Alhamdulillah, sejak nyemplung ke dunia literasi tahun 2004, aku sering diminta beberapa lembaga untuk jadi juri lomba, terutama cerpen. Bukan karena akunya hebat, gak sama sekali. Ih, siapa juga yang mikir begitu!
Jadi, pekan lalu aku diamanahi 429 naskah anak-anak, yang ditulis siswa SD se-Provinsi Jambi. Setiap menjemput atau diantari naskah lomba, aku seperti menerima segepok duit. Bahagiaaa!
Bapak-bapak baperan langsung nyinyir. Tuh kan, standar bahagianya cewek; duit.
Aku seperti punya harapan ketika melihat naskah yang bertumpuk banyak, apalagi cerpen. Hari gini, masih banyak orang mau nulis cerpen! Walau kemudian (seperti biasa) rasa kecewa tak bisa dihindarkan.Â
Sesuai etika lomba, panitia lebih dulu menyortir naskah yang tidak sesuai ketentuan untuk didiskualifikasi. Kemudian memastikan naskah bersih dari identitas siswa, baru akhirnya kumpulan cerita anak tersebut sampai ke tangan dewan juri.
Total juri untuk lomba kemarin ada 18 orang. Aku berada dalam tim menulis kreatif SD, bersama 4 orang lainnya yang baru kali itu bertemu sebagai juri. Mereka pastinya orang hebat, tapi aku belum tahu apa mereka juga sering menjadi juri di lembaga yang mengamanahi kami. Kalau ya, aku yakin meski tanpa mengetahui asal sekolah peserta, mereka bisa meraba, naskah siswa mana yang sedang dibaca ini.
Dan memang pada akhirnya, pemenang adalah sekolah yang langganan menang lomba menulis. Mau lomba tingkat SD, SMP, SMA. Ya itu-itu juga sekolah yang menang.
Lomba kali ini tidak dibatasi pada menulis cerpen. Anak-anak dibebaskan menulis apa saja yang menurut mereka menarik. Aku bahkan mengabaikan PUEBI dalam menikmati karya anak-anak itu. Ya iyalah, mau menulis saja sudah bagus. Yang penting tulisan mereka terbaca (tak harus cantik), ada alinea, bukan sambung menyambung satu halaman penuh.
Para pemenang lomba adalah mereka yang menuliskan pengalaman yang dekat dengannya. Yang kisahnya kanak-kanak. Imajinatif, tapi sesuai nalar anak. Dan lewat berbagai penilaian, biasanya kami tahu mana anak yang biasa membaca mana yang tidak. Tapi terlepas dari itu, sungguh membaca karya mereka seolah dapat hiburan gratis. Banyak yang lucu! Beberapa sempat kuabadikan.
Paling tidak 4 poin ini yang ingin disampaikan kepada bapak/ibu guru yang membina anak-anak pada persiapan lomba. Atau dalam pelajaran sekolah sehari-hari yang terkait dengan menulis kreatif.Â
Pertama, anak-anak sebaiknya tidak diberi contoh tulisan. Informasi ini kudapatkan ketika dulu menjadi fasilitator di sekolah alam. Salah seorang guru senior berkata, "Jangan kasih anak contoh, Tar. Nanti yang disebut contoh itu akan menempel terus di karya mereka."
Sayang pesan itu baru disampaikan setelah aku memberi contoh cerpen dari Bobo. Ternyata benar, ketika diminta menulis, mereka malah menulis ulang cerita yang sebelumnya mereka baca.Â
Kedua, banyak anak terpapar sinetron. Orangtua zaman sekarang memang serbasalah. TV banyak mudaratnya, Youtube pun tak kalah rusak dengan trendingnya yang bertabur sampah.Â
Bukulah yang masih bisa diharapkan, tapi buku jelas kalah menarik dibanding ponsel. Dari tulisan anak-anak yang kubaca, luar biasa banyak yang kisahnya salin-tempel sinetron!Â
Yang ibunya mati, temannya mendadak kena kanker stadium IV, ibu tiri jahat, ayah selingkuh lalu bangkrut, dll. Sumpah, aku sakit hati kalau sudah membaca yang begini. Tapi kalaupun yang seperti ini dibahas di hadapan guru, mereka juga tak bisa berbuat banyak. TV dan ponsel urusan orangtua.
Ketiga, pengalaman pribadi adalah hal termudah yang bisa dituliskan. Kenapa ya anak-anak jarang mau menuliskannya? Bahkan di ruang fiksi mereka boleh berbohong untuk melebay-lebay pengalamannya.Â
Diperkenankan bohong karena orang tahu itu cerita bohong. Namanya juga imajinasi. Pengalaman pribadi dan pengalaman membaca selalu kuberi nilai lebih.Â
Anak yang sering membaca akan mudah menyusun kata, mengatur alinea, dan menyampaikan maksudnya. Beda dengan poin pertama, banyak membaca tidak membuat mereka menyalin bacaan. Karena banyak yang pernah dia baca sehingga tidak cuma satu yang harus ditiru.
Keempat, mirip dengan pengalaman, kearifan lokal sebenarnya merupakan tema seksi yang bisa diangkat. Sangat disayangkan ketika anak-anak Kerinci tidak menceritakan gunung dan danau yang mereka punya. Kebun teh mereka yang lebih populer dari gubernurnya tidak mereka angkat, barang sekadar mencicip dodol kentang di antara daun-daun dan kaki petani.
Anak-anak merangin alih-alih bercerita tentang air terjun, malah jalan-jalan ke Jambi Town Square! Bahkan seharusnya mereka yang di daerah akan kuberi poin tinggi sekadar bercerita dikejar babi di kebun sawit. Atau pup di jamban di mana ampas mereka dimakan ikan-ikan kecil penghuni kolong jamban itu. Sumpah!
Aduh, Nak! Kalian punya kesempatan menggila di ajang lomba. Kenapa tidak dipakai, bikin geregetan! Zamanku dulu, tidak satu lembaga pemerintah pun yang pernah mengadakan sayembara semanis ini. Aku nulis diketawain, diremehin. Tapi dibaca juga, gratis. Gak dibayar!
Sudah sudah, malah naik darah. Pokoknya begitu, menulislah terus untuk atau tanpa lomba. Zaman kalian dewasa nanti, dunia akan lebih gila. Menulis adalah salah satu terapi menjaga kewarasan. Tekuni dari sekarang!