Mohon tunggu...
Eko Prasetyo Dharmawan
Eko Prasetyo Dharmawan Mohon Tunggu...

Staff Peneliti di Pusat Kajian Wayang dan Indonesia (PUSKAWI, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cara Menonton Wayang: Fondasi untuk Mersakan Aura Filosofis Kisah Wayang

23 Juni 2011   06:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:15 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Eko Prasetyo Dharmawan
Staf peneliti pada Pusat Kajian Wayang dan Indonesia (PUSKAWI) Jakarta

The eager multitude will sit listening with raptorous delight and profound attention for whole nights to these rude dramas.
The History of Java (1817), Sir Thomas Stamford Raffles
* * *
Bayangkan bagaimana rasanya menonton film dengan cara menyaksikan bagaimana sang sutradara mengarahkan para pemainnya? Bisakah cara menonton yang demikian membawa kita tenggelam ke dalam suasana psikologis drama yang dikisahkan lewat film tersebut?

Hal yang sama juga berlaku saat menonton wayang. Adalah sangat berbeda jauh antara menonton wayang sambil menyaksikan bagaimana sang dalang memainkan wayang-wayangnya dan menonton bayang-bayang di depan layar. Menonton wayang sambil menonton dalang membuat kita lebih terpaku pada sang dalang, sementara dengan menonton di depan layar, kita tenggelam di dalam suasana imajinatif drama kehidupan di antara tokoh-tokoh wayang yang hanya bisa kita saksikan bayang-bayangnya di layar. Cahaya blencong memberikan aura magis dan mistis dalam diri penonton yang asyik menikmati drama kisah kehidupan yang ditampilkan. Sosok dalang tidak penting. Yang penting ialah aura magis dan mistis. Magis dan mistis di sini bukan dalam artian ilmu gaib atau ilmu hitam atau ilmu putih sebagaimana persepsi orang awam, namun dalam artian punya daya pesona seperti sihir dan membawa ruh ke dalam suasana batin yang lain. Itulah yang membuat penonton wayang di masa lalu menjadi tenggelam dalam drama wayang selama sepanjang malam, sesuatu yang terasa aneh bagi seorang yang terdidik dalam kultur Barat seperti Raffles.

Dengan menonton wayang lewat bayang-bayang yang terbentuk di layar, tokoh-tokoh wayang bukan lagi ada di dunia lain, tapi sama hidupnya dengan sang penonton. Tokoh-tokoh itu nyata, sangat nyata. Mereka bukan lagi tokoh dunia cerita, tapi adalah tokoh-tokoh realitas, realitas yang lebih riil daripada yang dialami oleh sang penonton. Menonton wayang di depan layar memungkinkan imajinasi dan jiwa para penonton terbawa jauh tenggelam ke dunia drama kehidupan para tokoh wayang. Tontonan macam apa yang bisa menghipnotis penontonnya hingga sanggup berjam-jama tenggelam menikmatinya? Sementara menonton film bioskop 2 atau 3 jam saja, kita sudah capek dan bosan. Jawabnya: hanya tontonan yang tak lagi dirasakan sebagai tontonan, tapi sebagai suatu kehidupan itu sendiri, kehidupan yang lebih murni. Murni bukan karena yang ada hanya hitam atau putih saja, namun murni karena memperlihatkan hakekat dari drama kehidupan setiap manusia, yaitu menegakkan dharma, menegakkan kebenaran.

Lewat menonton wayang, para penonton tak lagi sekedar menghibur diri karena bagaimana mungkin bisa menghibur diri selama sepanjang malam hanya duduk hening menyaksikan sebuah drama? Lewat menonton wayang, setiap penonton seperti kembali disadarkan bahwa ada sesuatu yang besar dan mulia dalam dirinya yang menunggu untuk diejawantahkan, yaitu ruh kepahlawanan. Menonton wayang adalah berkontemplasi menyadari kembali eksistensi dari potensi kepahlawanan dalam diri, potensi yang selama ini mungkin terlupakan karena tak ada yang mengingatkan. Drama wayang adalah api yang menghidupkan kembali kesadaran tersebut.

Sayangnya, seni menonton wayang seperti itu mulai dilupakan orang. Orang pun lebih ingat nama sang dalang ketimbang memimpikan tokoh-tokoh pewayangan. Wayang pun jadi hiburan, sekedar untuk menghibur diri. Kita memuji sang dalang yang pandai melawak, pandai melucu, pandai membuat carangan-carangan. Drama kehidupan pewayangan hanya menjadi latar belakang. Tak ada yang serius dalam wayang. Sebagaimana tak ada yang serius dalam sinetron.

Anehkah jika kemudian anak-anak muda bosan dengan dunia pewayangan? Bosan bukan karena drama wayang itu sendiri, namun karena tak pernah diajak untuk menemukan dirinya dalam drama pewayangan. Tak pernah diajak karena tak ada teladan hidup untuk itu. Memang ada banyak orang hafal cerita wayang, namun tak banyak orang yang membawa aura magis dan mistis drama kehidupan wayang itu dalam jiwa dan tindakannya sehari-hari. Dengan kata lain, tak banyak lagi jiwa ksatria dan pahlawan yang terejawantahkan meski berkali-kali menonton wayang dan hafal cerita wayang.

Drama wayang disusun oleh Empu-empu di masa lalu, dan kemudian juga dilestarikan oleh Sunan Kalijaga. Beliau semua adalah manusia-manusia bijaksana pada masanya. Dan seorang yang bijaksana tak mungkin mewariskan sesuatu tanpa makna dan fungsi yang besar buat moralitas dan spiritualitas masyarakatnya. Mengapa kita tak mencoba menangkap kembali apa yang sedang mereka simpan di dalam warisan bernama drama pewayangan dengan cara menonton wayang di depan layar dan lebih sibuk merenungkan drama kehidupan yang ditampilkannya ketimbang sibuk menebak-nebak siapa dalangnya dan kelucuan yang ditawarkannya?

Malang, 22 Juni 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun