Mohon tunggu...
Tomy Bawulang
Tomy Bawulang Mohon Tunggu... Human Resources - Pembaca

Pendengar, Penyimak, , dan Perenung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Prosesi Kendi Nusantara: Bangsa Kita Primitif?

14 Maret 2022   20:23 Diperbarui: 15 Maret 2022   08:26 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat prosesi penyatuan air dan tanah dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo di IKN, Kaltim, Senin (14/3/2022). Foto: Pemprov Jateng via Kompas.com

Foto: Detik.com
Foto: Detik.com

Tentang hal ini, saya tertarik untuk berdialog lebih dalam. Mengapa?  Saya melihat ada kesalahan logis (logical fallacy) dalam konstruksi berfikir sahabat dan senior saya ini. Setidaknya ada dua hal yang perlu saya sanggah dan dialogkan dengan beliau.

Yang pertama, harus saya luruskan dulu bahwa rasionalisme dan empirisisme meski berdekatan namun bukanlah hal yang sama persis. Bahkan bagi teman teman yang kiblat sekolah filsafatnya mengarah ke padepokan Standford University kedua epistemology ini cenderung dipertentangkan. Karena aliran rasionalisme dengan para dedengkotnya seperti Descartes menganggap bahwa pengetahuan bersumber dari proses berfikir yang rasional dan logis (rational logic). 

Menurut kubu Rasionalist, segala sesuatu memiliki landasan logis, realitas memiliki landasan logic, dan hanya pengetahuan logic lah yang benar. Sedangkan Kubu Emprisisme dengan dedengkot seperti Francis Bacon, John Locke, dan David Hume, menganggap bahwa pengetahuan bukan berawal dari proses berfikir tapi dari pengalaman real yang dialami oleh panca indera. 

Pengetahuan, menurut kubu padepokan ,ini sejatinya harus bersumber dari bukti bukti 'brute fact' yang bisa di-indera. Jadi Rasionalisme mengandalkan pendekatan deduktif, sementara empirisisme mengandalkan pendekatan induktif. Artinya, menyandingkan keduanya dalam satu kubu dan ruang untuk memahami satu realitas jelas keliru. Kelirunya tidak tanggung tanggung, alias fatal karena kelirunya ada pada level filosofis epistemologis. Bahkan ini bisa dikatakan oxymoron dan self-conflicting. Oke? Seruput dulu kopi pahitnya,....

Sekarang kita lanjut ya. Yang kedua, jika memang apa yang dipahami teman sang guru besar ini sebagai filsafat rasionalisme sama seperti yang saya pahami bahwa dimensi logic/reason adalah sumber ultimate dari pengetahuan dan bahwa ada prasarat dan proses deduksi logic yang harus dipenuhi; dan bahwa empirisme adalah cabang filsafat yang mengandalkan pengalaman sensorik sebagai sumber pengetahuan yang mensyaratkan tersedianya fakta 'brute fact' sebagai bukti pengetahuan, maka jelas klaim Tata Negara berdasarkan kedua aliran filsafat ini menjadi sangat keliru. 

Barangkali sahabat saya lupa banyak hal dalam kehidupan bernegara maupun tatakelola pemerintahan tidak berada pada domain filsafat rasionalisme ataupun empirisme. Kita ambil contoh misalnya tentang praktek tata kelola negara yang berlandaskan Demokrasi. 

Apa filsafat yang melandasi demokrasi adalah aktualisasi dari rasionalisme atau empiricisme? Jelas bukan, karena sejatinya landasan filsafatnya berada pada domain epistemologis  subjectivisme social constructionist yang root epistemologinya  berada seberang yakni objectivisme positivism (baca misalnya buku Harold Kincaid atau yang lebih sederhana baca buku Michael Crotty keduanya bicara landasan filosofi memahami pengetahuan)  

Contoh lain, lambang Negara kita 'Burung Garuda' pun konon kabarnya berawal dari sebuah kisah filosofis tentang Wisnu Kencana yang dipercaya/dikisahkan sebagai wahana (Kendaraan) Dewa Wisnu. 

Belum ada bukti 'empirik' bahwa ada makhluk hidup berkepala burung dan bertubuh mirip manusia seperti yang dikisahkan dalam Garuda Wisnu Kencana yang ditemukan para ahli dari aliran scientist empiricist sampai hari ini. 

Bahwa ada artefact artefact sejarah tentang prasasti burung Garuda (bukan fosil seperti dinosaurus atau makhluk purba lain, i.e. empiricistme) itu adalah bukti bahwa burung Garuda itu ada dalam alam realitas subjectivisme social constructionism dan bukan 'brute fact' sebagaimana layaknya persyaratan sebuah 'reality' dan 'kebenaran' dalam aliran ontologist objectivisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun