Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Lecturer I Researcher

Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion I FISIP Universitas Setia Budhi Rangkasbitung I Menulis untuk ridho Allah, menjaga kewarasan, menebar kemanfaatan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

"Otak Kampungan" dan Komunikasi Stigmatik (Blunder Komunikasi Pembantu Presiden - Kasus 2)

18 Juli 2025   06:00 Diperbarui: 18 Juli 2025   07:13 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pemerintahan definitif yang belum lagi seumur jagung usianya, komunikasi elite terutama pejabat publik seharusnya menjadi jembatan interaksi yang sehat, produktif dan berdampak positif, sekaligus berlangsung dalam suasana penuh empatik dan saling hormat antara negara dan rakyat. Namun di awal perjalanan pemerintahan Presiden Prabowo, blunder demi blunder dari para pembantunya justru memperlihatkan corak yang sebaliknya. Saya mencatat sejumlah blunder komunikasi politik mereka, dan mengulas ulang secara serial dalam beberapa artikel pendek ini.

 

Komunikasi Stigmatik dan Hierarki Moral

Dalam demokrasi, kritik publik semestinya disambut dengan refleksi, bukan dengan label. Namun, pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak justru menunjukkan hal sebaliknya. Menanggapi kekhawatiran masyarakat sipil terhadap revisi UU TNI dan isu supremasi sipil beberapa waktu lalu, Jenderal Maruli berkata, "Pemikiran seperti itu kampungan." (Kompas.id, 10 Maret 2025). Dalam satu kalimat, kritik sosial diubah menjadi bahan olok-olokan.

Pernyataan tersebut menyulut perdebatan publik tentang bagaimana retorika militer merespons aspirasi sipil. Apakah stigma telah menjadi strategi resmi dalam membungkam ketidaknyamanan elite terhadap demokrasi?

Dalam studi komunikasi politik, stigmatizing rhetoric didefinisikan sebagai strategi membingkai lawan bicara sebagai inferior, tidak layak, atau tidak relevan. Tyler (2022) menyebut stigma sebagai "discursive violence", kekerasan dalam bentuk kata-kata yang merendahkan lawan ideologis.

Pernyataan KSAD bukan sekadar reaksi defensif, melainkan bentuk simbolik dari institutional arrogance. Ketika elite militer menyebut kekhawatiran masyarakat sebagai "kampungan," maka institusi militer sedang meletakkan hierarki moral: bahwa yang berhak berpikir hanyalah mereka yang berseragam.

 

Bayang-bayang Otoritarianisme

Indonesia memiliki sejarah panjang relasi sipil-militer yang tidak selalu harmonis. Dwi Fungsi ABRI pada era Orde Baru menjadikan militer tidak hanya menjaga keamanan, tapi juga ikut mengatur politik. Reformasi 1998 menegaskan supremasi sipil sebagai pondasi demokrasi. Namun, setiap kali isu militer dikritik---dari penempatan jabatan sipil hingga kebijakan alutsista---respons stigmatik kerap muncul.

Menurut Callamard (2025), "Authoritarian residues persist in rhetoric even when institutions evolve." Retorika stigma adalah sisa otoritarianisme yang belum sepenuhnya sirna.

Kritik terhadap revisi UU TNI bukan tanpa dasar. Akademisi, aktivis HAM, dan masyarakat sipil mengkhawatirkan pasal-pasal yang membuka peluang militer menduduki jabatan sipil tanpa pengawasan ketat. Dalam laporan Kompas (10 Maret 2025), disebutkan bahwa revisi itu mengandung potensi militerisasi birokrasi, dan bertentangan dengan semangat reformasi.

Namun alih-alih berdiskusi, KSAD memilih menyerang secara personal dengan label "kampungan." Padahal yang kampungan bukanlah kritik, melainkan sikap defensif terhadap koreksi publik.

Dalam Critical Discourse Analysis (CDA), ujaran semacam ini dikaji sebagai bentuk ideological framing. Jenderal Maruli sedang membingkai ulang narasi publik: mengubah kritik menjadi gangguan, mengubah aspirasi menjadi inferioritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun