Tak pernah bikin onar di perbincangan publik. Memilih tak gaduh. Meski kesalahan penguasa seabrek-abrek ada di depan dua bola matanya. Untung saja tak lari sembari melerok-lerok.
Kalau saja ada politisi yang berani. Kalau digertak, balik gertak. Apalagi menujurkan leher sembari menyalakaan biji mata disertai ngotot. Apa kau? Bila perlu mengepak lengan. Tungging sedikit ke atas, lalu kaki mencakar-cakar tanah. Biar tampak sedikit garang.
Seakan akan mau baku makan. Itu baru politisi laki-laki. Maka demokrasi bisa berjalan normal. Tanpa perlu cemas. Saling sandera. Apalagi zonder daya karena takut kalau-kalau di lempar ke bui.
Meski di Indonesia ini konstruksi gender atas politik sudah digahar sedemikian rupa. Hingga tampak bentuk asli dari demokrasi seakan-akan sudah menyembul.
Lalu sikap lembek, menyerah tanpa syarat dianggap mengkhianati kelaki-lakian. Acapkali disebut kurang "laki." Banci kaleng. Mental celurut. Hidup di lubang-lubang sempit, menggerogoti. Bau pula
Namun sayang 1000 kali sayang, patrimonial politik itu masih nyata. Hanya diatur-atur suprit manusia. Cuma 1%, yang menguasai 80% kekayaan bangsa secara percuma; berikut politik-politiknya.
Kendatipun Jacinda Ardern lebih menonjol maskulinnya. Dia bikin New Zealand lebih cepat bebas Corona. Tegas, pun cekat. Tanpa ba bi bu. Tanpa gimmick. Apalagi mencla-mencle.
Omongannya lugas. Menekankan pada pokok yang hendak disampaikan ke publik. Orang paham. Tak ikutan dongok. Di tegaskan lewat eksekusi kebijakan. Dia tunjuk kekuatan leadership.
Sekarang era terbalik. Bisa jadi kita butuh lelaki bermental Jacinda Ardern. Jikapun tak bisa, ya sudah. Kapan-kapan kena gertak, baru terkaget-kaget. Hilang kira. Bikin semua hal sembarangan.
***Penulis lepas tinggal di Bogor