"Mek, bapak-bapak itu kalo pulang kerja jam berapo?" si Adek bertanya, ia sedang dalam proses menulis cerita.
Dengan tulisan tangan centang perenang khas siswa kelas 1 SD, dia pede menuliskan imajinasinya. Yang kadang malah menyusahkan kami, para pembacanya.
"Jam empat," kataku.
"Jam empat itu siang atau sore?"
"Sore."
"Jam enam belas," timpal abinya sotoy.
"Tulis pukul enam belas, Dek. Atau pukul empat sore. Pilih salah satu," saranku. Entah dia mengerti atau tidak.
Nyatanya setelah tulisan itu kelar dan kubaca hasilnya, ternyata dia mengerti.
Mungkin aku pernah mengajari, atau itu hanya inisiatifnya. Aku tak ingat.
Kelak kalau memang ia tertarik untuk menjadi penulis cerpen atau karya sastra lainnya, insyaallah akan kubimbing semampuku. Sedangkan riset sederhana yang ia lakukan merupakan modal awal.
Kak, kalau naskahnya seperti ini bisa cepat gak editnya? Pertanyaan via WhatsApp melampirkan naskah yang dimaksud.
"Penulisnya orang mana?" balasku.
"Orang Jambi lah."
"Lama."
"Tapi sedikit itu, tak sampai seratus halaman."
"Karena Kakak sebagai pembaca gak suka. Benerinnya juga susah."
"Bagian mananya, Kak?"
"Semua dialog pake 'lo gue'. Apaan sih, orang Jambi itu kalau ngomong aku-kau, kami-awak, sayo-awak, kapan pula pake lo-gue. Belum-belum Kakak sudah emosi!"
Dia pun ngakak. "Ya sudah, Kak. Lain waktu bae kerja samanya."
Dan editor retjeh pun kehilangan proyek ... dasar aku. Â