Mohon tunggu...
Farid Muhammad
Farid Muhammad Mohon Tunggu... penikmat kopi dan buku -

read, share, happy...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Banda", di Antara Historisitas dan Sakralitas

18 Agustus 2017   14:36 Diperbarui: 18 Agustus 2017   16:36 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

             Film Banda, The Dark Forgotten Trail (TDFT) tiba-tiba menjadi fenomenal, dikomentari positif para tokoh nasional, dipuji para sutradara kawakan, disukai netizen dan kaum muda antusias. Memang tidak diragukan, karena cerita TDFT ini sangat kaya. Bukan hanya soal sejarah, tapi juga budaya, pariwisata laut, pendidikan, dan masih banyak lagi. Lewat racikan sutradara Jay Subyakto, dokumen sejarah Banda yang tertimbun lama seperti hidup lagi. Benteng, rumah-rumah tua seperti berbicara vis a vis penonton. Plus, suara khas Reza Rahadian, sebagai narrator  yang berhasil menuntaskan ceritanya dalam durasi 90 menit. Bikin hati para wanita remuk-redam mendengarnya.

Buat khalayak umum, film ini ibarat hidangan lezat dan nikmat. Karena cerita dan gambarnya yang menarik dan informatif. Siapa yang tidak penasaran dengan kisah tentang kepulauan rempah yang dulu jadi incaran bangsa dunia tapi kini terlupakan? Pulau-pulau yang dulu ingin dituju oleh Columbus tapi gagal lalu justru ketiban benua tersohor Amerika! Pulau yang didalamnya tersembunyi sebuah tragedi kekejaman Jan Pieterszoon Coen sebelum dirinya membangun kota Batavia dengan megah! 

Historisitas yang belum lengkap

Tapi bagi para pembaca sejarah lokal, khususnya sejarah Banda Naira, film ini belum pas sebagai sebuah historisitas. Setidaknya karena dua alasan, pertama masih ada matarantai sejarah yang terputus-putus. Dan kedua,belum tampak sisi perlawanan rakyat Banda, yang didalamnya tersimpan nilai-nilai semangat juang para leluhur. Historisitas peristiwa, hemat saya, mengandaikan dua entitas ini. Tanpa itu, sejarah penjajahan tidak akan mengatakan apa-apa selain duka nestapa. Buat penonton awam, yang membekas hanya kesan tentang rakyat tempo doloe yang sengsara. Minim lesson learnedkepada generasi muda.

Padahal, kalau saja film ini menguak narasi sejarah yang utuh, akan muncul banyak hal menganggumkan lainnya. Ambil saja konteks kekejaman Jan Pieterszoon Coen, meski dia berhasil menuliskan cerita hidupnya dengan darah rakyat Banda, tapi Coen butuh hampir 3 bulan lamanya untuk menaklukkan pulau-pulau kecil itu. Dalam rentang masa itu, Coen ternyata menderita kerugian besar; tenggelamnya kapal-kapal perangnya dan terbunuh para tentaranya. Heroisme rakyat Banda melawan VOC tampak dalam perang gerilya di hutan-hutan dan di tebing-tebing tinggi. Juga berani menghadang armada laut kompeni VOC hanya bermodalkan perahu sampan (kole-kole). Ini terjadi saat rakyat berkoalisi dengan Inggris melawan Belanda mempertahankan Rhun, pulau yang dalam sejarah tidak pernah ditaklukkan VOC kecuali lewat meja perundingan di Breda tahun 1667.

Perlawanan sporadis rakyat Banda sekaligus menjawab alasan mengapa VOC harus membangun 12 benteng di pulau-pulau kecil itu. Fakta ini buka sekedar untuk mengatakan begitu pentingnya buah pala Banda bagi VOC, tapi sekaligus juga menunjukkan betapa sulitnya Belanda melawan rakyat Banda saat itu.

Perjuangan rakyat Banda memunculkan figur-figur besar yang sampai hari ini dikenang orang Banda melebihi pahlawan nasional, diantaranya; Kalabaka Maniasa, VOC memanggilnya dengan sebutan Yongheer Dirk Callenbacker, adalah seorang peranakan Banda-Belanda yang berani mendatangi Coen di atas kapalnya dan berdiplomasi sebelum tragedy Mei 1621. Pasca tragedy, muncul sosok perempuan bernama Bhoy Kherang. VOC memanggilnya sebagai Lady Admiral, adalah seorang putri Raja Lautaka (salah satu distrik di Banda) yang memimpin pasukan perang yang terdiri dari kaum ibu-ibu pasca terbunuhnya laki-laki Banda di masa Coen. Dari Bhoy Kherang, dunia akan tahu, bahwa emansipasi wanita di Indonesia bukan baru terjadi pada masa Kartini di Jawa, tapi dari Bhoy Kerang di Banda!

Memasuki abad ke-19, lahir dari rahim tanah Banda seorang peranakan Arab-Spanyol-Cina bernama Said Baadilla yang dipanggil "Tjong". Dia seorang saudagar terkenal yang dijuluki "raja mutiara". Tjong sangat disegani Belanda. Begitu hebatnya, Tjong pernah menghadiahkan Raja Turkey Usmani dengan mutiara sebesar telur burung unta. Dari kebaikan hati Tjong itu berbalas anugerah sang raja Turkey yang memberinya gelar "Efendy" atau setara pangeran.

Di abad ke 20, barulah hadir para tokoh proklamator bangsa. Bagian ini cukup berhasil ditampilkan fil TDFT lewat visualisasi gambar berpadu adegan anak-anak kecil yang datang menyapa Bung Hatta. Atau Sjahrir yang dekat dengan para pemuda. Namun sungguh disayangkan, alur ceritanya melompat sampai terkupakan sosok yang sama pentingnya, yaitu Des Alwi. Buat saya,  faktor Des terlalu penting untuk diabaikan. Bahkan nyaris tidak lengkap menyebut-nyebut Banda tanpa peran Des. Bukan hanya karena Des adalah anak angkat "Om Kacamata". Tapi karena tanpa Des, dunia akan kehilangan Banda!

Dari pikiran Des lahir buku-buku yang menjembatani pengetahuan masyarakat Banda dengan kegemilangan masa lalunya. Dari tangan Des terabadikan sejumlah bangunan tua dan benteng-benteng colonial. Dari peran Des, wangi semerbak pala Banda tercium sampai hari ini. Des lah penemu plasma nutfah pala. Des juga penemu karang laut yang oleh Unesco diabadikan dengan sebutan "Acrapora Des Alwi". Des juga pengoleksi pita-pita film dokumenter sejarah kolonial Indonesia. Terlalu besar hutang bangsa ini kepada sosok Des. Lebih-lebih Banda Naira. Sungguh sayang jika film sebagus ini harus "melupakan" Des.

Sakralitas Banda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun