Mohon tunggu...
Weni Widya Shari
Weni Widya Shari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Abadi yang belajar dikampus kehidupan. Dimanapun menjadi laboratorium kehidupan.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Pendidikan Keperawatan di Indonesia

3 Maret 2013   15:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:23 5547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan pada era globalisasi akan berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan. Masyarakat lebih menuntut pelayanan yang berkualitas serta sanggupmemenuhi kebutuhan klien. Kepuasan pasien merupakan salah satu indicator untuk mengukur berkualitas atau tidak suatu pelayanan kesehatan tersebut. Kepuasan yang dialami oleh pasien sangat berkaitan erat dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat, mengingat perawatselama 24 jam secara berkesinambungan mengetahui kondisi pasien dan merupakan ujung tombak dalam pelayanan kesehatan. Ditambah lagi dari hasil penelitian Zahrotul (2008) diketahui bahwa kualitas pelayanan perawat memberi sumbangan efektif sebesar 74,4 % terhadap kepuasan pasien. Peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan yang berkualitas sudah barang tentu membutuhkan dukungan sumber daya manusia keperawatan yang professional juga. Tenaga keperawatan yang profesional hanya bisa dilahirkan dari suatu sistem pendidikan keperawatan profesional yang sesuai dengan bidang keilmuannya.

Bicara masalah sistem pendidikan kesehatan profesional , tidak terlepas pada tujuan akhir dari penyelenggaraan sistem pendidikan ini yaitu terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan dalamSistem Kesehatan Nasional (SKN). Terciptanya tujuan sistem kesehatan nasionaltersebut apabila terjadikordinasi, integrasi, sinkronasi, dan sinergisme (KISS) yang berfungsi dengan baik , baik itu antar pelaku, antar subsistem SKN, maupun dengan subsistem lain diluar SKN. Keperawatan sebagaisalah satu subsistem SKN merupakan komponen pembangunan kesehatan, sekaligus bagian integral dari SKN yang mempunyai tanggung jawab moral dalam pembangunan kesehatan . Tanggung jawab moral ini salah satunyabisa diwujudkan dalam kemandirian mengaturkehidupan profesi melalui pengembangan proses profesionalisme keperawatan yang diawali dengan perbaikan sistem pendidikan keperawatannya.

Dalam perkembangannya, sistem pendidikan keperawatan mulai berusaha bangkit dari ketertinggalannya dengan profesi kesehatan lain di Indonesia, walaupun tidak telepas dari tantangan dan hambatan baik dari eksternal maupun internal profesi ini sendiri. Berawal dari tahun 1800-an di sebuah rumah sakit Batavia yang sekarang dikenal dengan Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta, dimulailah pendidikan kekhususan paramedis yang terbagimenjadi pendidikan untuk menjadi mantri cacar, tenaga perawat berijazah Eropa, tenaga perawat berijazah Hindia-Belanda, dan pendidikan mantri malaria. Juru rawat, untuk sebutan pada saat itu juga banyakdilibatkan dalam medan perang untuk melakukan berbagai kegiatan, mulai dari mengangkat korban, mengobati, memindahkan ketempat yang lebih aman sampai memakamkan korban yang meninggal.

Setelah kemerdekaan sampai dengan tahun 1965, perawat tidak banyak mengalami kemajuan. Pada tahun 1953 dibuka Sekolah Pengatur Rawat (SPR) dengan latar belakang sekolah menengah pertama dan lama pendidikan 3 tahun yang dibuka di 3 wilayah yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya. Tahun 1955, dibuka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan latar belakang pendidikan dasar (Sekolah Rakyat) ditambah satu tahun. Pada masa ini tampak bahwa perkembangan keperawatan masih sangat tertinggal sehingga pada tahun 1960-an dikenal berbagai jenis tenaga perawat sampai lebih dari 20 jenis.Pembukaan institusi keperawatan dilaksanakan hanya berdasarkan kebutuhan rumah sakit setempat saja karena landasan keilmuan yang kurang kokoh, hanya bersifat sebagai suplementer dibawah suvervisi tenaga kesehatan lain. Situasi tersebut mendorong Departemen Kesehatan mengembangkan pendidikan keperawatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan pelayanan masyarakat. Sehingga dibukalah Akademi Keperawatan di lingkungan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta pada tahun 1962 dengan latar belakang pendidikan sekolah menengah atas ditambah dengan pendidikan keperawatan 3 tahun. Pada tahun 1983 merupakan periode kebangkitan, dimana pada Lokakarya Nasional Keperawatan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia(PPNI) disepakati bahwa keperawatan adalah profesi dan pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi (Gaffar, 1999). Hasil kesepakatan tersebut diaplikasikan dengan pendirian Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1985, yang merupakan pendidikan tinggi keperawatan strata satu pertama di Indonesia.

Pengakuan kedudukan keperawatan diperkuat lagi dengan diakuinya perawat sebagai profesi pada Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 serta dijabarkan keberadaan profesi perawat sebagai satu dari enam kelompok profesi kesehatan yang ada di Indonesia pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Pengakuan keperawatan sebagai profesi tersebut merupakan angin segar bagi profesi keperawatan untuk mengembangkan diri secara mandiri, sehingga mendorong organisasi profesi untuk menata kategori jenis pendididikan yang ada menjadi dua kategori yaitu vokasional dan profesional.

Akan tetapi, angin segar ini ternyata tidak selalu berhembus. Seiring dengan keinginan perawat untuk mereformasi proses profesionalismenya, berbagai permasalahan mulai muncul terkait sistem pendidikan keperawatan ini. Mulai dari yang paling klasik mengenai belum sepenuhnya pengakuan terhadap profesi ini diberikan oleh pemerintah, heterogenitas jenjang pendidikan keperawatan yang berimplikasi pada mentalitas dan pola kerja perawat yang kurang professional di pelayanan kesehatan, tidak seimbangnya daya serap tenaga keperawatan dan keluarannya, sampai kepada kurang terintegrasinya pelayanan dan pendidikan keperawatan professional. Ironisnya, sistem pendidikan keperawatan yang menjadi penyokong utama tegaknya profesi inipun masih mencari bentuk aplikasi yang paling cocok. Standar pendidikan keperawatan baru menyentuh satu- persatu institusi pendidikan besar. Padahal, dalam kenyataannya pertumbuhan institusi keperawatan saat ini, bak jamur dimusim hujan. Keadaan ini, tidak terlepas dari peran pemerintah yang tidak melibatkan sepenuhnya profesi perawat dalam mengambil kebijakan, padahal yang memahami ilmu mengenai rumah tangga profesi itu adalah profesi itu sendiri. Kebijakan-kebijakan pemerintah melalui perpanjangan tangannya terkadang menunjukan ketidakberpihakannya kepada perawat. Kebijakan yang ada belum banyak berpihak pada keadilan, sosial, ekonomi, dan hukum bagi perawat. Hal ini terlihat ketika disyahkannya D.IV sebagai salah satu jenjang perawat oleh depkes, padahal profesi perawat sedang menata kategori jenjang perawat menjadi D.III dan Sarjana. Parahnya lagi, pendirian pendidikan tinggi keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan profesi non keperawatan, sehingga pemahaman tentang hakikat profesi keperawatan dan arah pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana dan prasaranan cenderung untuk dipaksakan. Kalaupun ada sangat terbatas ( Yusuf, 2006).Belum adanya legislasi yang kuat berupa Undang-Undang untuk mengatur keberadaan konsil keperawatan juga menjadi hambatan profesi ini untuk berkembang.Hal ini akan berefek pada mutu pelayanan keperawatan, karena keberadaan konsil salah satunya untuk melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat.

Standar kompetensi di Indonesia tidak diakui oleh dunia internasional,  kemampuan bahasa inggris yang lemah (TOEFL, IELTS),  dan ketrampilan keperawatan yang juga masih rendah. Hal ini dilihat dari hasil skoring NCLEX (The National Council Licensure Examination) sekitar 40, padahal yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50–70 dan AS antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007). Tidak sampai disini saja, baru-baru ini ada sekitar 700 perawat Indonesia di Kuwait yang nasibnya terkatung-katung terancam dideportasi karena terhalang akreditasi (Kompas, 2011). Hal ini karena masih simpang siurnya pengaturan sistem pendidikan tinggi keperawatan serta belum adanya perlindungan hukum yang kuat bagi perawat yang akan bekerja diluar negri. Padahal, AFTA 2010 yang merupakan aplikasi dari ditandatanganinya Mutual Recognicion Arrangement (MRA) di Philipina 2006 sudah berlaku. Perawat merupakan tenaga kesehatan terbesar dari seluruh tenaga kesehatan dimana 80 % kegiatan pelayanan di rumah sakit adalah pelayanan asuhan keperawatan (Gilles, 2000). Dengan karakteristik pelayanan yang kontinu, sangat dekat dan lamadengan pasien serta cakupan praktik yang luas tidak terbatas pada kondisi geografis dan social ekonomi, pelayanan keperawatan yang diberikan harus berkualitas dan melindungi pasien. Hal ini dilakukan karena akan berpengaruh langsung terhadap pencapaian tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Akan tetapi, tidak adanya pengaturan yang kuat untuk menjamin kompetensi dan kualitas asuhan keperawatan yang diberikan serta perlindungan dalam melayani masyarakat tersebut, akan membuat kompetensi dan citra pelayanan keperawatan semakin buruk yang berefek pada pelayanan kesehatan secara umum. Survei 2010 menyatakan bahwa ada kesenjangan antara harapan masyarakat dengan kompetensi perawat saat ini yaitu 92,3 % : 68,7 %. Selain itu, pengakuan kompetensi perawat didunia internasionalpun tidak terlalu menggembirakan. Standar kompetensi di Indonesia tidak diakui oleh dunia internasional,  kemampuan bahasa inggris yang lemah (TOEFL, IELTS),  dan ketrampilan keperawatan yang juga masih rendah. Hal ini dilihat dari hasil skoring NCLEX (The National Council Licensure Examination) sekitar 40, padahal yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50–70 dan AS antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007). Tidak sampai disini saja, baru-baru ini ada sekitar 700 perawat Indonesia di Kuwait yang nasibnya terkatung-katung terancam deportasi karena terhalang akreditasi (Kompas, 2011). Hal ini karena masih simpang siurnya pengaturan sistem pendidikan tinggi keperawatan serta belum adanya perlindungan hukum yang kuat bagi perawat yang akan bekerja diluar negri. Padahal, AFTA 2010 yang merupakan aplikasi dari ditandatanganinya Mutual Recognicion Arrangement (MRA) di Philipina 2006 sudah berlaku. Dibukanya pasar bebas bagi perawat Indonesia ini tidak diimbangi dengan penataan sistem pendidikan keperawatan serta pemberian jaminan perlindungan hukum yang kuat oleh pemerintah.

Berdasarkan penjelasan mengenai sistem pendidikan keperawatan Indonesia diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa sistem pendidikan keperawatan di Indonesia belum sepenuhnya menjawab kebutuhan profesi dan bangsa. Hal ini terjadi karena kurang dilibatkannya organisasi profesi keperawatan oleh pemerintah dalam mengambil kebijakan yang menyokong kearah perkembangan profesionalisme keperawatan. Pengakuan keperawatan sebagai sebuah profesi serta jumlah perawat yang mendominasi tenaga kesehatan yaitu 60 % belum sepenuhnya termanfaatkan dengan optimal oleh penyelenggara negara. Jika hal ini dibiarkan dalam jangka panjang, maka akan sulit untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasionalyaitu mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Oleh : Weni Widya Shari


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun