Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ancaman Kekeringan Likuiditas Pemerintah

21 Juni 2022   07:40 Diperbarui: 21 Juni 2022   07:58 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (gambar: Istimewa)

Saya menyebutnya erosi likuiditas. Artikel ini saya tulis tengah malam; pukul 02.00 WIB. Baru rampung pukul 03 lebih sedikit.

Perkiraan saya seperti headline Bisnis Indonesia hari ini. Bahwa emisi obligasi berisiko sepi. Pasca FOMC meeting, Federal Fund Rate terkerek 75 bps.

Hasil rapat FOMC itu, meleset dari konsensus pasar dan pemerintah, bahwa FFR dikerek 50 bps. Ya sudah, semua sudah terjadi. Tinggal pasang kuda-kuda, hadapi risikonya.

Impeknya, spread AS treasury yield bond dan yield bond SBN makin lebar. Semut mana yang tak tergiur oleh manisnya gula?

Inilah yang memantik terjadilah capital outflow. Terhitung Januari-Mei 2022, jumlah dana asing yang hengkang dari pasar ekuitas RI Rp.114.1 triliun.

Kalaupun SBN mau laris, tentulah mengobral yield. Kalau kita tengok Asean Bond Online, yield bond RI bertenor 5 tahun paling tinggi di kawasan Asean (>7%).

Jamaah sosmed yang budiman ! Teorinya begitu, bila risiko pasar tinggi, maka ekspektasi terhadap yield bond makin tinggi. Dus, Credit Default Swap (CDS) RI menyentuh 130.

Tingginya risiko volatilitas ekonomi, membuat pengamanan aset di derivative hedging makin tinggi pula. Itu yang tercermin di CDS. Mana ada investor mau tekor?

Keringnya pasar ekuitas RI, arus modal keluar yang kencang, akan berisiko pada depresiasi kurs, beban utang valas meningkat dan imported inflation.

Sebagai negara yang menganut rezim keuangan defisit, sebagaian besar pembiayaan APBN mengandalkan utang DN dan LN. Terutama utang obligasi.

Dampak kebijakan suku bunga The Fed, akan menyulut terkereknya kupon bond dan beban bunga utang dalam APBN akibat risiko kurs. Setiap depresiasi rupiah, akan berisiko pada beban bunga utang valas (USD).

Risiko imported inflation, mengandaikan produk yang diimpor untuk domestic consumption makin mahal. Cadangan devisa tergerus. Rupiah kembali kehilangan  daya. Circle nya demikian.

Yang bisa dilakukan pemerintah adalah memperkuat struktur ekonomi (PDB). Diantara 17 sektor yang selama ini menjadi driver of growth harus diperkuat dengan berbagai insentif dan kemudahan.

Yang bisa memitigasi rapuhnya pasar portfolio adalah FDI (foreign direct investment) yang diarahkan pada sektor prime mover seperti industri, pertanian dan perdagangan.

Ingat, surplus neraca dagang RI 24 bulan berturut-turut yang membuahkan windfall income, disumbang oleh ekspor nonmigas (produk hasil Industri dan pertanian).

Dari sisi moneter, langkah melajukan LCS (local currency settlement), perlu di perluas ke negara mitra dagang utama. Dalam rangka melepaskan diri dari hegemoni USD.

Juga mempertimbangkan repatriasi hasil ekspor, hingga permintaan terhadap rupiah dapat memompa rupiah di bawah bayang-bayang apresiasi USD.

Membayangkan risiko kekeringan likuiditas, sama halnya membayangkan betapa beratnya pikiran bapak Peri dan bu Srimulyani. Kembalinya ekonomi Indonesia ke zona ekspansi, membuktikan, bahwa, Indonesia punya preseden, keluar dari risiko badai

Wallahu'alam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun