Islam adalah agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan maju mundurnya umat Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Dakwah adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang bersifat menyeru atau mengajak kepada orang lain untuk mengamalkan ajaran Islam secara benar dan sungguh-sungguh.Tidak berlebihan jika Thomas W. Arnold menyebut agama Islam sebagai agama dakwah.
Profesor Max Muller, ketika menyampaikan perkuliahan di Westminster Abbey di Inggris (1873), memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan agama dakwah adalah agama yang di dalamnya memerintahkan kepada para pemeluknya untuk menyebarkan kepercayaan yang dianggap sebagai kebenaran agar bisa diterima oleh masyarakat secara luas. Perkembangan dakwah tersebut akan senantiasa berkesinambungan dari generasi ke generasi, karena dakwah sendiri dipahami sebagai kewajiban umat muslim.
Secara etimologis, dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu Da’a, Yad’u, Da’wan, Du’a, yang artinya mengajak atau menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Dalam pengertian yang integralistik dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami. Inti dari aktifitas dakwah adalah menyeru pada penyembahan Allah beserta segala derivasinya.
Perintah berdakwah sendiri secara tersurat terdapat dalam petikan ayat al-Quran berikut ini : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula….”
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Menurut Al-Wahidi, ayat ini turun setelah Rasulullah menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasul. Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW untuk melakukan gencatan senjata dengan pihak Quraisy, sedangkan Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab an- nuzul-nya, sebab ungkapan dalam ayattersebut memberikan pengertian umum.
Dalam ayat tersebut terdapat dua kata yang menjadi perhatian ulama tafsir yakni, al-hikmah dan Mau‘izhah Al-hasanah (pelajaran yang baik). Murut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik. Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian. Sedangkan menurut At-Thabary, al-hikmah dari Allah SWT yang bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal.
Kata Mau‘izhah Al-hasanah menurutpara mufasir merupakan suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut sedangkan An-Nisaburi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan, yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang telah diterima.
Dengan pendapat diatas dapat dipahami bahwa dakwah atau pengajaran dengan cara al-hikmah umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali akalnya puas dan hatinya tenteram.
Sedangkan karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua: Pertama, mau’izhah hasanah mengandung ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan pendapat yang dipakai para mufasir seperti an-Nisaburi. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami. Kedua, mau’izhah hasanah menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan.
Adanya kepuasan dan keyakinan jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Seruan dengan mau‘izhah hasanah ini tertuju pada orang-orang yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus.
Dapat dipahami bahwa dakwah adalah kerja nyata seorang muslim yang diatur dalam sebuah sistem keislaman dengan bertujuan melahirkan kepribadian yang siap ditata dan diatur berdasarkan kehendak Allah. Puncaknya, dakwah merupakan proses pengajakan manusia untuk meninggalkan sistem kejahiliyahan menuju sistem yang diridhoi Allah SWT.
Perkembangan agama Islam yang awalnya disampaikan secara sembunyi-sembunyi di Mekkah terus mengalami proses perubahan secara bertahap, hingga akhirnya berkembang ke berbagai daerah, termasuk ke negeri Indonesia.
Keberadaan Islam di Indonesia sudah ada sejak puluhan abad lalu. Masuknya Islam ke Indonesia ini menurut Azyumardi Azra, disebabkan oleh empat hal, yaitu: dibawa langsung dari tanah Arab, diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah, orang-orang yang pertama masuk Islam adalah para penguasa, dan sebagian besar para juru dakwah datang di Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13 Dari faktor-faktor tersebut terlihat bahwa penyebaran Islam merupakan bagian dari spirit keberagamaan kaum Muslimin yang sekaligus menjadikan mereka sebagai juru dakwah. Penyebaran Islam tidak lain karena adanya proses dakwah yang dilakukan para pengikutnya secara kontinyu hingga kini.
Seiring waktu yang berjalan, dakwah Islam dihadapkan pada realitas sosio-kultural dan perubahan sosial yang menjadi tantangan baru. Perluasan medan dakwah yang menyebar di seluruh negeri tentunya akan bersentuhan dengan realitas sosio-kultural dan perubahan sosial.
Pergulatan dakwah Islam di Indonesia dengan realitas sosio-kultural yang terjadi, telah memunculkan gerakan Islam modern dan gerakan Islam tradisional. Atas fenomena perubahan itu sendiri, L Stoddard dalam bukunya yang berjudul The New World of Islam menyatakan, bahwa bangkitnya Islam barangkali merupakan suatu peristiwa yang paling menakjubkan sepanjang sejarah peradaban manusia. Dalam tempo seabad saja, penyebaran ajaran Islam berhasil menghancurkan kerajaan-kerajaan besar dan kepercayaan mistik yang dianut selama berabad-abad lamanya.
Diluar konteks munculnya berbagai gerakan Islam dengan metode dakwahnya yang berbeda-beda, dakwah menjadi semacam ilmu yang menuntut para juru dakwah agar memiliki keterampilan tertentu dalam penyampaian materi dakwahnya. Tuntutan untuk lekasanakan aktivitas dakwah mengharuskan seorang da’i untuk memahami metode dakwah yang menjadi salah satu unsur untuk mencapaian keberhasilan dakwah itu sendiri. Seorang da’i yang bertindak sebagai subjek dakwah harus membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan sebagai modal yang akan disampaikan dalam medan dakwah.
Konsep Al-hikmah (bijaksana)dan Mau‘izhah Al-hasanah (pelajaran yang baik) dalam al-Qur’an surah an-Nahl ayat 125 yang telah dibahas diatas sekaligus menjadi metode bagi seorang subjek dakwah. Operasionalisasi metode dakwah al-hikmah dalam penyelenggaraan dakwah dapat berbentuk: ceramah-ceramah pengajian, pemberian santunan kepada anak yatim atau korban bencana alam, pemberian modal, pembangunan tempat-tempat ibadah dan lain sebagainya. Sedangkan operasionalisasi dari konsep Mau‘izhah Al-hasanah, yakni memberi nasehat atau mengingatkan kepada orang lain dengan tutur kata yang baik, sehingga nasehat tersebut dapat diterima tanpa ada rasa keterpaksaan.
Selain dalam al-Qur’an, landasan metode dakwah yang bersumber dari nabi adalah seperti yang terdapat dalam sebuah hadis sangat popular dibawah ini;
“Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka cegahlah dengan tangannya (kekuasaan), apabila tidak mampu maka dengan lidahnya, apabila tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Metode dakwah tersebut diatas dalam perkembangannya bisa saja melahirkan metode-metode baru yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat yang selalu berkembang. Hal ini menuntut kemampuan seorang da’i dalam memilih dan menyesuaikan metode yang tepat dalam penyampaian dakwah terhadap masyarakat yang mempunyai kebiasaan, budaya, sifat, dan karakteristik yang berbeda. Mengenali masyarakat merupkan hal yang penting untuk menentukan metode yang tepat dalam berdakwah, sehingga pesan dakwah akan mudah diterima dan membekas dalam masyarakat selaku obyek dakwah.
Ahmad Janawi di dalam tulisannya yang dimuat di dalam jurnal dakwah Alhadharah, menyebutkan bahwa sukses atau tidaknya suatu dakwah tidak diukur dari jumlah kuantitas jamaah ataupun ekspresi yang ditampilkan oleh jemaah tersebut seperti tangis, gelak-tawa atau yang lain, tetapi nilai kesuksesannya diukur melalui bekas yang ditinggalkan di dalam benak jamaah, dalam artian memberikan kesan dan dengan harapan dari kesan tersebut memberikan stimulan kepada jamaahuntuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI