Aku menikah di usia 25. Waktu itu, tiga orang senior di kantor berkomentar, "Cepat amat, kenapa sih buru-buru nikah?"
Aku cukup heran juga. 25 tahun rasanya bukan usia muda deh untuk nikah. Kalau di kampung, itu malah sudah ketuaan! Dan Jambi juga bukan kota besar, yang menurut kabar, orang-orang di kota besar menikah dalam usia yang sangat matang.
Waktu pun berjalan. Ternyata ketika aku melihat adik-adik di komunitas menikah, aku pun terheran-heran. Kecil-kecil kok sudah pada nikah?
Ketika kutanya, usia mereka sudah 25 bahkan ada yang 26 hampir 27! Oh, jadi begini ya. Mengenal mereka sejak SMA, untuk belasan tahun kemudian masih melihat mereka seperti adik-adik SMA.
Sampai aku pun lupa bahwa ada satu orang yang usianya sudah cukup matang untuk menikah, tapi kupikir masih bocah. Dia sendiri tak pernah membahas, seolah tak tertarik dengan pernikahan.
Ternyata itu bukan semata prasangkaku. Temannya bercerita, adik ini memang tak ingin menikah. Ia trauma dengan kehidupan rumah tangga orangtuanya. Alih-alih menasihati, aku justru khawatir melihat rumah tanggaku sendiri.
Mudah-mudahan gak berakhir buruk seperti orangtuanya. Tapi melihat lamanya usia pernikahan mereka, siapa yang bisa merasa aman?
Maka aku terkenang dengan tiga kakak adik yang tinggal satu rumah dan semuanya memilih menjadi gadis selamanya.
Anak yang tengah dari tiga gadis ini menikah ketika usianya setara dengan mahasiswa semester awal. Ia pun tak kuliah karena harus memenuhi ucapan ayahnya.
Dulu, ketika ia bayi, sang ayah berucap akan menikahkan anak perempuannya itu dengan anak laki-laki temannya yang juga masih kecil. Ucapan kedua orangtua ini dianggap janji, akad, atau apalah. Aku juga tak paham hukumnya dalam Islam.
Tapi kalau boleh berpendapat, tentu tak adil mengorbankan anak hanya karena obrolan bapak-bapak yang belum tentu serius.