Pendahuluan: Paradoks Kesombongan dan Doa
Fenomena penolakan terhadap utusan Tuhan bukan sekadar kisah masa lalu—ia adalah pola berulang yang ironis dalam sejarah iman manusia. Penolakan ini sering datang dari mereka yang mengaku paling beriman dan paling mencintai Tuhan. Kita memohon petunjuk setiap hari dalam doa, namun ketika petunjuk itu datang dalam bentuk seorang utusan atau pembaharu, kita justru menolaknya. Mengapa terjadi paradoks sebesar ini?
Al-Qur’an dan sejarah kenabian menjelaskan dua akar utama dari penolakan tersebut—dua penyakit hati yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Akar Penolakan Pertama: Sindrom Iblis (Kesombongan)
Penolakan terhadap utusan Tuhan kerap berawal dari kesombongan—perasaan bahwa diri atau kelompok kita lebih tahu, lebih mulia, atau lebih berhak atas kebenaran.
Kisah Iblis menjadi cermin paling awal dan paling jujur tentang penyakit ini.
> "(Allah) berfirman: 'Apakah yang menghalangi engkau daripada sujud di kala Aku perintahkan?' Ia menjawab: 'Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku daripada api dan Engkau ciptakan dia daripada tanah.'" (Al-A’raf: 12)
>
Iblis menolak bukan karena Adam a.s. salah, melainkan karena ia merasa lebih tinggi. Kesombongan membuatnya menolak perintah Ilahi. Pola ini berulang: kaum elit menolak nabi yang dianggap miskin, dan kaum agamawan menolak nabi yang dianggap “tidak sesuai tradisi.” Yang ditolak bukan ajarannya, melainkan sang pembawa ajaran.
Akar Penolakan Kedua: Membatasi Kehendak Tuhan
Bentuk penolakan kedua adalah upaya membatasi Tuhan dengan akal manusia sendiri. Ada keyakinan yang diam-diam tumbuh bahwa “Tuhan sudah berhenti berbicara,” bahwa wahyu telah berakhir selamanya. Padahal, Al-Qur’an dengan tegas menegur sikap semacam itu:
> “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang layak bagi-Nya ketika mereka berkata: ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.’” (Al-An‘am: 91)
>
Dengan keyakinan semacam itu, setiap klaim pembaruan atau kebangkitan rohani akan langsung ditolak, bahkan sebelum diselidiki. Ini adalah bentuk penutupan pintu rahmat Ilahi, karena Tuhan dianggap tidak lagi berhak berkehendak atau berfirman kepada manusia.
Tolok Ukur Kebenaran: Hukum Keberlangsungan (Survival)
Lalu bagaimana membedakan antara utusan sejati dan pendusta? Al-Qur’an memberi tolok ukur yang sederhana tapi tegas: kebatilan tidak akan bertahan lama, sedangkan kebenaran akan terus hidup meski dihadang oleh seluruh dunia.
> “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah, atau berkata: ‘Telah diwahyukan kepadaku,’ padahal tidak ada sesuatu pun yang diwahyukan kepadanya...” (Al-An‘am: 93)
>
Sejarah menjadi saksi: Musailamah Al-Kazzab, yang mengaku nabi palsu, hancur bersama pengikutnya. Sementara Nabi Muhammad ﷺ dan ajarannya tetap hidup selama lebih dari 14 abad. Kebenaran memiliki daya hidup (survival) yang tidak bisa dipalsukan.
Janji Rasulullah ﷺ tentang datangnya Imam Mahdi dan Khilafah 'ala minhajin nubuwwah setelah masa kegelapan menunjukkan bahwa janji Ilahi harus digenapi. Dan bila prinsip ini diterapkan hari ini—terhadap Jemaat yang mengaku dibangkitkan Tuhan untuk memenuhi janji tersebut—kita dapat mengujinya dengan tolok ukur yang sama: apakah ia tetap hidup, berkembang, dan memberi manfaat bagi umat manusia walau dikepung kebencian?
Nubuatan Rasulullah ﷺ: Jalan Kembali ke Jamaah
Penolakan terhadap Utusan selalu berujung pada perpecahan. Rasulullah ﷺ memberikan gambaran jelas tentang masa gelap di akhir zaman, di mana umat terpecah.
Hudhaifah bin Al-Yaman meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda bahwa setelah masa kebaikan, akan datang masa ternoda, di mana "akan ada orang-orang yang membimbing manusia tidak sesuai dengan petunjukku."
Ketika ditanya apa yang harus dilakukan jika masa itu datang, Beliau menjawab:
> "Berpeganglah pada Jamaah kaum Muslimin dan Imam mereka."
>
Ketika Hudhaifah bertanya, “Jika tidak ada Jamaah dan tidak ada Imam?” Beliau menjawab:
> “Maka menjauhlah dari semua golongan itu, meskipun engkau menggigit akar pohon hingga ajal menjemputmu dalam keadaan demikian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
>
Sabda ini menekankan: keselamatan ada pada Jamaah yang bersatu di bawah Imam yang benar. Ini sejalan dengan sabda lainnya:
> “Barang siapa mati tanpa Imam, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (Musnad Ahmad, 16434)
>
Ulama besar Sunni, Muhammad Al-Hasan bin Al-Diddu, pernah menyampaikan: “Adapun makna Jamaah adalah mereka yang telah berbaiat kepada Khalifah. Tidak ada Jamaah tanpa Khalifah.”
Maka, setiap penolakan terhadap pemimpin Ilahi yang diutus untuk mempersatukan umat, adalah kerugian besar, karena itu menjauhkan kita dari al-jama'ah yang dijanjikan selamat dari perpecahan 73 golongan.
Refleksi Akhir: Jalan Pulang ke Jamaah