CINTA...
Hanya satu kata...
Tapi dari situlah aku mulai merangkai segenap penyesalanku pernah mengenal orang seperti dirimu.
Aku mencintaimu, sungguh aku sangat mencintaimu. Tapi itu dulu saat kamu masih seperti malaikat. Ketika segala yang kau buat dan kau katakan seolah menjanjikan padaku bahwa surga hanya sejengkal dari tempat kita berpijak saat itu. Ketika segala yang kau janjikan kepadaku terdengar lebih merdu dan indah dari nyanyian malaikat.
Ketika semua itu terdengar begitu menghanyutkan dan menggiurkan. Tapi semuanya kini berubah. Semuanya menjadi berbanding terbalik. Jika saja aku meninggalkan dunia ini dan Tuhan memutuskan bahwa aku harus menjadi penghuni neraka, maka penyesalanku akan semua dosa-dosaku takkan sebesar penyesalanku pernah mengenal dirimu.
Perkenalan kita berjalan dengan sangat wajar. Berawal dari pertemanan yang selalu menghasilkan debar-debar yang kemudian aku tahu itu disebut rindu. Yang kemudian debar-debar itu menjadikan sehari bersama seolah takkan pernah cukup untuk melupakan perasaan di dada. Kita selalu membutuhkan sehari lagi dan lagi.
Hari-hari yang tak pernah cukup itu kemudian mencairkan debar-debar itu yang kemudian aku tahu disebut cinta. Yang menjadikan kebersamaan kita semakin indah dengan hadirnya cinta yang menggebu-gebu dan seolah takkan pernah usai. Yang seolah membuktikan padaku apa yang selalu orang-orang katakan bahwa cinta itu indah dan menghanyutkan.
Tak ada yang dapat memberikan penjelasan tentang apa yang kita rasakan saat itu. Yang aku tahu adalah bahwa aku membutuhkan dirimu, dan akan selalu membutuhkan dirimu. Aku tak mengerti mengapa aku mencintai dirimu. Aku tak tahu apa yang membuatku menginginkan dirimu. Karena yang aku tahu, aku mencintaimu karena aku memang mencintaimu.
Tak ada alasan yang dapat menjelaskan secara rinci apa itu. Karena kamu seperti malaikat dan aku seolah melihat Tuhan yang aku puja ada di dalam kamu. Kamu begitu indah. Mungkin itu alasan yang dapat aku katakan untuk mewakili isi hatiku. Tapi toh itu saja tak akan pernah cukup. Karena memang aku tak punya alasan.
Aku tak mengerti, mungkinkah kamu pun tak punya alasan untuk mengakhiri semuanya. Untuk mengakhiri hubungan yang telah dengan susah payah kita rangkai. Aku tak tahu dan sunggu tak tahu. Yang ku tahu bahwa kau telah menyebabkan hidupku yang indah hancur berantakan dan kau telah mengirimku ke lembah kematian kala itu.
Pilar-pilar cinta yang pernah kita bangun seolah runtuh dan menimpahku. Janji-janji yang pernah kau ucapkan padaku seolah menguap begitu saja. Kau telah membuat semuanya hancur tatkala aku sedang berjalan diatas jembatan pelangi yang pernah kau buat untukku.
Kau tak merasakan sakit seperti yang ku rasakan. Entah hatimu yang dari batu, entah iblis yang ada didalam hatimu. Aku tak tahu dan tak mau tahu lagi tentang dirimu. Seenaknya kau berlalu bersama perempuan lain. Wajahmu begitu berbinar-binar menunjukkan betapa bahagianya dirimu. Mungkinkah benar seperti yang orang bilang cinta tak harus memiliki? Bahwa cinta yang hakiki adalah ketika kamu masih bisa tersenyum bahagia untuk kebahagiaan orang yang kamu sayang walau itu menyakiti hatimu.
Ah, persetan dengan orang lain dan apa yang mereka katakan. Mereka tak merasakan sakit seperti yang aku rasakan. Mereka cuman pandai berkata-kata agar disebut bijaksana.
Mungkin kau melihatku sangat wajar menghadapi ini semua, tersenyum dan selalu menanggapi curhatanmu tentang kekasih barumu. Ya, aku berusaha terlihat tegar dihadapanmu, menyembunyikan perasaanku dan mengeluarkan senyum terbaikku. Selalu bersikap wajar. Wajar sewajar mentari yang selalu terbit di timur dan terbenam di barat.
Tapi kau tak tahu bahwa dalam hatiku, telah tumbuh kebencian yang begitu besar padamu. Menjadikan hatiku gelap pekat dan tak ada cahaya yang mampu meneranginya lagi. Menjadikan hatiku menjadi sarang iblis paling jahat yang ada diangkara murka ini.
Kala malam, aku selalu mengingat tentang dirimu, tentang apa yang baru saja terjadi diantara kita dan selalu aku tersenyum mengingat hal itu. Tapi seperti yang pernah ku katakan itu dulu. Engkau kini hanya bagian dari masa laluku. Masa lalu yang pernah dengan sepenuh hati ku cintai, masa lalu yang selalu kurindukan ditiap malamku. Masa lalu yang kini menjelma menjadi seluruh kebencianku. Masa lalu yang ku benci dengan sepenuh hatiku.
Aku mungkin harus berterima kasih. Entah pada Tuhan entah pada iblis manapun yang telah menyusup masuk didalam hatiku. Yang menjadikan kebencianku pada dirimu semakin sempurna. Yang menjadikan diriku, diam-diam menyisipkan namamu kedalam tiap sumpah serapah yang dipikirkan hatiku dan dikeluarkan mulutku. Dalam setiap desah napasku kusisipkan sumpah serapah tuk dirimu. Aku mungkin kan menjadi roh gentayangan yang kan membalas dendam pada tiap orang yang pernah ada hubungannya dengan dirimu.
Aku membencimu karena kepergianmu meninggalkan duka yang begitu dalam dihatiku, yang meninggalkan luka yang begitu perih dihatiku. Dan kebencian ini semakin lama semakin dalam meninggalkan goresannya dihatiku. Karena sikapmu yang seolah tak pernah terjadi apa-apa antara kita. Kau datang dan pergi dari hari-hariku, seolah kau malaikat. Kini aku baru sadar dulu pesona malaikat mu yang membuatku terjatuh dan terhanyut, tapi kini semuanya takkan ada lagi. Semua sikapmu membuatku membenci dirimu. Semua alasan yang membuatku membencimu kini menguap dan menjadikanku membencimu tanpa alasan.
Ya, aku membencimu tanpa alasan dan takkan butuh alasan lagi. Seperti halnya aku dulu yang mencintaimu tanpa alasan kini aku membencimu tanpa alasan lagi. Akhirnya aku sadar, benar kata orang bahwa cinta dan benci itu beda-beda tipis. Benci bisa jadi cinta dan cintapun bisa jadi benci. Setiap malam akan ku untai sebait doa untuk dirimu. Doa yang tak tahu akan ku panjatkan pada siapa. Atas nama sakit hati dan pengkhianatanmu, semoga semua hal terburuk yang tak pernah terbayangkan menimpa dirimu dan mengakibatkan dirimu hidup dalam penderitaan terberat yang akan merongrong seluruh hidupmu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI