Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mabuk Politik Aliran

19 April 2021   11:36 Diperbarui: 19 April 2021   11:59 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber : C3-Esential)

Bila senewen akibat alkohol, bisa ditawar dengan milk thistle. Jenis aspirin seperti Non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) juga ampuh. Susu beruang juga ampuh. Bila tidak, tidur saja. Bertemu razia polisi tengah malam, pun bisa hilang mabuk seketika. Namun tak selamanya.

Masalahnya, ini mabuk politik aliran. Marx menulis tentang, Ist das Opium des Volkes, Agama itu candu.  Candu manakala, hanya dipakai untuk mengkonversi kekuasaan. Kendati sudah berkuasa, kekuasaan tak digunakan sebagaimana sejatinya.

Maka politik aliran, disatu sisi adalah perihal yang endogenous---muncul begitu sanya dari watak alamiah manusia dan sisi sosialnya. Namun fatal, bila agama, menjadi salah satu pemantik, lahirnya politik aliran. Demikian pula faktor ideologi lain.

Bila senewen akibat mabuk politik aliran itu yang repot. Perasaan ecstasy bergama, tertular ke dalam sikap politik. Akan menjadi sempoyongan agama, karena dikerjai politik---kekuasaan.

Silahkan cari semacam milk thistle, atau aspirin NSAID, susu beruang, atau biarkan saja sempoyongan sendiri. Maka langkah menyadarkan orang-orang agar tak ikutan mabuk adalah, sadarkan secepat-cepatnya.

Memantik koalisi Islam menuju 2024 bukan suatu soal genting. Sah-sah saja. Tapi bila itu dibumbuhi fantasi kekuasaan yang over dosis, bisa jadi opium. Agama akan dibikin sempoyongan, bila takarannya tidak pas.

Sebagaimana awal podcast di chanel Endgame, prof Emil sudah bicara tentang bagaimana Islam di abad ke-7 dan ke-8 Masehi, yang begitu meng-influence sains secara mondial. Entah social science dan empiracl science, hingga lahirlah semacam Al Khawarizmi, Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun dan epos hause of wisdom/baitul hikmah yang gemilang itu.

Di antara kita pasti sudah ada yang tahu, dari mana sebenarnya asal muasal Aljabar, Algoritma, yang mana sungguh-sungguh itu datang dari influence Islam di masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M). Langit Eropa dicerahkan oleh saintifikasi Islam, sebelum babak belur dilumat Hulagu Khan.

Pasal itu yang membikin prof Emil sungguh-sungguh mengharapkan Islam yang sekarang, termasuk di Indonesia, bisa kembali meng-influence empirical science, social science termasuk ke dalam politik kita. Agar politik pun menjadi pilar peradaban sebagaimana sejatinya.

Terpantiklah pertanyaan, apakah Islam sekarang, cuma bertugas meng-influence politik? Sehingga membikin polarisasi masyarakatnya terjadi sedemikian partikelir? Apakah karena prof Emil orang Minang hingga dia bicara begitu?

Tempo, belasan tahun lalu, dalam kamar saya, persis di pojok masjid Nurussa'adah Kupang-NTT, seorang kawan sungguh-sungguh niat beristrikan dara Minang. Apa pasal? Hanya karena dia menganggap orang Minang tidak hidup dalam perilaku "ashabiyah" yang ketat. Atau apa yang disebut Ferdinand Tonnies sebagai Gemeinschaft atau communal society.

Sungguhpun hingga kini, setelah berbinikan orang Minang, saya belum menemukan satu riset, yang menyatakan, bahwa orang Minang tak hidup dalam perilaku ketat ashabiyah. Atau bila berpolitik, tidak dalam suatu politik aliran teramat ketat hingga engap-engap saking ketatnya.

Sejatinya, apa yang disebut Ferdinand Tonnies tentang Gemeinschaft atau communal society, itu adalah watak primordial alamiah manusia. Hidup dalam berkoloni, dan memiliki aneka karakteristik. Sesuatu yang sifatnya endogenous.

Maka seturut itu, suatu politik yang berwatak ashabiyah atau Gemeinschaft, tidak bisa tidak, hadir dalam suatu langgam politik. Dia mesti ada. Demokrasi per se, pun tidak hadir untuk meratakan ashabiyah atau Gemeinschaft secara serta merta. Tidak !

Indonesia misalkan, Pancasila sekalipun, adalah produk puncak dari watak ashabiyah dari Islam, sosialisme dan liberalisme. Pancasila mengakomodasi tiga watak ashabiyah tersebut sebagai konsepsi kebangsaan.

Maka konsepsi Wasathiyah yang lahir dari konsensus kepemimpinan profetik Rasulullah SAW dalam menata tiga pilar masyarakat di Madina, tak serta-merta menegasi watak ashabiyah atau Gemeinschaft tiga kelompok masyarakat Madinah tersebut. Tolong dicek baik-baik, jika tuan kurang percaya, apa yang saya tulis ini.

Maka apa tugas pembaharuan Islam Wasathiyah yang ditransfusi ke dalam sistem politik modern? Ya tentu mengakomodasi berbagai bentuk corak politik ashabiyah. Mencari titik cair/titik lekat, sehingga bisa hidup dalam politik secara akur dan tak saling menegasi.

Bukankah secara secara historis, konsepsi Islam Washatiyah, lahir dalam konstruksi sosial masyarakat Madina yang akomodatif? Bukankah demokrasi Pancasila, juga mengandaikan, yang sosialis, liberalis dan Islamis, bisa hidup bareng-bareng, tanpa saling menendang lutut masing-masing hingga sempoyongan sedemikian rupa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun