Mohon tunggu...
Nina Mutmainah
Nina Mutmainah Mohon Tunggu... -

mahasiswa FISIP - UNTIRTA

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti dan Potret Demokrasi

27 November 2014   00:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:45 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik Dinasti dan Potret Demokrasi

Dalam sebuah guyon mengatakan, “Banten lebih pas disebut sebagai sebuah kerajaan daripadaProvinsi”. Tercatat ada 13 orang sanak famili Atut mulai dari anak, menantu, adik, hingga ibu tiri yang menjadi pejabat publik mulai dari anggota legislatif, anggota DPD, hingga wakil bupati. Lebih memprihatinkan lagi, Banten hanya salah satu dari beberapa kasus atau daerah di mana kekuasaan begitu mudah dibagi-bagi di antara anggota keluarga. Kita tentu tidak asing lagi dengan politik dinasti di Indramayu yang sudah bertahan selama 10 tahun, Iriyanto Mahfudz Shiddiq alias Yance mantan Bupati yang telah habis masa jabatannya tidak ingin membiarkan potensi politiknya berakhir dihari tuanya. Diam-diam Yance mempersiapkan sang Istri, Ana Sophana untuk menggantikannya. Sang anak Daniel Muttaqien juga telah sukses menjadi anggota legislatif. Begitu pula sama halnya dengan dinasti politik yang sudah terbangun selama bertahun-tahun lamanya di Banten.

Politik Dinasti yang tengah marak terjadi di Indonesia mencerminkan sistem monarki yang telah mengakar berabad-abad lamanya dalam setiap kerajaan yang ada di Indonesia telah menjadi watak, budaya, dan sekaligus cirikhas bangsa Indonesia.

Kita pun tak bisa memungkiri bahwa tak ada yang salah dengan naiknya keluarga dan kerabat politik tersebut ke kekuasaan. Mereka sama-sama bagian yang sah dari demokrasi. Mereka pun mengikuti segala aturan main yang ada dan hak dipilih mereka ialah bagian dari hak konstitusional.

Masalahnya adalah seringkali kita menemukan bahwa praktek politik dinasti seperti kasus Banten ini malah merugikan rakyat sebagai pemilik demokrasi. Selain kasus suap Wawan dan Atut, dapat dilihat dari data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Banten di tahun 2011 yang dikeluarkan BPS. Di bawah kepemimpinan dinasti Atut, IPM Banten berada di urutan ke-23, melorot dari peringkat ke-11 di tahun 2000, dan lebih rendah dari IPM rata-rata nasional. Bahkan kini lebih rendah dari seluruh provinsi di Jawa, Sumatra, Bali dan NTB. Sungguh miris melihat data ini jika kita mengingat potensi ekonomi Banten khususnya keunggulan geografis selain kekayaan alam tentunya.

Rendahnya kualitas pelaku politik dinasti disebabkan mereka tidak dipilih berdasarkan kapasitas dan program. Pada umumnya, mereka terpilih lebih karena popularitas dan kedekatannya dengan Pimpinan dinasti tersebut. Nah apabila penunjukan calon itu lebih kental karena kekarabatan dengan mengabaikan kompetensi maka inilah pola dinasti salah kaprah.Kemudian dalam proses pemilihan suara bermain lagi dengan money politik maka Dinasti itu 1000 % akan terwujud. Inilah yang terjadi di Propinsi Banten yang pada masa jabatan Presiden SBY sempat di sindir. Apa jadinya suatu daerah bila dipimpin oleh pejabat yang tidak memiliki kompetensi dan tentu niat mempertahankan dinasti menyebabkan mereka melakukan pelanggaran pengelolaan anggaran alias korupsi, contohnya yang baru terjadi beberapa waktu yang lalu dan cukup menggemparkan yakni Ratu Atut Choisyah yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Banten, ditetapkan sebagai tersangka kasus suap sengketa pilkada dan suap MK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebenarnya sah-sah saja dengan Politik Dinasti apabila yang bersangkutan memiliki kompetensi. Tetapi dalam realitanya cenderung nihil dan dipaksakan sehingga terkesan hanya memiliki tujuan untuk melanggengkan kekuasaan dan meraup proyek-proyek pemerintah. Dengan demikian, calon-calon pemimpin yang kompeten akan sulit untuk bersaing, dan demokrasi yang benarpun akan terhambat dan sulit dijalankan. Di sinilah terjadinya distorsi demokrasi yang tidaksepandangan dengan kehendak rakyat pada umumnya. Politik dinasti bila dibiarkan, maka akan semakin menggurita sampai ketingkat paling bawah, sehingga mengakar semakin kuat dengan mengatasnamakan demokrasi terselubung.

Tercapainya tujuan berdemokrasi adalah satu satunya cukup dengan masyarakat yang siap berdemokrasi, yaitu orang-orang yang berdemokrasi dengan dilandasi pertimbangan nilai, rasionalitas, dan ketaatan hukum. Tetapi, demokrasi macam apa yang kita harapkan dari pemilih-pemilih yang rela menjual suaranya hanya demi sesuap nasi? Pemimpin yang bagaimana yang kita harapkan jika mereka terpilih hanya karena wajahnya seliweran dan terpampang di baliho-baliho dan banyak dilihat?

Pertanyaannya apakah kita harus menunggu dulu masyarakat pintar baru berdemokrasi? Tentu ini bukan pilihan yang di inginkan. Justru demokrasi ini dipilih sebagai cara mencapai keadilan dan kemakmuran.

Demokrasi kita masih jauh dari ideal, tapi kita tidak boleh berhenti mencoba dan belajar. Saya percaya bahwa tidak semua yang terlibat dalam politik sudah menjadi kotor. Masih banyak pembaharu-pembaharu yang terlibat aktif dalam politik. Tantangan mereka adalah bagaimana mengambil inisiatif dan melakukan terobosan-terobosan dalam meraih simpati masyarakat.

Kini saat nya juga mari kita pertimbangkan efek negatif dari merebaknya politik dinasti ditengah arus deemokrasi yang kebablasan, karena dalam politik hal ini tentu menjadi hal yang sah dan boleh dilakukan oleh siapapun, namun apakah dalam teorinya hal ini memberikan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat Indonesia? Tentu saja tidak.

Oleh: Mutmainah

Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik - UNTIRTA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun