Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kerja Keras Itu Milik Orang Kecil

23 Mei 2012   04:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:56 2804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_183143" align="aligncenter" width="448" caption="senyum dalam keuletan (dok.pribadi)"][/caption]

Jika pak Dahlan Iskan selalu mengobarkan semangat kerja.kerja.kerja, itu menunjukkan bahwa umumnya di lingkungan BUMN dan birokrasi etos kerjanya lemah. Letoy. Mereka umumnya diracuni cara pikir, "ngapain kerja keras, kerja sekenanya saja gua dapet gaji".

Sebenarnya kalau mau jujur, kerja keras itu milik orang kecil. Milik orang pinggiran. Mereka ini bertebaran jumlahnya di pelosok negeri yang katanya kaya ini. Setiap hari mereka lalui hidup dengan membanting tulang. Kerja.Kerja.Kerja. Mereka bekerja sungguh-sungguh. Dan tak pernah mengeluh.

Sosok Ibu Hudaifah

Saya hidup di pedesaan. Di sebuah kabupaten yang katanya kaya migas, dengan kekuatan APBD lebih dari 1 triliun 200 milyar. Tetapi angka-angka dalam APBD itu kurang bermakna bagi orang-orang kecil seperti ibu Hudaifah, ibu paruh baya dengan dua anak. Tetapi toh ia tidak mengeluh. Setiap hari ia tetap melakoni hidupnya.

Sehabis subuh, ketika terang matahari masih belum meyentuh tanah, ia sudah berangkat dari rumahnya ke rumah tetangga saya. Ia bekerja sebagai tokang amassa' (juru masak) pada tetangga saya yang punya usaha pembuatan kerupuk.

Dengan cekatan ia memulai pekerjaannya. Di depannya, satu bak besar adonan tepung menunggunya. Ia pun menuangkan adonan tepung itu dalam nampan-nampan berbentuk segi empat dan mencelupkannya ke dalam kuali besar yang berisi air di atas tungku. Sesekali ia menyorongkan kayu, agar api terus menyala. Tetapi nyala api tidak boleh terlalu besar, juga tidak boleh terlalu kecil. Karena air dalam kuali harus dijaga tingkat kepanasannya.

Sambil mengisi nampan dengan adonan tepung, tangannya bergerak cepat mengangkis nampan lainnya yang sudah matang dari kuali. Satu nampan ia angkat, nampan yang lain ia celupkan. Hasil adonan tepung yang sudah matang kemudian ia tumpuk membentuk lapisan-lapisan. Ketika lapisan sudah dianggap cukup, pekerjaan selanjutnya adalah mengiris lapisan adonan tepung menjadi krupuk sesuai bentuk yang diinginkan. Dan pekerjaan mengiris ini sudah menjadi tanggung jawab orang lain.

Ibu Hodaifah bekerja sejak jam 5 pagi hingga jam 1 siang. Kadang lebih. Ia bekerja sebagai juru masak krupuk dengan berdiri, karena pekerjaannya memang tidak memungkinkan untuk duduk. Selama 7-8 jam ia harus berdiri di dapur menghabiskan se bak besar adonan tepung untuk digodok sebelum diiris-iris dalam bentuk krupuk.

Berapa ia memperoleh imbalan dari pekerjaannya? Imbalan dihitung dari banyaknya bak adonan. Per bak besar, ibu ini memperoleh 8 ribu rupiah. Setiap hari ia menghabiskan 2 bak besar. Berarti perhari ia memperoleh 16 ribu.

Uang sebesar itu bagi sebagian orang tak ada artinya. Tapi bagi ibu ini? tentu sangat bermakna. Meski sangat kecil, ia peroleh uang itu dengan terhormat. Dengan kerja keras. Dengan halal. Dan dari uang itu juga ia tetap menyekolahkan dua anaknya. Yang sulung, laki-laki, sudah kelas XI di madrasah aliyah tempat saya mengajar. Yang bungsu, perempuan, masih kelas 1 MI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun