Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pesta Demokrasi Bertabur Ironi

22 November 2023   14:34 Diperbarui: 27 November 2023   21:00 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Bendera partai politik peserta pemilu terpasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum. (Foto: KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN)

Menarik, memprihatinkan, sekaligus ironi sebetulnya apa yang belum lama diungkapkan Hasto Kristyanto Sekjen PDIP. Bahwa kubunya, kubu Ganjar-Mahfudz, kerap mendapat tekanan dari penguasa. 

Pencabutan baliho Ganjar-Mahfudz di sejumlah daerah disebutnya sebagai salah satu bentuk tekanan kekuasaan itu karena diduga dilakukan, atau setidaknya melibatkan aparat negara di daerah.

Memprihatinkan, karena jika klaim pencopotan baliho-baliho itu benar melibatkan aparat berarti kekhawatiran banyak pihak bahwa netralitas aparatur pemerintah dan keadilan Pemilu berada dalam ancaman mulai terkonfirmasi. 

Tetapi jika pernyataan Hasto itu sekadar siasat playing victim saja tentu tidak perlu diprihatinkan.  

Selain memprihatinkan, pernyataan Hasto juga memantik ironika politik sebetulnya jika hal itu benar, bahwa kubu Ganjar-Mahfudz mendapat tekanan dari kekuasaan. 


Kenapa ironis ? Karena PDIP sebegai pengusung Paslon Ganjar-Mahfudz per hari ini masih merupakan partai penguasa. PDIP pemenang Pemilu dan Pilpres 2019. 

PDIP pula yang dalam sembilan tahun terakhir ini menjadi pengendali utama kekuasaan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Sekarang PDIP sebagai partai penguasa merasa mendapat tekanan dari kekuasaan.

Pesta bertabur Ironi

Ironis. Hajat elektoral kali ini memang diwarnai oleh banyak fenomena ironi politik. Fakta yang diklaim terjadi oleh Sekjen PDIP tadi adalah salah satunya. 

Untuk dan atas nama kekuasaan, sesama elemen dalam satu gerbong kekuasaan pun sekarang saling telikung, saling tuding bahkan saling serang. Dan kesemuanya itu dipertontonkan di hadapan publik yang, jangan-jangan sudah pada ilfil menyaksikannya.

Ironi lain yang masih bersitemali dengan pernyataan Hasto adalah soal pilihan langkah politik elektoral Jokowi dan keluarganya. Lagi-lagi, soal ini juga pernah dikemukakan oleh Hasto dan beberapa elit PDIP beberapa waktu lalu.

Jokowi, sosok sederhana yang melenting dari seorang pengusaha mebel menjadi Walikota, kemudian Gubernur, dan akhirnya menjadi Presiden, kini disematkan padanya label "kacang lupa pada kulit". 

Pangkal soalnya adalah pilihan politik elektoral Jokowi yang tidak sejalan dengan kebijakan PDIP, partai yang telah melentingkannya dari rakyat biasa menjadi Presiden.

Tentu saja, Jokowi pasti punya alasan mengapa mengambil jalan berbeda dengan Megawati-PDIP. Dan, mari kita berprasangka baik, alasan yang sejatinya hanya Tuhan dan Jokowi sendiri saja yang tahu itu, boleh jadi didasarkan pada pertimbangan dan proyeksi kebaikan masa depan negara bangsa.

Tetapi, sebaik apapun alasan Jokowi, langkah politiknya tetaplah sebuah ironi. Meminjam istilah Prof. Muhammad Nuh (Guru Besar ITS): sebuah realitas perbedaan antagonistis antara kesemestian sebagai suatu keniscayaan dengan fakta sebagai suatu kenyataan. 

Secara etik, moral dan nalar yang lumrah, setidaknya menurut elit dan massa PDIP, Jokowi mestinya tetap berjuang bersama PDIP karena partai inilah yang telah memberinya jalan hingga ke puncak karir politik. Namun yang terjadi sekarang, Jokowi justru meninggalkan PDIP.

Elit Partai tetiba jadi "negarawan"?

Ironi politik juga terjadi di tubuh sejumlah partai, misalnya di partai-partai yang tergabung dalam poros Koalisi Indonesia Maju (KIM). 

Secara teoritik salah satu fungsi utama partai politik adalah menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk dipromosikan sebagai kandidat-kandidat pemimpin negara bangsa di berbagai ranah dan level jabatan politik.

Jika ukuran kader terbaik di sebuah partai adalah jabatan struktural partai, maka para Ketua adalah kader-kader terbaik yang mestinya disiapkan, didorong dan diperjuangkan untuk mengambil slot posisi, entah bakal Capres atau bakal Cawapres (dalam konteks Pilpres tentu saja). Manakala Ketuanya tidak berkenan atau tidak berminat, idealnya slot itu didistribusikan kepada kader terbaik lainnya.

Ironi politik terjadi saat ini karena beberapa Ketua partai justru memberikan slot itu kepada figur yang sama sekali bukan kader partainya. Golkar misalnya. 

Partai dengan jam terbang pengalaman paling panjang, dengan ratusan kader terbaik di dalamnya, dengan sumberdaya yang juga melimpah, memberikan slot itu kepada Gibran Rakabuming, figur yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kesejarahan partai Golkar.

Ironi yang sama terjadi di tubuh PAN. Partai yang ditaburi gemerlap artis papan atas, dipimpin oleh seorang Menteri aktif, dan pastinya juga memiliki banyak kader unggul di dalamnya, idem ditto dengan Golkar. Memberikan peluang untuk mempromosikan kader sendiri di panggung Pilpres itu kepada Gibran Rakabuming.

Maka bisa difahami jika publik kemudian bertanya-tanaya, kenapa dengan Golkar dan PAN? Ada apa sesungguhnya dengan Airlangga dan Zulhas? 

Bukankah sebelum memasuki fase kandidasi Pilpres mereka berdua sempat rajin menebar baliho di mana-mana? Mengapa tiba-tiba malehoy dan mundur teratur dari kontestasi posisi Capres/Cawapres?

Senafas dengan realitas ironi politik ini adalah sikap elit-elit di kedua partai tersebut. Semua nampak ikhlas dengan pilihan elektoral partainya. Sejumlah pinisepuhnya bahkan masuk ke dalam tim pemenangan Prabowo-Gibran. Mereka tetiba saja seperti menjadi "negarawan-negarawan" yang hanif dan tulus. Semoga saja tak salah lihat.

Ironi terakhir. Semua pihak bicara dan berkomitmen, mulai dari Presiden, Ketua DPR, elit-elit partai, serta KPU dan Bawaslu untuk mengedepankan hukum sebagai koridor sekaligus penjaga kemartabatan perhelatan Pemilu 2024. Di saat yang sama masyarakat sipil, akademisi, pegiat kepemiluan, tokoh masyarakat dll senafas dan sebangun.

Tetapi ironis, hajat demokrasi ini sempat dicederai oleh lolosnya sebuah putusan perkara hukum yang dipimpin seorang hakim konstitusi yang kemudian terbukti melakukan pelanggaran berat etik sebagai hakim. 

Mudah-mudah tak terulang kembali, dan semoga hajat demokrasi ini tak masuk dalam jebakan ironi (ironical trap) berkelanjutan.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun