Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Halal Bihalal, Relaksasi Politik dan Rekonsiliasi Elit

14 April 2024   19:23 Diperbarui: 18 April 2024   08:05 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Soekarno menganggap "Silaturahmi" itu hal biasa, lalu ia meminta istilah lain yang berdaya magnet lebih kuat. Saat itulah Kyai Wahab kemudian mengusulkan istilah halal bihalal. Soekarno setuju, dan pada hari Raya Idul Fitri tahun 1948 digelarlah untuk pertama kalinya acara halal bihalal di Istana Negara dengan mengundang tokoh-tokoh politik nasional kala itu. Dalam konteks ini halal bihalal berfungsi meredakan atau merelaksasi ketegangan syaraf-syaraf politik.

Meredakan Ketegangan Politik

Jadi "asbabul wurud"  halal bihalal memang berkaitan erat dengan peristiwa politik. Halal bihalal digelar sebagai cara untuk meredakan (relaksasi) ketegangan dan konflik politik yang saat itu berlangsung sangat tajam bahkan mengarah pada situasi disintegrasi bangsa. Padahal republik ini masih Balita dan terus diganggu oleh kolonialis Belanda yang ingin kembali berkuasa dengan bantuan negara-negara sekutu.

Saat ini Indonesia tentu tidak dalam situasi seperti tahun-tahun pasca kemerdekaan yang gawat. Tetapi tensi politik sebagai dampak elektoral jelas belum sepenuhnya mereda. Ketegangan politik antar relit masih terasa di ruang publik dan mewarnai pemberitaan setiap hari.

Demikian halnya di akar rumput atau basis massa pendukung Capres-Cawapres. Polarisasi sosial dan pertengkaran terutama di media sosial, masih terus berlangsung. Saling serang, saling hina dan menistakan masih terus terjadi secara vulgar.

Ikhtiar untuk saling komunikasi dan bertemu diantara elit-elit yang saling berhadapan di Pilpres memang tengah dilakukan oleh beberapa pihak. Tetapi masih sangat terbatas. Yang paling santer diberitakan misalnya rencana pertemuan Megawati-Prabowo. Seakan-akan jika kedua tokoh ini bisa bertemu maka ketegangan akan mereda dan residu problematis Pemilu bakal bersih.


Selain itu, ikhtiar sejumlah pihak sebut saja "rekonsiliasi" yang dilakukan juga terkesan lebih fokus pada urusan proposal transaksi politik perihal siapa saja yang perlu diajak bergabung dalam pemerintahan dan siapa saja yang akan "dikucilkan" di luar pemerintahan.

Rekonsiliasi yang tengah diupayakan bukan dalam kerangka membangun kesepahaman nasional perihal pentingnya meredakan ketegangan politik baik di lapis elit maupun massa sambil menunggu dengan sabar putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pemutus akhir dan mengikat (final and binding) hasil Pilpres 2024.

Penting untuk disadari oleh para elit yang saling berhadapan di Pilpres kemarin, bahwa ikhtiar-ikhtiar yang secara simplistik lazim disebut dengan istilah rekonsiliasi namun memberi kesan kuat sebagai manuver untuk sekadar saling berbagi dan mengamankan  posisi politik masing-masing itu sesungguhnya berpotensi menyakiti para pendukung masing-masing kubu. Kecuali jika hal ini dilakukan nanti setelah keluar putusan MK. Publik sekarang cukup literate dan dewasa secara politik.

Publik tahu dan faham betul bahwa hasil final Pilpres 2024 masih harus menunggu putusan gugatan PHPU oleh MK. Dan mereka juga cukup dewasa untuk menerima apapun putusan MK nanti. Lalu setelahnya dengan legawa menyadari bahwa kontestasi politik kelompok harus ada ujungnya dan semua elemen harus kembali pada jalan politik kebangsaan. Yakni memperkuat persatuan dan menjaga integrasi nasional untuk mewujudkan visi abadi bernegara sebagaimana amanah Pembukaan UUD 1945.

Lantas apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan terkait perlunya halal bihalal sebagai jalan rekonsiliasi, atau setidaknya untuk merelaksasi ketegangan politik pasca Pilpres ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun