Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kenapa Tekor Melulu dengan Negara China?

24 Oktober 2020   07:16 Diperbarui: 24 Oktober 2020   08:17 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: monitorriau.com)

Lepas dari soal suka tidak suka pada Anies Baswedan, kata-kata Anies yang deman adalah, jangan cuma bikin GDP (gross domestic product) tambun. Tidak apa dia tambun, asalkan adil dan berpihak. Istilah menterangnya, "antara public sector dan private sector, harus inline, purpose-nya pada keberpihakan dan keadilan. Disitulah fungsi negara. 

Jangan sampai GDP gemuk sedemikian rupa, tapi isinya cacing dan lintah. Kerjanya hanya menghisap segala protein dalam usus ekonomi kita. Tugas negara, sejatinya membikin GDP besar, tapi pula memakmurkan rakyat kecil.  Untuk apa GDP tambun, tapi rakyatnya pedar hingga alang kepalang blangsak.

Tidak apa kejar investasi, tidak apa menggenjet-genjet itu birokrasi sampai gepeng, demi efisiensi. Tapi jangan sampai rakyat dan buru juga digencet sampai gepeng. Jangan sampai tujuannya berhenti pada market function efficiency.    

Apa jadi, belakangan, dahi kita dibikin kernyit dengan ekonomi yang menceng. Entah ke kanan, pula ke kiri. Sebagai neolib juga tidak tentu, menjadi sosialis atau komunis juga indak jaleh. Sebentar-sebentar dituding komunis, sebentar-sebentar dimaki sebagai neolib.

Yang jelas, entah komunis atau neolib, sama-sama mencengkam ekonomi kita. Sama-sama maruk. Betapa tidak dongkol, satu dekade terakhir, perdagangan kita terus defisit dengan China. Sementara, Amerika yang dituding selaku biangnya neolib, kita sanggup menyabet surplus perdagangan dengannya. Kurang rakus apa Amerika? 

BPS sudah omong, pada Agustus 2020, perdagangan RI surplus dengan Amerika. melakukan ekspor komoditas senilai 1,6 miliar dollar AS dan impor 578 juta dollar AS dengan Negeri Paman Sam. Namun alang kepalang rumitnya, dengan China, kita malah defisit.

Defisit terbesar dialami dengan China, yakni sebesar US$ 893 juta. Dagang dengan China, kita tekor sampai US$ 893 juta per Agustus 2020. Ini bukan kali pertama. Jangan-jangan sampai kiamat, bakal tekor terus dagang dengan negara Tirai bambu ini. Apa lacur?

Mestinya, dengan prinsip-prinsip resiprokal, antara kita dengan China perlu renegoisasi perjanjian perdagangan. Tarulah menekan komponen-komponen perdagangan agar lebih adil secara resiprokalnya. Agar sekali tidak apa, kita alami surplus dagang dengan China. Jangan sampai seumur-umur tekor dan blangsak terus dengan mereka. Apakah sedemikian sawan, hubungan dagang kita dengan negara yang punya pagar tembok sampai menuding langit itu?

***

Selain dari sisi perdagangan kita sering tekor, dalam soal investasi, kita juga ketulung baik dengan China. Milsanya, dari sisi investasi di RI, cukup besar menyerap TKA dari China. Bahkan paling besar TKA China di Indonesia kalau kita mau bandingkan.

Kendatipun, dari total investasi sepanjang lima tahun terakhir (2015-2019), investasi China masih kalah dari Singapura. Dari data TKA di Indonesia sepanjang 2015-2019, TKA China paling tinggi dengan rata-rata pertumbuhan tiap tahun 0,17%.

Padahal, untuk data terakhir, China dengan total investasi 2019 US$ 4,7  miliar (2.130 proyek), namun TKA lebih tinggi dari Singapura dengan Investasi US$ 6,50 miliar (7.020 proyek) dengan TKA 2.187 (data BKPM 2019 diolah)

TKA di Indonesia sepanjang 2015-2019. TKA China paling tinggi dengan rata-rata pertumbuhan 0,17% (Data BKPM diolah)
TKA di Indonesia sepanjang 2015-2019. TKA China paling tinggi dengan rata-rata pertumbuhan 0,17% (Data BKPM diolah)
Saya mula-mulanya berpikir, jangan-jangan investasi Singapura itu di sektor padat modal semisal di bisnis portofolio, sehingga tenaga kerja yang terserap sedikit dari sisi TKA Singapura. Padahal, investasi itu dalam bentuk proyek sebesar 7.020 proyek, bila dibanding China dengan 2.130 proyek. Tentu kita perlu dalami lagi, apa soal? Yang jelas ada alasannya. 

Tapi lagi-lagi, kalau kita menenggarainya, bisa jadi ini soal diplomasi ekonomi kita yang kurang daya. Kenapa, negara seperti Jepang yang total investasinya hampir sama dengan China, dengan 3.835 proyek (lebih besar dari China), tapi TKA Jepang di RI di bawah China, yakni 14.097. Ini suatau urusan yang begitu rumit dipikir. 

Untuk data terakhir, China dengan total investasi 2019 US$ 4,7 miliar (2.130 proyek), namun TKA lebih tinggi dari Singapura dengan Investasi US$ 6,50 miliar (7.020 proyek) dengan TKA 2.187 (data BKPM 2019 diolah)
Untuk data terakhir, China dengan total investasi 2019 US$ 4,7 miliar (2.130 proyek), namun TKA lebih tinggi dari Singapura dengan Investasi US$ 6,50 miliar (7.020 proyek) dengan TKA 2.187 (data BKPM 2019 diolah)
Tarulah kalau pakai perasaan, rasa-rasanya ada soal yang belum bisa dipecahkan. Rasa-rasanya politik ekonomi kita sedang sakit sehingga seakan-akan loyo seperti ikan kena potas. Tidak apa misalnya, TKA itu para tenaga ahli yang tak bisa disokong TK Indonesia. Tapi jangan sampai tukang aduk campuran atau OB, pun diimpor dari China.

Tentu ini berkaitan dengan size dari PDB kita. Tampak besar, karena menghitung seluruh hasil akhir produk barang dan jasa (termasuk hasil kerja orang asing). Tak peduli hasilnya seperti deviden dan remitansi yang mengalir keluar dari Indonesia. Setidaknya perlu diproyeksi secara ketat, soal bobot GDP. Agar kue ekonomi yang besar itu, benar-benar dirasakan rakyat sendiri. Hingga yang hidupnya paling blangsak. 

Padahal, kalau lihat data, antara TKI di China dan TKA asal China di Indonesia, masih lebih dominan TKA China di RI. Ini berdasarkan data BI. Otomatis data formal. Tapi silahkan koreksi. Karena berhubung dengan pencatatan BI di neraca pembayaran (balance of payment).

Di titik inilah, kita tak perlu dongkol. Apalagi sampai terkaget alang kepalang, bila ada saja letupan protes, kenapa rezim ini terlalu lembek dengan China. Seakan-akan mau membungkuk saja di bawah telapak kaki rezim komunis Xi Jinping. Entah benar atau tidak, ini dugaan saya saja. Wallahu'alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun