Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jadi Korban Para Pengumbar Derita

7 Januari 2020   20:59 Diperbarui: 8 Januari 2020   12:21 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berbincang bersama. (Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash)

"Siapa pun yang mendengar ceritanya pasti merasa miris. Kasihan, dan lalu menyumbang tanpa diminta." 

Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan, Mbah X, tetangga Mamak yang hampir selalu datang ketika kakak-kakakku yang dianggap mapan, tengah bertandang ke rumah orangtua kami.

Baru kusadari setelah berumah tangga. Ketika rasa rindu untuk bercengkerama dengan saudara-saudara kandung hampir menemukan momennya, tapi kesempatan itu dirusak oleh kehadiran Mbah X.

Sebelumnya kami selalu bersimpati pada kisah sedihnya. Kakakku yang tak ada hubungan darah setitik pun dengan Mbah X, biasanya dengan mudah menyalami beliau sambil menyisip satu dua lembar lima puluh sampai seratus ribuan ke tangannya. Hampir selalu begitu, entah hingga kapan.

Lalu lembar itu menjadi candu. Setiap mendengar suara kakakku, atau melihat mobilnya terparkir di depan rumah, Mbah X dengan atau tanpa alasan apa pun, turut meramaikan rumah kami. Ia kemudian akan bercerita tentang anak-anaknya.

Anaknya yang sudah menikah dan tinggal jauh di kota lain, jarang datang apalagi mengirimi. Anak bujangnya yang bekerja sebagai tukang ojek, juga jarang memberi, padahal pakaian sehari-harinya dicucikan oleh simbah. 

Belum lagi Mbah ini sering berjalan kaki untuk mengantar kue titipan, sementara anaknya tak mau memberi boncengan. Siapa pun yang mendengar ceritanya pasti merasa miris. Kasihan, dan lalu menyumbang tanpa diminta.

Tapi aku yang pembosan kemudian menemukan kejanggalan. Cerita Mbah X tak pernah berubah. Padahal ia menceritakan orang yang sama, kenapa dengan kisah yang persis sama pula? Bukankah waktu berjalan? Kok itu lagi itu lagi. 

Alhasil adegan sumbang menyumbang pun terus terjadi. Jangan kira aku kemudian memutus budaya itu. Sama sekali enggak. Entah salah entah benar, biarlah dia mendapat rezeki dari cara itu.

Kemudian, seorang kenalan membagi kisah sedihnya hidup bersama suami durjana. Membuatku sempat lupa pada Mbah X. Anggaplah namanya Mbak Y. Konon, suaminya jarang memberi uang belanja. 

Kalau sedang punya uang, istrinya dijatah lebih sedikit dari pegangannya. Padahal kebutuhan yang ditanggung Mbak Y lebih banyak. Dari urusan dapur sampai tagihan sekolah dan rumah. Suami si Mbak tak peduli, kerjanya cuma marah-marah dan memaki.

Sebagai manusia normal yang diciptakan punya hati, tentu aku berempati. Seperti teman-temannya yang lain, kami membantu yang bersangkutan. Sesekali memberi pinjaman yang ia sebut pinjam tapi tak pernah dikembalikan. 

Karena paham kondisinya, kami semua maklum. Ya dari awal niatnya memang memberi, bukan meminjamkan. Tapi dia sendiri yang menyebut pinjam, maka terserah dia.

Sampai kemudian, Aku dan teman-temannya yang biasanya melihat update-an status sendu, kebencian, dll luapan emosi negatif Mbak Y, dibuat bengong dengan status dan foto profilnya. Si Mbak dengan mesranya memuji-muji sang suami. Lengkap dengan foto mereka berdua yang diberi stiker bergambar hati.

Sumpah, antara jengkel dan lucu! Sebenarnya bagus sih, artinya mereka sedang akur. Tapi koknya gak banget dengan status sebelum-sebelumnya. Kata kawanku, kalau suami-istri sedang berantem, kita jangan memihak. Kita sudah jengkel ke ubun-ubun dengan pasangannya, tahu-tahu mereka sudah mesra-mesraan lagi. Bener banget!

Apakah itu terjadi sekali? Sama sekali enggak. Berulang-ulang selama nomor itu masih ada di kontakku. Untuk berikutnya, ketika Mbak Y mengulang siklus sendunya, aku memilih abai. 

Ia ceritakan lagi bagaimana suaminya lebih memilih beli alat untuk hobinya daripada bayar sekolah anak. Suaminya tak mau bekerja, malah kongkow dengan temannya, dll. Sengaja ku-read, tanpa balasan. Biar dia tahu, aku tak peduli.

Aku memang nyaris tidak pernah mengatur WhatsApp jadi centang abu-abu. Selalu biru. Sekalinya aku terganggu, blokir sekalian. Bukan tak punya empati, aku paling benci dimanfaatkan. Aku tak sebaik yang kau kira, Kawan!

Ternyata, Mamakku pun kenal dengan Mbak Y. Ketika kami bertemu, Mamak menceritakan kisah sedih si Y yang membuat sekali lagi jaring itu menemukan umpannya. 

Meski aku memilih tegas pada Mbak Y, agak sungkan juga menyampaikan fakta itu pada Mamak. Hanya kusimpulkan, Mbak Y melancarkan aksinya secara daring dan luring. Ia tahu betul bagaimana memanfaatkan teknologi. 

Lalu, setelah menceritakan kisah Mbak Y. Mamak mengeluhkan kelakuan Mbah X. Waktu itu Mamak masih setia dengan warung kecilnya. Dengan nada dongkol Mamak ngomel. 

"Setiap datang ngakunya dapat pesanan kue tapi dak punya modal. Dipinjami modal, kue habis, utangnya dak dibayar. Setiap datang anak-anak Mamak, ngeluhkan ini itu. Sudah banyak yang ngasih, tetap bae utangnya dilupakan!"

Nah, Mamak akhirnya sadar. Tinggal tunggu yang satu lagi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun