Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masjid Peninggalan di NTT yang Terlantar

13 Juni 2013   11:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:05 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_248634" align="alignleft" width="300" caption="Pesisir Baranusa (doc. munir)"][/caption] Seperti pada tulisan saya sebelumnya, tentang Islam masuk di Alor-NTT, desa Gelubala yang sekarang di sebut Baranusa merupakan salah satu jejak historis masuknya Islam di Alor. Baranusa, sebuah desa di Pulau pantar yang letaknya dipesisir dengan jumlah penduduk sekitar 5000 jiwa.

Penjelajah asal Portugal (Fageta), Ferdinand Magellan mencatat, pada tahun 1522 dalam pelayarannya kembali ke Eropa, ia melihat di Alor, tepatnya di Pulau Pantar, mereka telah menemukan suatu komunitas Islam yang tinggal di kampung bernama Maloku, Baranusa.

Demikian pun beberapa sumber menjelaskan bahwa, Agama Islam masuk ke Alor melalui desa Gelubala (sekarang Baranusa) di Pulau Pantar, melalui kehadiran seorang mubaligh dari Kesultanan Ternate bernama Mukhtar Likur pada tahun 1522.

Salah satu jejak sejarah yang tertinggalkan adalah masjid tua di Baranusa. Diawal tahun 1990, masjid ini diterpa badai hingga roboh. Faktor usia juga mengharuskan masjid ini tak kuat menahan angin dan badai yang sangat kencang dimusim-musim tertentu. Bila Islam sudah masuk di Baranusa-NTT sekitar tahun 1522, maka perkiraannya masjid ini sudah bersusia 491 tahun atau hampir lima abad lamanya.

[caption id="attachment_248636" align="alignleft" width="300" caption="Masjid tua Baranusa yang dibangun seja tahu 1990 hingga saat ini (doc.munir)"]

13710986122121435722
13710986122121435722
[/caption] Setelah masjid ini roboh, masyarakat Baranusa berinisiatif merenovasi kembali dengan ukuran yang jauh lebih besar sesuai jumlah populasi penduduk yang semakin bertambah. Namun sayangnya, proses renovasi sejak 1990 itu tak kunjung selesai hingga saat ini.

Untuk membangun masjid peninggalan lima abad lalu ini, hanya mengandalkan swadaya murni masyarakat. Dan swadaya ini dibagi berdasarkan kelompok-kelompok suku yang ada. Tidak dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk bahan-bahan bangunan seperti, pasir, batu, kayu yang dikumpulkan masing-masing kabila suku yang ada di Baranusa. Untuk semen, dan besi beton, biasanya hanya mengandalkan anak-anak Baranusa yang ada di perantauan.

Swadaya masyarakat itulah yang menyokong proses pembangunan dari tahun 1990 hingga saat ini. Lamanya proses pembangunan ini (23 tahun) tentu dipicu oleh persoalan-persoalan klasik, mulai dari kondisi perekonomian penduduk yang terbatas, hingga kurangnya kepedulian pemerintah setempat.

Mestinya, masjid yang sekaligus menjadi situs sejarah ini perlu dirawat oleh pemerintah. Dengan demikian kepedulian dalam bentuk bantuan pendanaan pun harus diendorse. Tapi sayangnya, proses itu tak berjalan semestinya hingga hari ini.

Saat ini tiang-tiang beton yang berdiri selama 23 tahun itu sudah mulai keropos. Di beberapa sudut, tembok-tembok tua pun mulai retak. Kalau hujan angin tentu yang menjalankan solat di dalamnya basah kuyup.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan beberapa tokoh agama dan masyarakat Baranusa, tapi sepertinya menemukan jalan buntu. Hingga saat ini meski dengan segala keterbatasan, proses pembangunan masih terus dilakukan. Tentu kita berharap, suatu waktu, mata hati pemerintah daerah setempat dan pusat, bisa memandang jauh hingga ke pesisir Baranusa, disana ada sepenggal jejak sejarah yang merana tak tersentuhkan. Semoga

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun