Kata “tabassumuka” adalah istilah Bahasa Arab yang berarti Senyummu, yang memiliki variable makna yang beragam. Senyum merupakan artikulasi dari penjiwaan dari seseorang yang mendapatkan kesenangan atau kegembiraan.
Seperti ketika seseorang mendapatkan bonus atau gaji, maka tersungginglah sebuah senyuman sebagai luapan kegembiraan karena itulah yang ditunggu-tunggu selama 1 (satu) bulan bekerja.
Dalam perkembangannya artikulasi senyum memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Ibarat pisau bermata dua, senyum bisa berarti respectable seseorang kepada kita, akan tetapi senyum juga berarti Luka.
Maka ada istilah “senyummu adalah lukaku”, sebagai ungkapan bahwa orang lain tidak punya arti apa-apa alias kita anggap remeh atau kecil. Dan ini yang sebenarnya tidak kita harapkan, karena bahasa tubuh kita menggambarkan siapa kita dan apa mau kita.
Bahkan ada orang yang dibayar hanya untuk bersenyum ria, seperti kita jumpai pada pintu masuk hotel, restoran dan tempat-tempat lain yang memang hanya “menjual senyum” terutama bagi mereka yang bergerak di bidang jasa.
Senyum merupakan modal utama kita, agar setiap orang yang kita jumpai memiliki respon yang sama dengan kita. Bayangkan, seandainya didunia ini yang kita jumpai orang-orang berwajah serius, tegang, stress, lesu apa jadinya. Bahkan di Jepang dan di negara-negara maju lainnya, ada pelatihan khusus hanya untuk tersenyum.
Senyuman memang terlihat remeh, tapi memiliki makna yang sangat penting bagi siapa saja yang memasuki pintu pergaulan di level mana pun. Bahkan biar situasi tidak tegang dalam aktifitas rutin kita, seringkali dibutuhkan jok-jok untuk sekedar menyegarkan suasana.
Bahkan senyuman merupakan kecerdasan tingkat tinggi terutama bagi kalangan intelektual ketika mampu menerjemahkan “bahasa-bahasa berat” menjadi ringan dan enak didengar.
Kita pernah memiliki seorang Gus Dur yang kaya dengan bahasa jok untuk membuat orang terpingkal-pingkal. Bahasa yang jlimet dan berputar-putar, dikemas dan dibungkus hanya dengan “gitu aja kok repot”.
Karena menjadi kebiasaan kita, biar terlihat pintar kita memakai bahasa-bahasa yang susah dimengerti oleh orang lain. Dan kata orang bodoh, “dia hebat ya sampai-sampai bahasanya tidak bisa aku mengerti”.
Dari sinilah, apa bedanya “orang pinter” dan “orang bodoh”. Kenapa bahasa orang bodoh terlihat lebih simpel dan mudah dimengerti dibanding dengan orang (ngaku) pinter yang terlihat susah dimengerti dan berputar-putar.
Inti komunikasi adalah bagaimana orang lain mampu menangkap pesan yang ingin kita sampaikan kepada orang lain. Dan itu hanya terjadi ketika orang memiliki daya tangkap sesuai dengan bahasa “kaum” mereka. Oleh karenanya, kita dituntut mengerti “bahasa ibu” untuk memberitahu kepada orang yang kita ajak bicara. Karena hanya ibu yang mengerti bahasa bayinya ketika si bayi meminta sesuatu.
Begitu juga bahasa senyuman harus mampu diterjemahkan kepada siapa saja , dan lebih wajib lagi bagaimana orang lain bisa tersenyum dan merasakan kebahagiaan seperti kita. Dan pertanyaannya kemudian bagaimana orang lain bisa tersenyum dengan kita?....
Sebagai makhluk sosial, senyuman menjadi tuntutan agar kita hidup berjalan dengan seimbang. Senyuman bisa dengan harta, tenaga, fikiran, ide dan gagasan atau segala macam tindakan yang membuat orang lain bisa tersenyum.
Atasan senyum kepada karyawannya karena ia rajin dan disiplin, Si kaya senyum ketika mampu berbagi kepada fakir-miskin, rakyat bisa tersenyum ketika melihat pemerintah mampu menjalankan amanat yang diberikan, si bodoh bisa tersenyum ketika setiap pertanyaannya mampu dijawab sama sipintar dan begitu seterusnya. Dan saat ini yang menjadi tugas utama kita bagaimana “ DUNIA BISA TERSENYUM” karena kita memang tercipta pun dari hasil senyuman manis dari bapak ibu kita.
Salam dan maaf.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI