Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Percakapan #1: Kabar

22 Desember 2021   20:24 Diperbarui: 22 Desember 2021   20:28 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.pexels.com/

We wait for many things in our lives: from small things like packages to waiting for someone for a long time. We are also waiting for our dreams to come true. There are waits that have an end, but there are also waits that have no end even if we waited for a long time. That's why it feels more grateful and precious when things come at the right time. -- Jay B's R&B Radio

"Whenever, Wherever, Whatever" milik Maxwell jadi lagu pembuka mengikuti kutipan tadi. Usai lagu itu diputar, aku mematikan siaran radio favoritku yang tidak pernah kulewatkan setiap Rabu malam. Agak aneh bagi sebagian orang memang, tapi setiap kali mendengarkan siaran radio, aku paling suka dengan bagian pembukanya. Setidaknya itu adalah bagian yang tidak pernah rela untuk kulewatkan meski ada banyak sekali kesibukan yang selalu minta diutamakan.

...

Rabu, 13 Oktober 2021.

Malam ini aku di sini. Di ruangan berukuran 3x4 meter. Dengan meja dan kursi kayu yang tampak tua tapi entah mengapa seperti sengaja menyimpan banyak cerita. Sebuah cermin besar berdiri tepat di depan tempat dudukku. Sebuah vas bunga dengan setangkai gerbera merah muda diletakkan di sisi kanan meja. Siluetnya entah bagaimana tampak anggun dan padu sekali dengan dinding tembok bercat klasik yang susah buat kudeskripsikan warnanya. Aku melepas headset, mematikan ponsel dan semua notifikasi, mulai serius dengan pertemuan malam ini.

"Hai," kataku. Seseorang di hadapanku yang semula menunduk kini mengangkat kepala. Aku tersenyum, dia ikut tersenyum. Entah bagaimana aku harus memulai percakapan malam ini. Klasik. Akhirnya cuma kata hai yang bisa kulontarkan untuk membuka percakapan.

"Apa kabar?" dia bertanya, juga pertanyaan klasik. Tapi aku tahu, dia selalu serius dengan pertanyaan yang mungkin cuma berarti sebagai basa-basi bagi sebagian besar orang, termasuk buatku sendiri.

Kurasa sekitar sepuluh menit berlalu tanpa obrolan. Dia tidak bertanya lebih lanjut, aku pun belum tahu harus menjawab apa. Sudah lama aku tidak bicara dengannya meski aku tahu dia sudah membersamaiku lama sekali, juga meski aku tahu dia adalah satu-satunya pendengar yang tidak akan menghakimiku bagaimanapun keadaanku. Kurasa sudah lebih dari tiga bulan aku mendiamkannya. Bukannya marah atau benci dengannya, aku cuma tidak tahu apa yang harus kukatakan ketika bertemu. 

Dulu kami suka sekali berbincang tentang mimpi-mimpi kami. Tapi akhir-akhir ini, mimpi-mimpi itu seperti sudah habis digerus ketakutan akan realita. Aku mulai lebih banyak diam, menenggelamkan diri dalam kesibukan. Tenggelam sedalam-dalamnya sampai pada titik aku tidak tahu lagi hari apa yang baru saja berlalu, sampai pada titik aku lupa apa yang sudah kulakukan hari kemarin, dan sampai pada titik aku tidak tahu lagi kenapa aku rela bekerja keras demi melakukan semua hal yang kulakukan. Tapi orang-orang bilang, aku harus merasa cukup dengan apa yang kumiliki sekarang. Jadi kurasa aku baik-baik saja.

"Baik," akhirnya itu jawabanku. Kurasa aku benar-benar baik-baik saja. Dia diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun