Hanya Membeli yang Penting
Aku dan suami bersyukur tak terjebak panic buying. Pernah beredar hoaks bahwa pasar akan ditutup selama lima hari. Bukan main ramai pasar tradisional dekat rumahku. Belum tengah hari, dagangan yang dijajakan pedagang habis terjual.
Tak selalu karena berpikir panjang, kami tak ikut menyetok cabai dan sayuran karena kulkas sedang rusak. Beli secukupnya saja yang masih mampu bertahan di dalam kulkas sekarat.
Dasar nasib sedang baik, hari-hari berlalu, pasar tetap buka. Harga-harga justru turun. Tapi untuk bahan makanan yang tidak harus masuk ke kulkas, suami tetap membeli secukupnya.
Kalaupun membeli banyak, tidak melimpah. Lebih pada upaya tidak berulang-ulang keluar rumah. Bahkan ajaibnya, kami tidak jajan! Aku sempat mengeluh saat membuka tas belanja, semuanya kebutuhan pokok.
"Yang Abi bawa bukan duit Abi. Dak berani mau jajan-jajan."
"Kan dimakan samo-samo," kataku.
"Ini belum sebulan, Mi. kito belum tahu ke depan kayak mano," jawab suamiku.
Hatiku mengiyakan. Itulah bedanya laki-laki dan perempuan. Mereka berpikir lebih jauh saat aku masih mikirin seblak dan kebab.
Dan memang, kami tak jajan selama dua pekan. Prestasi yang luar biasa! Hari ke-15 akhirnya beli pempek karena tak tahan. Orang Jambi tak makan pempek setengah bulan, itu sungguh ujian yang berat.
Jangan Menambah Utang
Lama-lama suami memikirkan kulkas juga. Kami sempat berunding, aku lebih suka membeli barang secara tunai. Utang itu membebani hati siang malam. Tapi beliau menolak, tabunganku harus ditahan sekecil mungkin pengeluarannya.
Membeli dengan sistem murabahah menurutnya lebih aman. Tak akan ada denda, apalagi penarikan barang jika terjadi keterlambatan. Kuanalisis sebentar, belum mengambil saja sudah berpikir nunggak. Nanti malah kejadian.