Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Makna Tua dalam Budaya Madura

17 Juni 2012   12:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:52 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13399369841656767581

[caption id="attachment_188699" align="aligncenter" width="263" caption="uniksaja92.blogspot.com"][/caption]

Benarkah tua menunjuk pada umur? Ya, jika dilihat lamanya ia hidup. Secara lahir, tua memang dihitung dari umur. Orang Madura punya lelucon untuk memplesetkan orang yang tua umurnya, “banyak abi’na pananggalan.” Ungkapan ini secara harfiah berarti “banyak menghabiskan kalender”. Maksudnya, orang yang sudah tua telah melewati berpuluh-puluh kalender, sebagai penanda bahwa ia sudah berpuluh-puluh tahun hidup.

Tua juga menunjuk kepada orang yang menikah dan telah punya anak. Makanya disebut “orang tua”. Jadi, meski umurnya 20-an, kalau ia menikah dan dikarunia anak, pasti ia dibilang orang tua. Apalagi anaknya banyak. Orang tua berlapis-lapis namanya. He..he..

Tetapi cukupkah dua itu sebagai penanda ketuaan? Bagi orang Madura tidak. Tua karena umur atau tua karena memiliki anak, bukan berarti ia sudah dikatagorikan “tua”. Karena tua juga menunjuk pada “ketuaan” [lebih tepat kedewasaan] berpikir. Makanya orang tua di Madura selalu berpesan kepada anaknya, “patowa pekkeranna” [dewasakan pikiranmu].

Jadi, bagi orang Madura, seseorang disebut tua, jika seseorang melewati fase kamatangan dan kedewasaan berpikir. Dari kedewasaan berpikir ini akan lahir kematangan bersikap. Tidak keburu mengambil kesimpulan, tidak bertindak atas dasar nafsu, dan tidak gegabah melontarkan ucapan. Sikap dan ucapan yang keluar harus didasarkan atas proses kedewasaan berpikir.

Nah, karena itu ada tiga proses untuk benar-benar dikatakan tua. Menurut orang Madura seseorang dikatakan tua apabila melewati fase-fase yang menyita kemampuan mengelola emosi. Apa itu?

Pertama, seseorang dikatakan tua jika sudah melewati fase menikahkan anak. Yang memiliki pengalaman menikahkan anak pasti bisa bercerita bagaimana “ruwetnya” proses pernikahan, mulai melamar hingga resepsinya. Pernikahan tidak sekedar memakan biaya besar, tetapi juga pikiran.

Kedua, melayani orang tua [bukan dalam soal biaya] ketika berangkat haji. Naik haji bagi orang Madura adalah peristiwa penting. Bahkan ibarat “perang”. Butuh kekuatan fisik, spiritual, emosi, dan biaya bagi orang yang naik haji. Sementara bagi anak yang melayani di rumah tak kalah “ruwetnya”. Karena orang naik haji sudah dipersiapkan 40 hari menjelang naik, dan 40 hari setelah kedatangannya. Soal “capeknya” orang Madura naik haji, saya sudah menuliskannya di kompasiana ini [Orang Madura Naik Haji].

Ketiga, kehilangan orang tua karena meninggal. Dalam tradisi orang Madura, masa orang [tetangga/saudara/kenalan] melayat terhitung sejak 1-7 hari. Selama 7 hari, ahli waris, tidak boleh jauh-jauh keluar rumah. Kadang jika ada orang meninggal, jumlah pelayat bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Tentu ketika melayat, ada ‘suguhan’ bagi yang melayat. Yang sederhana bisa kopi atau teh. Tetapi di daerah saya disedekahi makan.

Kehilangan orang tua, berarti penegas bahwa anaknya harus menjadi tua. Anak yang ditinggal jika memiliki masalah tidak bisa berembuk lagi dengan orang tua. Anak harus berpikir sendiri. Meski anak punya saudara, tentu anak tidak begitu mudah terbuka, semudah kepada orang tuanya.

Nah, jika ada orang yang sudah melewati fase itu menurut orang Madura, baru benar-benar disebut tua. Tetapi jangan salah tafsir, tidak berarti orang untuk jadi tua harus melewati fase itu. Tidak. Sama sekali tidak. Maksudnya, orang yang pernah mengalami 3 fase itu, berarti telah melewati tiga fase “krusial” yang membutuhkan kematangan emosi dan kedewasaan berpikir. Jadi substansinya, kembali ke ungkapan di atas, “patowa pekkeranna” atau “dewasakan pikiranmu”.

Matorsakalangkong

Sumenep, 17 juni 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun