Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menilik Sisa "Keangkeran" Benteng Kolonial yang akan Direvitalisasi Jokowi

24 Januari 2021   14:16 Diperbarui: 25 Januari 2021   06:33 1788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tembok kokoh, tebal dan  tinggi berlantai dua, berwarna putih kusam dengan banyak relung akan menyambut siapa saja yang datang ke tempat ini. Kesan kuno, antik dan megah begitu melekat saat kita menelisik bangunan-bangunan utama dan bekas barak yang tersisa. Lalu,  aura angker akan terasa saat kita susuri sudut-sudutnya. Karena akan ketemu makam, tembok terbelit akar pohon dan bekas penjara zaman kolonial. Datanglah saat  malam hari, pasti akan lebih seru sensasinya!

Saya dan Sentot, memasuki gerbang tol Colomadu, Solo sekitar pukul 9 pagi. Matahari belum tinggi. Sejak sebelum memasuki tol saya sudah browsing , mencari tahu destinasi wisata yang mungkin saya kunjungi dalam perjalanan pulang ini. Toh, kami tidak terburu-buru, karena masih libur kerja. Apalagi, tol Solo-Surabaya sepanjang kurang lebih  250Km, pernah kami  tempuh hanya 2,5 jam saja!. 

Akhirnya, saya putuskan untuk keluar di gerbang Tol Ngawi. Tujuan kali ini blusukan ke Benteng Van den Bosch. Google Maps menginformasikan, jaraknya tak terlalu jauh. Hanya perlu 15 menit dari gerbang tol Ngawi. Tepatnya, benteng ini terletak di Jl. Untung Suropati, Kelurahan Pelem, Ngawi. 

Suara merdu Google Maps memandu menyusuri jalan-jalan di tengah kota Ngawi yang relatif lengang. Tidak sesibuk kota Malang.  Apalagi Surabaya. Benar kata kawan saya, Eko Widianto, yang asli Madiun, " Magetan, Madiun termasuk Ngawi juga Pacitan,  itu kota yang tenang dan damai. Mirip kotanya para pensiunan," ujarnya tergelak. Mencoba menggambarkan suasana kota-kota di ujung barat Jawa Timur ini. 

Rute dari gerbang Tol Ngawi ke Benteng Van Den Bosh
Rute dari gerbang Tol Ngawi ke Benteng Van Den Bosh


Akhirnya, setelah sedikit memutar melewati alun-alun, kendaraan tiba di ujung jalan. Suasananya mirip-mirip kompleks militer. Saya lihat ada plakat di depan sebuah rumah. Papan nama kecil yang bertulis Yonarmed 12 (Batalyon Artileri Medan). Beberapa pekerja sedang sibuk menyelesaikan bangunan pedestrian di kanan kiri jalan.  Kendaraan saya arahkan memasuki gerbang bercat putih yang kokoh dan megah, baru selesai di-finishing. Bertuliskan Benteng Van den Bosch.

Di akhir perjalanan,  saya melintasi jembatan kecil, yang dibangun di atas bekas parit yang sudah tak berfungsi. Kendaraan kami parkir di sisi gundukan tana.  Di sisi kiri sebuah bangunan peninggalan zaman kolonial. Sepertinya ini adalah gerbang masuk kompleks benteng.  Ada lorong besar, sebagai pintu masuk, tepat di tengah tembok. Di kanan kirinya ada lubang-lubang pengintaian dan tempat meletakkan senjata? Sesaat setelah memasukinya, saya jumpai sisa rangkaian roda besi yang berfungsi sebagai alat penarik kawat baja (sling). Kemungkinan dulu,  dari tempat ini para pengawal benteng mengendalikan jembatan gantung yang melintang di atas parit.    

Sang Gubernurl Jenderal 
Sang Gubernurl Jenderal 

Pintu Gerbang sebelum ke kompleks utama benteng
Pintu Gerbang sebelum ke kompleks utama benteng

Bekas pengerek jembatan gantung  
Bekas pengerek jembatan gantung  

Parit tersisa di sekeliling benteng
Parit tersisa di sekeliling benteng

Kompleks Utama Benteng Pendem 

Pagi itu, suasana benteng masih sepi. Saya dan Sentot berjalan beriringan menyusuri jalan aspal yang lurus, mengarah ke dalam kompleks utama benteng. Sempat bertemu dengan seorang prajurit TNI berseragam loreng yang nampak terburu-buru sehingga tak sempat menyapamya.  Akhirnya, di depan kami berdiri tembok benteng yang kokoh dan megah. Ada plakat dari logam berwarna merah bertuliskan angka 1839-1845, berwarna kuning emas. Inilah tembok dan pintu utama benteng Van den Bosch.

Sambil berjalan, saya mencoba mencari tahu lewat internet. Ooo, ternyata plakat itu sebagai "prasasti" angka tahun, yang menunjukkan benteng Van den Bosch ini dibuat antara tahun 1839-1845. Lalu, mengapa kok benteng ini berjuluk Van den Bosch? Padahal, Van den Bosch adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa antara tahun 1830-1833. 

Van den Bosch, diangkat jadi Gubernur Jenderal menggantikan Jenderal De Kock yang telah memenangkan Perang Jawa (De Java Oorlog) yang dahsyat dengan menipu Pangeran Dipanegara di Magelang. Menyebabkan pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan Belanda rugi berjuta-juta Gulden karenanya. Maka, Van den Bosch pun berupaya mengembalikan kerugian besar akibat perang itu dengan menerapkan Cultuur Stelsel,  proyek Tanam Paksa yang sangat menyengsarakan rakyat dan petani  kala itu. 

Tahun 1839-1845, Hindia Belanda sudah dikendalikan oleh Gubernur Jenderal lain di Batavia. Bukan Van den Bosch. Sekali lagi, ini adalah sebuah tanda tanya yang besar bagi saya. Mengapa benteng ini berjuluk Benteng Van den Bosch!

Kita kesampingkan dulu nama tuan Van den Bosch ini.......

Saya mengamati, kondisi tembok depan benteng relatif utuh. Menyisakan ciri bangunan bergaya Eropa yang kaya dengan jendela melengkung seperti relung. Beberapa jendela nampak ditutup dengan pasangan bata. Pasangan bata yang menutup sebagian lubang-lubang gedung seperti ini juga banyak saya jumpai di dalam kompleks benteng. Ternyata bagian dalam gedung dimanfaatkan untuk  sarang burung Walet.

 

 

Pintu utama ke dalam benteng zaman now. Terdapat plakat merah bertuliskan 1839-1845
Pintu utama ke dalam benteng zaman now. Terdapat plakat merah bertuliskan 1839-1845

Pintu utama zaman old (Foto: Universitas Leiden)
Pintu utama zaman old (Foto: Universitas Leiden)

Konstruksi benteng Van den Boch dirancang sebagai alat pertahanan yang demikian kuat. Tembok-temboknya tebal. Untuk memasukinya perlu melewati rintangan-rintangan yang tak mudah. Mulai  dari parit/ kanal serta pintu gerbang  yang tak mudah ditembus. Jika selesai dibangun tahun 1845, maka saat ini usianya sudah 175 tahun! Namun, masih nampak kokoh. Inilah salah satu kelebihan bangunan-bangunan era kolonial yang masih tersisa di negeri ini. 

Namun, kokoh dan megahnya bangunan zaman kolonial tak akan lepas dari tetesan keringat dan darah para pekerja yang dikerahkan sebagai tenaga kerja murah. Bisa jadi semuanya dilakukan di tengah kepedihan dan penderitaan yang tiada tara. Karena di masa itu, penguasa tanah Jawa adalah kolonial Belanda yang memerintah demikian bengisnya! Kerja Rodi (kerja paksa mirip budak), adalah pemandangan yang kerap dijumpai dalam pembangunan infrastruktur di tanah Jawa.

Bangunan utama perkantoran di dalam benteng
Bangunan utama perkantoran di dalam benteng

Bangunan Utama
Bangunan Utama

Bangunan yang berhadapan dengan bangunan utama
Bangunan yang berhadapan dengan bangunan utama

Bekas barak tentara
Bekas barak tentara

Barak tentara
Barak tentara

Mumpung matahari tak terlalu menyengat, saya pun semangat berkeliling mengitari kompleks benteng yang sepi. Kadang-kadang bulu kuduk berdiri juga menelusuri bangunan tua tinggalan kompeni ini. Beda dengan aura mistis saat blusukan ke candi.

Mulanya saya melintas di tengah halaman tengah benteng yang luas. Beberapa Burung Dara yang sedang ngasin (mematuk) tanah/ pasir di halaman terbang berhamburan kala saya lewat di dekatnya. Di sudut lain, beberapa kambing berkeliaran bebas mencari rumput pendek yang tersisa. 

Saya jumpai, di sisi kiri,  di tengah halaman ada bangunan megah dengan 4 pilar besar di terasnya. Ini nampaknya adalah gedung utama yang mungkin sebagai pusat komando. Tempat pemimpin tertinggi benteng tinggal. Bangunan ini disekat-sekat menjadi beberapa bagian. Ada ruang kerja, kamar, dapur dan kamar mandi. Di kanan kirinya, terdapat lorong yang memisahkan bangunan gedung utama dengan bangunan memanjang yang kemungkinan besar dimanfaatkan sebagai barak tentara. Dimana para serdadu tinggal. 

Di sisi kanan halaman, terdapat bangunan lain yang lebih besar. Dilengkapi  menara tinggi di tengah bangunan.  Biasanya dalam film perang, puncak menara seperti itu digunakan untuk menancapkan bendera. Di sudut lain ada semacam bastion/ selekoh sebagai tempat untuk pengintaian dan meletakkan senjata pertahanan.

  

Sudut benteng Van den Bosch
Sudut benteng Van den Bosch

Benteng Pendem

Benteng Van den Bosch oleh masyarakat sekitar kerap disebut sebagai Benteng Pendem. Pendem, dalam Bahasa Jawa artinya dipendam/ dikubur. Tapi Benteng Pendem  bukan berarti bentengnya dikubur dalam tanah. Nama itu muncul karena  keberadaan dan penampakan benteng ini sengaja disembunyikan untuk melindungi dari pandangan orang di sekitarnya. Sehingga tak seorang pun tahu kalau di situ ada bangunan benteng.

Caranya:

Sekeliling benteng dibuatkan tanggul tinggi, sehingga dari kejauhan tidak menampakkan adanya bangunan benteng. Selain tanggul/ gundukan tanah, di sudut luar benteng juga banyak ditanami aneka vegetasi lebat untuk menyamarkan keberadaan benteng.

Konon, selain sebagai benteng pertahanan, bangunan kolonial ini juga untuk memantau pergerakan arus manusia dan barang yang melewati sungai Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, dua sungai besar yang ada di Ngawi. Ya, di salah satu sudut agak jauh dari benteng, terdapat tempuran (bertemunya dua sungai) Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, yang bisa dipantau dengan jelas dari sisi luar benteng.

Baca Artikel Menarik lainnya :  Keelokan Desa Penglipuran, sebagai Desa Terbersih Sejagat

Dari catatan sejarah, setelah perang Jawa berakhir tahun 1830, masih banyak pemimpin lokal yang bergerilya menentang pendudukan kolonial. Paling terkenal adalah perjuangan Bupati Ponorogo yang gigih menentang Belanda. Jadi, keberadaan benteng Van den Bosch ini paling tidak sebagai tempat pertahanan kolonial Belanda terdepan yang akan mencegah masuknya pejuang dari  arah Timur (Jawa Timur) ke Jawa Tengah.  

Pintu keluar menuju tanggul dan memantau tempuran (pertemuan sungai) Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Dibuat berlapis-lapis dengan pintu jeruji
Pintu keluar menuju tanggul dan memantau tempuran (pertemuan sungai) Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Dibuat berlapis-lapis dengan pintu jeruji

Sisi benteng yang menghadap ke tempuran Bengawan Solo dan Bengawan Madiun
Sisi benteng yang menghadap ke tempuran Bengawan Solo dan Bengawan Madiun

Pintu belakang benteng
Pintu belakang benteng

Tanggul yang memendam benteng sehingga tak kelihatan dari sekitarnya
Tanggul yang memendam benteng sehingga tak kelihatan dari sekitarnya

Penjara dan Makam Pejuang

Selain menyisakan tembok-tembok kusam yang bisu, di sudut belakang Benteng Pendem juga terdapat sebuah makam. Dipercaya oleh masyarakat setempat, ini adalah makam KH Muhammad Nursalim, salah seorang sekutu Pangeran Dipanegara yang tak mau menyerah. Setiap saat KH Muhammad Nursalim selalu menyerang kedudukan Belanda di Ngawi dan sekitarnya. Akhirnya, perjuangan itu berakhir ketika Kyai Nursalim tertangkap. Namun, karena keampuhan ilmu kanuragan/ ilmu kebalnya, Belanda harus mengubur hidup-hidup Kyai Nursalim.

Jika ingin lebih seru, mencoba merasakan sisa keangkeran Benteng Pendem, saya sarankan datang ke tempat ini malam hari. Carilah sudut yang bertuliskan Penjara. Ada empat lubang sempit dari ukuran setinggi manusia  sampai ukuran setinggi dengkul. Pagi itu, aura sudut Penjara demikian terasa mistisnya. Terasa sejuk. Bikin bulu kuduk berdiri.

Saya menaiki tangga menuju lantai dua di sisi penjara. Ketemu bangunan lantai dua yang horor. Tembok rapuh, belitan akar kayu serta semak berbaur menyelimuti tubuh bangunan.  Ditambah bau amis dari kotoran Burung Walet membuat makin "syahdu' auranya.     

Tembok kokoh
Tembok kokoh

Relung-relung benteng
Relung-relung benteng

Pojok benteng yang difungsikan sebagai penjara
Pojok benteng yang difungsikan sebagai penjara

Fort Ngawi di masa lalu (Foto: Universitas Leiden)
Fort Ngawi di masa lalu (Foto: Universitas Leiden)

Makam K.H Nursalim, salah satu pejuang melawan VOC
Makam K.H Nursalim, salah satu pejuang melawan VOC

Revitalisasi Benteng oleh Jokowi

Hampir dua tahun lalu, tepatnya 1 Pebruari 2019, Jokowi dan rombongan juga sempat mampir dan ngopi di Benteng Van den Bosch. Waktu kedatangan beliau sekitar pukul 10.30. Hampir sama waktunya dengan saat saya datang di benteng ini. Kala itu, Jokowi sudah berpesan pada Menteri PUPR agar segera merevitalisasi Benteng Pendem.

Jokowi ngopi bareng di Benteng Van den Bosch (Foto : Kompas)
Jokowi ngopi bareng di Benteng Van den Bosch (Foto : Kompas)

Site Plan Benteng Van den Bosch (Kementerian PUPR)
Site Plan Benteng Van den Bosch (Kementerian PUPR)

Rencana revitalisasi benteng Van Den Bosch (Kementerian PUPR)
Rencana revitalisasi benteng Van Den Bosch (Kementerian PUPR)

Rencana tampak depan setelah direvitalisasi (Kementerian PUPR)
Rencana tampak depan setelah direvitalisasi (Kementerian PUPR)

Syukurlah, akhirnya amanah itu mulai terealisasi. Setelah melalui kajian dari berbagai segi, proses revitalisasi pun dimulai sejak 10 Desember 2020. Tak tanggung tanggung, telah disiapkan anggaran 113 Milyar untuk restorasi benteng ini. Diperkirakan selesai secara keseluruhan tahun 2023. Proyek revitalisasi dikerjakan oleh PT Nindya Karya, yang kelak akan menjadikan Benteng Van den Bosch sebagai salah satu cagar budaya tinggalan era kolonial. Harapannya, akan berdampak pada kunjungan wisata dan menumbuhkan ekonomi warga lokal. 

Baca : Telisik Sisa Keangkeran Alas Donoloyo

Namun, saya secara pribadi berharap. Jika diresmikan nanti, sebaiknya benteng ini tidak lagi bernama Benteng Van den Bosch atau Benteng Pendem. Lebih baik kedua nama itu dipendam saja. Dikubur, sebagai bagian dari masa lalu. Karena nama Van den Bosch tidak ada kaitannya dengan  benteng ini. Tidak  melekat dari segi kesejarahannya. Berbeda dengan nama seperti: Benteng Vredenburg, Yogya atau Benteng Vastenburg, Solo. Kedua nama itu sudah melekat dari awalnya. 

Saya lebih bersepakat jika nama Benteng Van den Bosch diganti jadi Benteng Ngawi atau Benteng Dipanegara (Diponegoro), karena lebih membumi dan lekat dengan kisah perjuangan di masa itu. 

Alasannya: simak artikel berikutnya!  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun