Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Dilema ASN yang Ingin Mengungkap Korupsi

15 November 2018   23:41 Diperbarui: 16 November 2018   11:37 2393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Bila Anda seorang ASN dan mengetahui pimpinan Anda telah melakukan penyimpangan yang terindikasi mengarah pada tindakan korupsi, apa yang akan Anda lakukan? Berani melaporkan atau hanya memilih mendiamkan?

Dilema hebat tentu berkecamuk dalam pikiran. Masing-masing pilihan tentu ada akibatnya. Memilih mendiamkan mungkin menjadi pilihan paling aman, setidak-tidaknya karena kita tidak ikut melakukan.

Meskipun pilihan itu sebenarnya sama saja dengan mendiamkan kejahatan. Dengan kata lain, kita pun sedang terlibat melakukannya karena tidak bertindak apa-apa meskipun kejahatan itu terjadi di depan mata. Mendiamkannya pun berarti kita sedang menutupi sekaligus memadamkan mata hati dan nurani sendiri.

Sementara bila ingin melaporkan, tentu lebih banyak konsekuensi yang mungkin akan dihadapi. Pada siapa itu harus dilaporkan? Bagaimana bila yang dilaporkan justru berhasil berkelit dan bahkan menyerang balik? Siapkah menghadapi risiko ancaman fisik, administrasi, dikucilkan dari pergaulan, bahkan risiko karier yang terancam?

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melihat Aparatur Sipil Negara (ASN) sebenarnya sangat potensial dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi, terutama terkait pengungkapan kasus. 

Ilustrasi (Kompas.com)
Ilustrasi (Kompas.com)
Hal ini dikarenakan para ASN berada dalam lingkaran birokrasi pemerintahan, sehingga jika ada penyimpangan yang mengarah kepada tindakan korupsi mereka bisa mengetahuinya dan berperan dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan baik sebagai saksi, Justice CollaboRator, maupun Whistleblower. Namun potensi tersebut ternyata tidak sebanding dengan keamanan karier mereka.

"Karena selain ancaman fisik, mereka seringkali mendapatkan ancaman berupa ancaman administrasi terkait karier mereka", ujar Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai di Jakarta (10/10).

Dari data yang ada, LPSK telah dan sedang menangani terlindung yang berstatus ASN dan perkaranya terkait dengan instansinya sebanyak 55 orang. Dari jumlah tersebut terdiri dari 38 orang berstatus sebagai Whistleblower, 5 orang berstatus Justice Collaborator, dan 22 orang sebagai saksi.

Dari jumlah tersebut ancaman yang diterima berupa perlakuan diskriminatif, mutasi, hingga pemberhentian. Pada beberapa kasus LPSK mendampingi pula ASN yang diberhentikan untuk mengajukan banding ke Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK). Beberapa di antaranya berhasil dipulihkan status kepegawaiannya.     

Bila mau jujur, 55 orang ASN di atas sebenarnya tentu masih terlalu sedikit bila dibandingkan jumlah instansi/kantor pemerintahan yang ada. Bukan hendak menyimpulkan bahwa seluruh instansi birokrasi sudah pasti korup. Tidak begitu.

Namun sekali lagi, saya meyakini masih banyak ASN yang memilih posisi paling aman yaitu diam, meskipun ia melihat, mendengar dan menyadari sebenarnya ada bahkan mungkin banyak ketidakberesan yang terjadi di instansi tempat ia bekerja.

Salah satu contoh nyata dan sering dijadikan ajang "bancakan" dalam birokrasi pemerintahan adalah terkait proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Ini sudah terkonfirmasi dari data dan laporan lembaga antirasuah yang menyebutkan banyak praktik kejahatan yang dilakukan aparat birokrasi di sektor ini.

Berbagai penyimpangan terjadi dan jelas-jelas mengakali standar dan prosedur yang seharusnya. Pada praktiknya, seringkali proses pengadaan barang dan jasa sudah terlebih dulu "dikondisikan" pemenangnya.    

Ada kegiatan yang semestinya ditenderkan/lelang secara langsung justru dipecah-pecah menjadi beberapa paket/bagian untuk menghindari proses lelang. Ini dilakukan secara sadar demi mendapatkan bagian keuntungan dari perusahaan.

Panitia pengadaan barang dan jasa yang biasanya masih berada di level staf seakan tak mampu berbuat apa-apa dan merasa sungkan untuk membantah perintah atasannya yang tak lain merupakan penanggung jawab kegiatan alias Pejabat Pembuat Komitmen atau Kuasa Pengguna Anggaran.

Praktik semacam ini ibarat lingkaran setan yang terus terjadi. Dari tahun ke tahun, praktik penyimpangan terus terjadi terlebih lagi bila kebetulan pejabat yang ditempatkan sebagai pemimpin pada sebuah instansi birokrasi memang bermental miskin dan korup.

Peran LPSK 

Bagaimanapun, praktik-praktik semacam ini memang harus segera dihentikan. Birokrasi harus dibersihkan dan dibereskan agar benar-benar optimal menyelenggarakan program-program pemerintah dan melayani masyarakat.  

Praktik korupsi merupakan wabah serius yang bisa menggerogoti kinerja birokrasi. Untuk itulah, pemerintah terus-menerus berupaya untuk membereskannya. Salah satu strategi yang sedang ditempuh adalah dengan melibatkan masyarakat agar terlibat secara aktif dan peduli melaporkan kasus-kasus korupsi yang terjadi.   

Presiden Jokowi bahkan telah menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ya, masyarakat diiming-imingi mendapatkan penghargaan bila berani mengungkap dan melaporkan tindak pidana korupsi yang diketahuinya sedang terjadi.

Tentu kita harus mengingatkan pemerintah bahwa lebih dari sekadar pemberian penghargaan/instentif, masyarakat yang diharapkan menjadi pelapor kasus korupsi juga butuh jaminan kepastian sekaligus perlindungan.

Pemerintah harus bisa menjamin setiap laporan yang masuk harus benar-benar direspon dengan serius dan tidak sekadar dijadikan sebagai arsip tumpukan laporan. Pemerintah melalui penegak hukum juga harus mampu memberikan jaminan perlindungan secara maksimal pada pelapor.

Demikian halnya, dalam upaya membenahi dan membereskan birokrasi pemerintah dari praktik-praktik korupsi, maka dibutuhkan ASN-ASN yang jujur dan berani mengungkap segala bentuk penyimpangan yang terjadi.  

Dalam hal ini, peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi sangat vital. Lembaga ini harus mampu meyakinkan setiap ASN yang ingin mengungkap praktik korupsi di birokrasi pemerintahan, pasti mendapatkan perlindungan yang optimal.         

Sebagai lembaga profesional, LPSK mengemban tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

LPSK harus segera melakukan langkah-langkah strategis guna mengoptimalkan perlindungan bagi para ASN yang ingin berperan mengungkap praktik korupsi di instansinya sendiri. Termasuk berkolaborasi dengan instansi terkait lainnya guna terciptanya aturan yang menjamin setiap ASN benar-benar terlindungi hak dan keselamatannya dari berbagai bentuk ancaman yang mungkin datang.    

Kita berharap di bawah kepemimpinan LPSK yang baru periode 2018-2023, LPSK benar-benar bisa memerhatikan hal ini. Dengan kata lain, LPSK memainkan peranan sangat penting untuk membentuk birokrasi-birokasi pemerintahan di masa kini dan mendatang yang bersih dari korupsi serta siap memberikan pelayanan pada masyarakat secara optimal.

***

Jambi, 15 November 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun