh tempo menumpuk. Pasar SBN semakin rapuh. Bank dipaksa menolong. BI terjepit.
Dan memang BI terjepit. Kalau ia membeli SBN untuk menolong pemerintah, pasar akan menuduhnya sedang "cetak uang gaya Orde Baru".
Itu berbahaya, karena inflasi bisa meledak. Tapi kalau BI cuek, kurs rupiah bisa rontok karena investor asing kabur dari pasar obligasi.
Kalau BI intervensi terus-menerus di pasar valas, cadangan devisa terkuras. Jadi, BI seperti orang yang disuruh memilih: mau kepleset di kamar mandi atau jatuh dari sepeda motor. Dua-duanya sakit.
Lalu musuh baru sektor riil pun lahir. Bukan lagi pesaing usaha, bukan pula kurs dolar yang naik-turun. Musuhnya justru pemerintah sendiri. Karena pemerintah menerbitkan SBN dengan bunga tinggi.
Bank lebih suka menaruh uangnya di sana ketimbang meminjamkan ke pengusaha. Buat apa capek urus kredit UMKM dengan risiko gagal bayar, kalau bisa rebahan sambil menunggu bunga obligasi cair tiap bulan?
Begini saja: kalau dulu UMKM kalah bersaing karena kalah modal, sekarang mereka kalah karena kalah bunga. Bank-bank besar yang tadinya jadi urat nadi kredit, kini berubah jadi makelar SBN.
Sektor riil sekarat bukan karena tidak punya ide, tapi karena likuiditasnya disedot habis oleh APBN. Kalau dianalogikan, kira-kira begini
"UMKM itu seperti tukang bakso yang nunggu pinjaman modal, tapi bank lebih sibuk melayani pemerintah yang jualan obligasi rasa sate Padang. Hasilnya, tukang bakso pun cuma bisa gigit mangkok."
Data terbaru tidak bisa dibantah. Hingga Agustus 2025, kepemilikan perbankan terhadap SBN mencapai Rp1.920 triliun, naik hampir 12% dibanding tahun lalu.