Mohon tunggu...
Unike Noviayati
Unike Noviayati Mohon Tunggu... -

Universitas Muhammadiyah Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pengaruh Terapi Relaksasi Terhadap Kontrol Glikemik Pada Pasien Diabetes Melitus Di Purwokerto

1 April 2015   13:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:41 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Diabetes Mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan global. DM adalah

gangguan sistem endokrin yang dikarakteristikkan oleh fluktuasi kadar gula darah

yang abnormal, biasanya berhubungan dengan defect produksi insulin dan

metabolisme glukosa (Dunning, 2003). Hasil survei yang dilakukan Depkes

(2008), menunjukkan bahwa saat ini terdapat 5,7% dari jumlah penduduk

Indonesia (sekitar 12 juta orang) menderita DM dan sebesar 11% dari jumlah

tersebut merupakan kelompok pradiabetes. Diprediksikan jumlah kedua kelompok

tersebut akan terus meningkat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi

Jawa Tengah (2007) menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian akibat

penyakit DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki

ranking ke-2 yaitu 14,7%. Pada daerah perdesaan, penyakit DM menduduki

ranking ke-6 yaitu 5,8%. Kabupaten Banyumas menempati peringat tertinggi

kelima yaitu sebanyak 1,9% setelah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kota Tegal,

Surakarta, dan Pemalang.

Diabetes mellitus atau DM sering disebut sebagai “silent killer” atau tidak

menunjukkan tanda dan gejala (O’Hara, 2006). DM merupakan suatu penyakit

yang bersifat kronis, tidak dapat disembuhkan, hanya bisa dikontrol dengan pola

hidup sehaat dan obat-obatan (Beever, 2006). Seseorang yang telah dididiganosis

menderita penyakit kronis atau penyakit serius seperti DM merupakan suatu

kondisi yang menyetreskan (stressful). Stress pada pasien DM akan memicu

pengeluaran beberapa hormone yang berkontribusi dalam meningkatkan kadar

gula darah, yaitu glucagon, epinefrin, growth hormone dan glukokortikoid.

Glukagon aksinya berlawanan dengan insulin. Glukagon merupakan hormon

utama untuk menaikkan kadar gula darah dengan cara menstimulasi

glikogenolisis, lipolisis dan glukoneogenesis. Epinefrin memobilisasi glukosa

cadangan melalui glikogenolisis, dampaknya akan meningkatkan sirkulasi asam

lemak bebas. Growth hormon, menurunkan pengambilan glukosa oleh jaringan,

kemungkinan melalui penurunan reseptor insulin. Dan yang terakhir adalah

glukokortikoid, terutama kortisol yang akan menopang aksi glukagon. Selain itu

glukagon juga akan menurunkan penggunaan insulin oleh perifer, meningkatkan

glikogenolisis dan glukoneogenesis (Bullock and Henze, 2000). Semua faktor

tersebut cenderung membuat kadar gula darah semakin meningkat sehingga

pasien memerlukan intervensi medis dan intervensi keperawatan (Elliot & Izzo,

2006).

Salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah dengan terapi

komplementer. Terapi ini bersifat pengobatan alami untuk menangani penyebab

penyakit dan memacu tubuh sendiri untuk menyembuhkan penyakitnya. Terapi

komplemeter antara lain terapi herbal, latihan nafas, meditasi dan relaksasi (Xu

Yu, 2004). Teknik relaksasi pertama kali dikemukan oleh Dr. Herbert Benson

(1976). Ia telah menemukan, bahwa meditasi akan mengarah pada pengaturan

perubahan fisiologik dalam menghadapi respon fight-or-flight, meliputi penurunan

konsumsi oksigen, denyut jantung, frekuensi pernafasan dan laktat darah.

Penanganan keperawatan dengan teknik ini akan menurunkan efek endokrin dari

stres kronik (Craven and Hirnie, 2000).

Studi pendahuluan tahun 2010 yang dilakukan di Purwokerto Selatan, ditemukan

jumlah penderita DM sebanyak 152 orang. Dari penelitian sebelumnya oleh Anam

(2010) ditemukan sekitar 65% pasien DM mengalami depresi. Berdasarkan

wawancara dengan petugas posyandu lansia di salah satu wilayah kerja

Puskesmas Purwokerto Selatan, lansia yang mengalami DM dan telah mendapat

pengobatan secara farmakologis masih mengalami naik turun gula darahnya.

Penggunaan terapi nonfarmakologia atau terapi komplementer, relaksasi pada

perawatan pasien DM di Purwokerto Selatan belum dilakukan.

B.TUJUAN

Membuktikan “Pengaruh Terapi Relaksasi Terhadap Kontrol Glikemik Pada Pasien Diabetes Melitus Di Purwokerto”

BAB II

RESUME JURNAL

A.JUDUL JURNAL

“PENGARUH TERAPI RELAKSASI TERHADAP KONTROL GLIKEMIK

PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI PURWOKERTO”

B.PENGARANG

Wahyu Ekowati , Asep Iskandar, Made Sumarwati

Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman

C.LATAR BELAKANG DALAM JURNAL

Diabetes Mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan global. DM adalah

gangguan sistem endokrin yang dikarakteristikkan oleh fluktuasi kadar gula darah

yang abnormal, biasanya berhubungan dengan defect produksi insulin dan

metabolisme glukosa (Dunning, 2003). Hasil survei yang dilakukan Depkes

(2008), menunjukkan bahwa saat ini terdapat 5,7% dari jumlah penduduk

Indonesia (sekitar 12 juta orang) menderita DM dan sebesar 11% dari jumlah

tersebut merupakan kelompok pradiabetes. Diprediksikan jumlah kedua kelompok

tersebut akan terus meningkat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi

Jawa Tengah (2007) menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian akibat

penyakit DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki

ranking ke-2 yaitu 14,7%. Pada daerah perdesaan, penyakit DM menduduki

ranking ke-6 yaitu 5,8%. Kabupaten Banyumas menempati peringat tertinggi

kelima yaitu sebanyak 1,9% setelah Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kota Tegal,

Surakarta, dan Pemalang.

Diabetes mellitus atau DM sering disebut sebagai “silent killer” atau tidak

menunjukkan tanda dan gejala (O’Hara, 2006). DM merupakan suatu penyakit

yang bersifat kronis, tidak dapat disembuhkan, hanya bisa dikontrol dengan pola

hidup sehaat dan obat-obatan (Beever, 2006). Seseorang yang telah dididiganosis

menderita penyakit kronis atau penyakit serius seperti DM merupakan suatu

kondisi yang menyetreskan (stressful). Stress pada pasien DM akan memicu

pengeluaran beberapa hormone yang berkontribusi dalam meningkatkan kadar

gula darah, yaitu glucagon, epinefrin, growth hormone dan glukokortikoid.

Glukagon aksinya berlawanan dengan insulin. Glukagon merupakan hormon

utama untuk menaikkan kadar gula darah dengan cara menstimulasi

glikogenolisis, lipolisis dan glukoneogenesis. Epinefrin memobilisasi glukosa

cadangan melalui glikogenolisis, dampaknya akan meningkatkan sirkulasi asam

lemak bebas. Growth hormon, menurunkan pengambilan glukosa oleh jaringan,

kemungkinan melalui penurunan reseptor insulin. Dan yang terakhir adalah

glukokortikoid, terutama kortisol yang akan menopang aksi glukagon. Selain itu

glukagon juga akan menurunkan penggunaan insulin oleh perifer, meningkatkan

glikogenolisis dan glukoneogenesis (Bullock and Henze, 2000). Semua faktor

tersebut cenderung membuat kadar gula darah semakin meningkat sehingga

pasien memerlukan intervensi medis dan intervensi keperawatan (Elliot & Izzo,

2006).

Salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah dengan terapi

komplementer. Terapi ini bersifat pengobatan alami untuk menangani penyebab

penyakit dan memacu tubuh sendiri untuk menyembuhkan penyakitnya. Terapi

komplemeter antara lain terapi herbal, latihan nafas, meditasi dan relaksasi (Xu

Yu, 2004). Teknik relaksasi pertama kali dikemukan oleh Dr. Herbert Benson

(1976). Ia telah menemukan, bahwa meditasi akan mengarah pada pengaturan

perubahan fisiologik dalam menghadapi respon fight-or-flight, meliputi penurunan

konsumsi oksigen, denyut jantung, frekuensi pernafasan dan laktat darah.

Penanganan keperawatan dengan teknik ini akan menurunkan efek endokrin dari

stres kronik (Craven and Hirnie, 2000).

Studi pendahuluan tahun 2010 yang dilakukan di Purwokerto Selatan, ditemukan

jumlah penderita DM sebanyak 152 orang. Dari penelitian sebelumnya oleh Anam

(2010) ditemukan sekitar 65% pasien DM mengalami depresi. Berdasarkan

wawancara dengan petugas posyandu lansia di salah satu wilayah kerja

Puskesmas Purwokerto Selatan, lansia yang mengalami DM dan telah mendapat

pengobatan secara farmakologis masih mengalami naik turun gula darahnya.

Penggunaan terapi nonfarmakologia atau terapi komplementer, relaksasi pada

perawatan pasien DM di Purwokerto Selatan belum dilakukan.

D.SUBYEK PENELITIAN DALAM JURNAL

a. Karakteristik responden

Distribusi data karakteristik klien menurut umur disajikan pada Tabel 1

Usia (Tahun) Kelompok

Perlakuan Kontrol

n% n %

< 40 1 6,6700

40-50 2 13,33213,33

51-60 2 13,33426,67

>60 10 66,679 60

Jumlah 15 10015 100

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa responden diabetes mellitus

kelompok perlakuan yang berusia kurang dari 40 tahun berjumlah 1 orang

(6,67%), usia 40-50 tahun berjumlah 2 orang (13,33%), usia 51-60 tahun

berjumlah 2 orang (13,33%) dan berusia lebih dari 60 tahun berjumlah 10 orang

(66,67%). Karakteristik responden kelompok kontrol yang berusia kurang dari 40

tahun tidak ada, usia 40-50 tahun berjumlah 2 orang (13,33%), usia 51-60 tahun

berjumlah 4 orang (26,67%) dan berusia lebih dari 60 tahun berjumlah 9 orang

(60%).

Distribusi data karakteristik klien menurut jenis kelamin disajikan pada Tabel 2

Jenis Kelamin Perlakuan Kontrol Orang %

Laki-laki 3 1 4 13,33

Perempuan 12 14 26 86,67

Jumlah 15 15 30 100

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa responden berjenis kelamin laki-laki

yaitu sebanyak 4 orang (13,33%), sedangkan yang berjenis kelamin perempuan

sebanyak 26 orang (86,67%).

Distribusi data karakteristik responden menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 3

Pendidikan Perlakuan Kontrol

n% n %

SD 1 6,67 1 6,67

SMP 2 13,33 2 13,33

SMA 10 66,67 11 73,33

PT 2 13,33 2 6,67

Jumlah 15 100 15 100

Berdasarkan tabel 4 tersebut diatas dapat diketahui bahwa responden kelompok

perlakuan yang berpenghasilan kurang dari satu juta setiap bulan berjumlah 1

orang (6,67%), berpenghasilan satu hingga dua juta berjumlah 12 orang (80%),

dan berpenghasilan lebih dari 2 juta berjumlah 2 orang (13,33). Pada kelompok

kontrol yang berpenghasilan kurang dari satu juta setiap bulan berjumlah 1 orang

(6,67%), berpenghasilan satu hingga dua juta berjumlah 13 orang (86,66%), dan

berpenghasilan lebih dari 2 juta berjumlah ada 1 orang (6,67%).

Distribusi data karakteristik responden menurut lama menderita penyakit DM disajikan pada Tabel4

Penghasilan Perlakuan Kontrol

n % n %

< 1 juta 1 6,67 1 6,67

1 – 2 juta 12 80 13 86,66

> 2 juta 2 13,3 1 6,67

Jumlah 15 100 15 100

Berdasarkan tabel 4 tersebut diatas dapat diketahui bahwa responden kelompok

perlakuan yang berpenghasilan kurang dari satu juta setiap bulan berjumlah 1

orang (6,67%), berpenghasilan satu hingga dua juta berjumlah 12 orang (80%),

dan berpenghasilan lebih dari 2 juta berjumlah 2 orang (13,33). Pada kelompok

kontrol yang berpenghasilan kurang dari satu juta setiap bulan berjumlah 1 orang

(6,67%), berpenghasilan satu hingga dua juta berjumlah 13 orang (86,66%), dan

berpenghasilan lebih dari 2 juta berjumlah ada 1 orang (6,67%).

Distribusi data karakteristik responden menurut lama menderita penyakit DM disajikan pada Tabel 5

Lama DM Perlakuan Kontrol

n % n %

< 2 tahun 2 13,33 1 6,67

2 - 4 tahun 3 20 2 13,33

> 4 tahun 10 66,67 12 80

Jumlah 15 100 15 100

Berdasarkan tabel 1.5 tersebut diatas dapat diketahui bahwa responden kelompok

perlakuan yang menderita diabetes mellitus kurang dari 2 tahun berjumlah 2 orang

(13,33%), lama penyakit 2-4 tahun berjumlah 3 orang (20%), dan lama penyakit

lebih dari 4 tahun berjumlah 10 orang (66,67). Pada kelompok kontrol yang

menderita diabetes mellitus kurang dari 2 tahun berjumlah 1 orang (6,67%), lamapenyakit 2-4 tahun berjumlah 2 orang (13,33%), dan lama penyakit lebih dari 4

tahun berjumlah 12 orang (80%).

Tabel 2.1 Kadar gula darah responden sebelum dan sesudah dilakukan terapi relaksasi pada

kelompok kontrol

Variabel Mean Sd SE P Value N

Kadar Gula darah 148,9371,74118,8530,42015

pengukuran 1

Kadar Gula darah 141,2052,87213,393

pengukuran 2

Berdasarkan tabel 2.1 diatas dapat disimpulkan bahwa rata-rata kadar gula darah

pada pengukuran pertama adalah 148,93 dengan standar deviasi 71,741. Pada

pengukuran kedua didapat rata-rata kadar gula darah adalah 141,20 dengan

standar deviasi 52,872. Hasil uji statistic didapatkan nilai P value 0,420. Maka

dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar gula darah

pengukuran pertama dan kedua pada kelompok kontrol

Tabel 2.2 Kadar gula darah responden sebelum dan sesudah dilakukan terapi

relaksasi pada kelompok perlakuan

Variabel Mean Sd SE P Value N

Kadar Gula darah211,07127,23232,8510,957 15

pengukuran 1

Kadar Gula darah209,5386,64322,371

pengukuran 2

Berdasarkan tabel 2.2 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata kadar gula darah pada

pengukuran pertama adalah 211,07 dengan standar deviasi 127,232. Pada

pengukuran kedua didapat rata-rata kadar gula darah adalah 209,53 dengan

standar deviasi 86,643. Hasil uji statistic didapatkan nilai P value 0,957. Maka

dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar gula darah

pengukuran pertama dan kedua pada kelompok perlakuan

E.METODE PENELITIAN DALAMJURNAL

Penelitian ini memiliki tipe penelitian kuantitatif desain quasi experiment with

pre-post test control group. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis pengaruh

terapi relaksasi terhadap kadar glukosa darah pada pasien DM tipe 2 di wilayah

kerja Puskesmas Purwokerto Selatan. Intervensi dilakukan setiap hari selama 4

minggu. Pemilihan sampel yang masuk kelompok control maupun kelompok intervensi dilakukan secara acak sederhana, dimana responden yang memenuhi

syarat di beri nomor, yang bernomor genap masuk dalam kelompok control dan

nomor ganjil masuk dalam kelompok intervensi. Sampel dihitung dengan

menggunakan perkiraan 25% dari populasi. Populasi pasien DM di wilayah kerja

Puskesmas Purwokerto Selatan 152. Dengan demikian 25% dari 152 adalah 37

orang. Untuk menghindari drop out peneliti menambah 10% sampel sehingga

menjadi 40 sampel dibagi menjadi dua, yaitu 20 responden untuk masing-masing

kelompok intervensi dan kontrol. Namun saat penelitian dilakukan, responden

yang memenuhi kriteria inklusi adalah 15 pada kelompok perlakuan dan 15 pada

kelompok kontrol. Tahap pertama adalah pengolahan data, setelah data terkumpul

dilakukan editing yaitu memeriksa kelengkapan data, memberikan koding entri

data ke komputer. Lalu dilakukan analisis data univariat dan untuk mengetahui

pengaruh terapi relaksasi terhadap control glikemik dilakukan uji t paired test

F.HASIL PENELITIAN DALAM JURNAL

Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara terapi relaksasi yang dilakukan pada responden

kelompok perlakuan dan responden kelompok kontrol. Penelitian ini menemukan

hal yang berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh O’Hara (2006)

yang menemukan bahwa terapi relaksasi memberikan hasil yang signifikan

terhadap penurunan stres hingga penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi.

Namun penelitian ini menemukan hal yang berbeda. Penelitian menemukan

bahwa tindakan relaksasi yang dilakukan pada pasien diabetes mellitus tipe 2

untuk penurunan kadar gula dalam darah ternyata tidak terjadi secara signifikan.

Antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan

yang signifikan. Artinya bahwa tindakan relaksasi yang dilakukan oleh pasien

diabetes tidak dapat menurunkan kadar gula dalam darahnya. Salah satu penyebab

tidak terjadinya penurunan kadar gula dalam darah pada pasien diabetes

disebabkan karena kemungkinan tidak dilakukannya tindakan relaksasi secara

optimal oleh pasien. Seharusnya terapi relaksasi dilakukan selama 15-20 menit

selama 5 kali dalam sehari. Hal tersebut dilakukan selama 4 minggu. Namun hal

yang terjadi sebagian besar responden hanya melakukan 1 kali dalam sehari

selama 15-20 menit. Dampaknya maka kontrol penurunan terhadap kadar gula

dalam darah menjadi tidak optimal. Kemungkinan lain adalah adanya

pengendalian terhadap kontrol diet atau nutrisi yang dikonsumsi pasien diabetes.

Secara teori relaksasi dapat menenangkan otak dan memperbaiki (memulihkan

tubuh), relaksasi yang dilakukan secara teratur dapat digunakan untuk

menurunkan stres dan depresi (Dorbyk, 2007; Glickman, 2007). Berdasarkan

penelitian Bonadonna (2008) juga telah melakukan penelitian pada populasi

dengan kanker, fibromyalgia, hipertensi dan psoriasis tentang dampak relaksasi

pada penyakit kronis. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan gejala dan tanda

fisik dan psikologis, meliputi penurunan kecemasan, nyeri, depresi dan stres.

Penelitian ini menyarankan relaksasi bagi pasien dengan penyakit kronis. Secara

fisiologis relaksasi dapat menurunkan stress. Dengan relaksasi, hipothalamus akan

mengatur dan menurunkan aktifitas sistem saraf simpatis dan menyebabkan

dilatasi arteriolar.

Pada keadaan stress, terdapat substansi yang menyerupai beta carboline, yaitu

antagonis GABA yang diduga menyebabkan penurunan jumlah (down regulate)

reseptor GABA menyebabkan berkurangnya hambatan terhadap timbulnya

kecemasan dan memudahkan reaksi stress (Ferrare et al. 1993 dalam Sholeh

2006). Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam kondisi senang, tenang dan

optimistik, sekresi kortisol dan antagonis GABA dan sintesis GABA positif

normal.

Sejumlah studi menunjukkan hubungan antara diabetes dan depresi (Anderson, et

al. 2001). Hal tersebut merupakan masalah kesehatan yang penting sebab

gangguan depresi umumnya dihubungkan dengan masalah penyakit kronik seperti

DM (Finkelstein et al. 2003). Hubungan antara DM dan depresi sedikit diketahui

(Jack, et al. 2004 dalam Wu Shu Fang, 2007), walaupun DM meningkatkan risiko

depresi dengan prevalensi dari 15-40% (Dunning, 2003).

Penelitian menunjukkan bahwa DM dianggap stressor bagi pasien. Berdasarkan

konsep psikoneuroimunologi, secara integral amigdala mengirimkan informasi

kepada locus coeruleus yang memicu sistem otonom kemudian ditransmisikan ke

hipotalamus sehingga terjadi sekresi CRF. Dalam kaitannya terhadap kadar gula

darah, sebagai respon terhadap CRF, pituitary anterior mengeluarkan

adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dalam darah. ACTH di transportasikan

menuju kelenjar adrenal. ACTH menstimulasi produksi kortisol dalam kortek

adrenal. Kortisol dikeluarkan dalam aliran darah, menyebabkan peningkatan kadar

gula darah, asam lemak dan asam amino (Smeltzer & Bare, 2008). Ketika individu

dengan kondisi demikian mendapatkan terapi relaksasi maka otak akan

mendapatkan suplay oksigen yang optimal. Oksigen yang memenuhi seluruh area

otak akan beredar seiring dengan denyut jantung untuk didistribusikan ke seluruh

organ tubuh. Kondisi ini akan membantu tercapainya kestabilan kerja kelenjar

adrenal untuk memproduksi hormon penenang yang akan berdampak pada

menurunkan stres. Hal ini bertolak belakang dengan dampak dari stres itu sendiri

dimana pada kondisi stres maka kadar gula dalam darah pasien DM akan

mengalami peningkatan. Jika kondisi stres bisa dikendalikan maka penurunan

kadar gula dalam darah juga dapat menurun.

Penelitian yang dilakukan oleh tim yang menemukan hasil berbeda dari teori

kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Pertama, terapi relaksasi

tidak mencapai hasil yang optimal karena saat melakukan terapi, responden tidak

melakukannya secara sempurna sesuai petunjuk atau pedoman. Kedua, terapi

relaksasi dilakukan tidak secara teratur oleh responden. Idealnya terapi relaksasi

dilakukan 5-10 kali setiap hari dengan durasi masing-masing 15-20 menit dan

jarak antar terapi 3-4 jam sekali. Jika responden tidak secara tertib melakukannya

maka kemungkinan hasilnya juga tidak optimal. Ketiga, kemungkinan adanya

kontrol diet atau nutrisi yang dikonsumsi oleh responden. Jika selama menjalani

terapi ini responden melanggar diet DM diluar konsumsi yang seharusnya

dilakukan oleh pasien DM maka kemungkinan besar akan mempengaruhi jumlah

kadar gula dalam darah yang artinya terapi relaksasi juga tidak memberikan hasil

yang optimal. Ke-empat, adanya responden yang tidak mengkonsumsi obat DM

sehingga kadar gula dalam darahnya menjadi sangat tidak terkontrol. Padahal

secara teori, menyebutkan bahwa kombinasi antara terapi farmakologis dan terapi

relaksasi akan memberikan hasil yang baik terhadap penurunan kadar gula dalam

darah. Penyebab selanjutnya adalah adanya komplikasi penyakit DM yang

multicausa sehingga mempersulit tercapainya penurunan kadar gula dalam darah.

G.KESIMPULAN PENELITAN DALAMJURNAL

Simpulan yang dapat ditetapkan dari penelitian ini adalah bahwa Terapi relaksasi

tidak cukup signifikan untuk menurunkan kadar gula dalam darah pada pasien

diabetes mellitus.

BAB III

PEMBAHASAN

RINGKASANDARIJURNAL

Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara terapi relaksasi yang dilakukan pada responden

kelompok perlakuan dan responden kelompok kontrol. Penelitian ini menemukan

hal yang berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh O’Hara (2006)

yang menemukan bahwa terapi relaksasi memberikan hasil yang signifikan

terhadap penurunan stres hingga penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi.

Namun penelitian ini menemukan hal yang berbeda. Penelitian menemukan

bahwa tindakan relaksasi yang dilakukan pada pasien diabetes mellitus tipe 2

untuk penurunan kadar gula dalam darah ternyata tidak terjadi secara signifikan.

Antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan

yang signifikan. Artinya bahwa tindakan relaksasi yang dilakukan oleh pasien

diabetes tidak dapat menurunkan kadar gula dalam darahnya. Salah satu penyebab

tidak terjadinya penurunan kadar gula dalam darah pada pasien diabetes

disebabkan karena kemungkinan tidak dilakukannya tindakan relaksasi secara

optimal oleh pasien. Seharusnya terapi relaksasi dilakukan selama 15-20 menit

selama 5 kali dalam sehari. Hal tersebut dilakukan selama 4 minggu. Namun hal

yang terjadi sebagian besar responden hanya melakukan 1 kali dalam sehari

selama 15-20 menit. Dampaknya maka kontrol penurunan terhadap kadar gula

dalam darah menjadi tidak optimal. Kemungkinan lain adalah adanya

pengendalian terhadap kontrol diet atau nutrisi yang dikonsumsi pasien diabetes.

BAB IV

PENUTUP

A.KESIMPULAN

Penelitian ini menyarankan relaksasi bagi pasien dengan penyakit kronis. Secara

fisiologis relaksasi dapat menurunkan stress. Dengan relaksasi, hipothalamus akan

mengatur dan menurunkan aktifitas sistem saraf simpatis dan menyebabkan

dilatasi arteriolar.

Pada keadaan stress, terdapat substansi yang menyerupai beta carboline, yaitu

antagonis GABA yang diduga menyebabkan penurunan jumlah (down regulate)

reseptor GABA menyebabkan berkurangnya hambatan terhadap timbulnya

kecemasan dan memudahkan reaksi stress (Ferrare et al. 1993 dalam Sholeh

2006). Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam kondisi senang, tenang dan

optimistik, sekresi kortisol dan antagonis GABA dan sintesis GABA positif

normal.

B.SARAN

Saran untuk terapi relaksasi akan mendapatkan hasil yang optimal untuk

menurunkan kadar gula dalam darah pasien DM dengan lebih mengoptimalkan

frekuensi yaitu terapi dilakukan 5-10 kali setiap hari dengan durasi masing – masing 15-20 menit dan jarak antar terapi 3-4 jam sekali dalam sehari.

DAFTARPUSTAKA

Anderson, R.J., Freeland, K.E., Clouse, R.E., & Lustman, P.J. (2001). The

prevalence of comorbid depression in adults with diabetes. Diabetes Care,

24. http://www.care.diabetesjournal,

Beever, S. 2006. New Type 2 Diabetes Cases Have Doubled in 30 Years : Health

Reporter, http:////www.medicinet.com

Bullock, B.L. & Henze, B. (2000). Focus on Pathophysiology. Lippincott

Williams & Wilkins

Bonadonna, R.C. 2008. Metabolic abnormalities underlying the different

prediabetic phenotype in obese adolescents. J.Clin Endocrinol Metab. 93

(5): 1767-73

Craven & Hirnie. 2000. Controlling Blood Glucose Through Relaxation Therapy.

http://www.diabetes.org/diabetesresearch/summaries/mcginnisbiofeedback-

relaxation.jsp,

Dorbyk. 2007. Kelley, M.B. (1999). Relaxation on Diabetes Mellitus. Charlotte :

University of North Carolina. Diperoleh tanggal 28 Oktober 2006

http://www.psych.uncc.edu

Elliot, W. & Izzo, W. 2006. Effect of devide guided breathing to lower blood

pressure. Case report & clinical overview. Medscape General Medicine, 82

(3).

Finkelstein, M.M. 2003. The prevalence of diabetes among overweight and obese

individuals is higher in poorer than in richer neighbourhoods. Canadian

Journal of Diabetes. 190-8.

Glickman, Sacharko. 2007. Tai Chi &Qi Gong Managing Diabetes with

Relaxation and Exercise. www.taichinetwork.org.

Sholeh, M. 2006. Terapi salat tahajud: Menyembuhkan berbagai penyakit.

Bandung: Mizan Publika.

Wu Shu Fang. 2007. Effectiveness of self management for person with type 2

diabetes following the implementation of a self-efficacy enhancing

intervention program in Taiwan. Queensland: Quensland university of

Technology

Xu Yu. 2004. Complementary & alternative therapies as physiology & modalities

implication for nursing, education & research. Home health care

management practice (1084-8223) :vol 1

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun