Mohon tunggu...
Subandi Bandi
Subandi Bandi Mohon Tunggu... -

Pengamat lepas

Selanjutnya

Tutup

Money

Menko Darmin Kurang Nendang

1 Oktober 2015   05:07 Diperbarui: 1 Oktober 2015   05:07 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kemarin Selasa (29/9) media diramaikan dengan berita-berita media tentang meningginya suara Presiden saat memimpin rapat yang dihadiri terutama oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, sebelum peluncuran paket kebijakan ekonomi jilid 2. Juru bicara pemerintah, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, saat konferensi pers pasca rapat menyatakan, bahwa ke depan akan terdapat kemudahan berinvestasi. Salah satu contohnya adalah lama waktu perizinan berinvestasi di kawasan industri yang hanya 3 jam setelah sebelumnya makan waktu 8 hari. Saking drastisnya, dari 8 hari ke 3 jam, sehingga dikatakan  akan "lebih nendang". Tapi pertanyaannya adalah: akan berjalan efektifkah kebijakan ini? Akankah kebijakan Darmin, nendang?

Sangat diragukan, mengingat Darmin Nasution bukanlah tipe pejabat yang mampu membuat terobosan. Hal ini setidaknya dari rekam jejak dirinya yang dikumpulkan oleh suatu situs pengumpul data ekonomi. Disebutkan, bahwa sepanjang karirnya sebagai Dirjen Kementerian Keuangan dan kemudian Gubernur BI, prestasinya hanya menerbitkan sunset policy pada tahun 2008. Kelonggaran penghapusan denda wajib pajak itupun diberikan hanya kepada tiga industri, yaitu batubara, kelapa sawit, dan konstruksi. Sama sekali tidak istimewa.

Sekarang, setelah 6 minggu menjabat dan 3 minggu menurunkan paket kebijakan ekonomi jilid I, situasi ekonomi nasional yang menjadi tanggung jawab Darmin terus memburuk. Terlihat dari terdepresiasinya nilai kurs terhadap dollar sebesar 6,3% setelah Darmin dilantik, padahal seperti diketahui sebelumnya banyak para pengamat ekonomi menggadang-gadang Darmin sebagai pejabat yang disukai investor, disenangi pasar, dll maka harus diilih sebagai Menko Perekonomian Jokowi. Sekarang seluruh pengamat "cheerleaders" Darmin itu seolah hilang dari muka bumi..

Selain soal kurs, terdapat juga masalah over kapasitas sebesar 30an% di gudang-gudang domestik, karena tidak mampu menjual barangnya di dalam negeri akibat menurunnya daya beli masyarakat. Perusahaan-perusahaan lebih memilih untuk melakukan PHK massal untuk memangkas biaya produksi (menurunkan produksi), yang dampaknya tentu adalah semakin menurunnya daya beli masyarakat. Apalagi setelah secara bertahap subsidi energi dicabut.

Yang dapat Darmin lakukan sebenarnya adalah bagaimana justru peluang di tengah depresiasi nilai tukar, over kapasitas (over) produksi dapat menjadi kekuatan ekspor. Maka, daripada digunakan untuk membanjiri garam ke laut, membuang uang untuk membeli kurs yang terus merosot, lebih baik diberikan sebagai subsidi ekspor. Bila bisnis mulai lesu, agar tidak melakukan PHK, maka barang over kapasitas harus dijual ke luar negeri. Atau mungkin solusi lainnnya.

Ketika kritik bertubi-tubi untuk negara agar mencabut larangannya (melalui UU Minerba dan PP turunannya), para asosiasi tambang menyatakan terdapat peluang devisa puluhan trilyun untuk dimiliki negara, nasionalisme kita menjadi serba salah bila pabrik pengolahannya belum ada. Sangat sedikit bisnis swasta yang mampu membangun smelter, sementara yang kelas kakap seperti Freeport dan Newmont masih "kucing-kucingan" dalam mengkonkretkan pengolahan hilir nasional ini. Freeport seharusnya membangun smelter di tanah Papua, bukan kembali ke Jawa. Bila masalahnya adalah kurangnya energi, untuk apa gas yang banyak di Papua. Dan sekitarnya (Aru, dll) tidak dimanfaatkan.

Kembali ke masalah Menko Perekonomian, kita, sekali lagi, masih sangat meragukan Saudara Darmin dapat melakukan terobosan. Hal lainnya adalah disebabkan Darmin berasal dari birokrasi, sehingga dirinya menjadi eweuh pakeuwuh dengan rekannya sesama pejabat birokrasi ketika hendak melakukan gebrakan demi terobosan. Hal ini mungkin mirip dengan yang disentilkan pula oleh Presiden Jokowi tentang karakter kepemimpinan seorang menteri yang tidak boleh mengikuti arus eselon 1 dan 2 nya. Setidaknya kehati-hatian konservatif yang dipertontonkan dirinya kala mendirijeni perekonomian nasional, lebih terlihat sebagai kelambanan.

Terobosan membutuhkan keberanian. Dan keberanian hanya ada pada orang-orang yang berintegritas tinggi. Tidak pernah tersangkut kasus pajak atau skandal dana talangan adalah bekal penting untuk meringankan kerja mengarahkan perekonomian. Mala kembalilah kita bertanya, apakah menggunakan kebijakan untuk memperkaya orang lain secara ilegal, ditukar dengan posisi di kekuasaan, bukan bentuk korupsi? Banyak hal ini terjadi pada diri ekonom-ekonom kita yang dianggap terbaik oleh kubu neoliberal, masih berkelindan dengan hal yang dikutuk Reformasi ini. ****

 

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun