Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Politik Gertak Sambal

31 Mei 2020   11:13 Diperbarui: 1 Juni 2020   09:37 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stock Photo of a Rottweiller via wsfa.com

Sekali anjing itu melotot, si akang tancap gas. Lari lintang pukang hingga kadang terpental menanduk polisi tidur. Entah kenapa, dua lelaki berkumis ini jatuh mental dengan ajing kampung yang tidak terlatih dan kurus seperti batang sedotan teh botol.

Ternyata berkumis saja tidak cukup sebagai lelaki nan jantan. Air muka harus geram. Mungkin butuh muka seperti saya. Tanpa pasang muka sangar, memang sudah sangar sejak brojol di pulau pantar nan panas.

Pasal itu yang membuat melirik saya pun Moli emoh. Perduli apa saya? Yang penting jangan dia pelotiti saya. Akan saya pelintir batang lehernya seperti mengeringkan jemuran sarbet.  

Tempo dimasa kanak-kanak, di kampung, ada juga anjing swanggi. Dipercaya sebagai jelamaan tukang teluh. Di musim-musim tertentu, mereka berkumpul bak suatu konferensi. Satu kampung manusia mempercayai kerumunan anjing ini sebagai tanda bala.

Anjing ketua selalu duduk di tengah-tengah lingkaran, sembari kaki meninggung. Lehernya mendongak, mulutnya mengaum-ngaum dengan suara cengking.

Anjing-anjing anggota merumung, sembari menyahutinya dengan auman bak vocal group orchestra dari Paris memainkan Balero. Atau Dolly Suite punya Faure Gabriel. Entah itu semacam menyampaikan pokok-pokok pikiran atau menggerung. Justru lama-lama, auman seram itu menjadi nada-nada indah menyorak malam yang hening dibungkus gulita.

Tak pernah ada anjing yang merumuk. Mereka duduk meninggung. Ujung kuku anjing satu dan lainnya berjejer rapih seperti garis saf. Aumannya pun berganti-ganti. Teratur. Tak berebut. Seperti suara terompet bocor, namun harmoni.

Disitulah anjing-anjing itu beradab dalam persidangan di malam-malam tertentu. Ketimbang politik di negeri tai-land. Manut saja dipreteli Perpu sapujagat tanpa protes soal suatu urusan maha penting. Satu batu saja kau lego di tengah-tengah rumungan forum anjing itu, mereka bisa tampias lintang pukang.

Saking takutnya pada anjing Swanggi, anak-anak kampung yang melempar, tak berani memanggil nama asli masing-masing. Bisa jadi tumbal swanggi.

Nama Udin diganyi Eden, Munir diganti Manor, Nama Burhan diganti Behreiun dan macam-macam. Biar tak ditandai anjing-anjing itu. Saking takutnya pada anjing swanggi.

Entahlah bagaimana cerita, anjing-anjing itu dipercaya sebagai jelmaan swanggi. Sejak zaman belum banyak sarjana Muhammadiyah hingga sekarang. Anjing-anjing itu masih dipercaya, sebagai anjing jadi-jadian. Meski ceramah TBC tetap berjalan (takhyayul, bid'ah dan khurafat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun