Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Indonesia, Macan yang Tertidur (43)

17 Mei 2021   15:24 Diperbarui: 17 Mei 2021   15:27 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seiring semangat kebangsaan yang tercetus dasawarsa 1920-an, Ir. Soeratin Sosrosoegondo mendirikan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk mewadahi kegiatan sepakbola di nusantara sekaligus menjadi salah satu alat perjuangan bangsa. Tanpa inisiatif tersebut, sepakbola Indonesia tidak pernah dikenal di zaman kolonialisasi karena terkotak-kotak ke dalam berbagai bond sepakbola lokal.

PSSI mulai dikhawatirkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagai bentuk upaya menandingi kekuatan PSSI, didirikan Nederlandsh Indische Voetbal Unie (NIVU) pada 1936. Menjelang Piala Dunia Prancis 1938, dibuatlah perjanjian antara kedua pihak untuk mengirim tim perwakilan. Namun, karena tidak menghendaki bendera yang dipakai tim, Soeratin membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut. NIVU tetap mengirimkan tim ke Prancis dengan bendera Hindia Belanda. Tim tersebut adalah perwakilan Asia pertama sepanjang sejarah Piala Dunia.

Jejak Indonesia sebagai salah satu tim yang disegani di kawasan Asia pun dimulai. Sepakbola Indonesia memasuki periode keemasan disertai dengan sederetan pemain legendaris. Merah-Putih lahir pascakemerdekaan, seperti antara lain Ramang, Maulwi Saelan, Suardi Arland, dan Tan Liong Houw. Pada periode yang sama, Indonesia dilatih pelatih legendaris asal Yugoslavia, Tony Pogacnik.

Nama Indonesia mulai diperhitungkan di kawasan Asia. Merah-Putih sukses menembus semi-final Asian Games Manila 1954, namun kalah 4-2 dari Taiwan. Pada partai perebutan medali perunggu, Indonesia dikalahkan Burma (sekarang Myanmar) 3-2.

Pada Olimpiade Melbourne 1956, Indonesia juga mengirimkan tim sepakbola. Di babak perempat-final, Indonesia langsung menghadapi favorit juara Uni Soviet. Setelah sempat menahan imbang 0-0, Indonesia takluk 4-0 pada partai ulangan hari berikutnya. Prestasi ini kemudian selalu disebut-sebut sebagai sejarah tertinggi sepakbola Indonesia.

Di kancah Asian Games dua tahun berikutnya di Tokyo, Indonesia kembali gugur di babak semi-final dari lawan yang sama. Kali ini Taiwan lolos ke final setelah memenangkan pertarungan 1-0. Namun, Indonesia sukses membungkus medali perunggu dengan melibas India 4-1.

Kesempatan terbaik meraih medali emas muncul empat tahun kemudian ketika Asian Games digelar di Jakarta. Persiapan dilakukan dengan menyiapkan dua timnas -- satu terdiri atas pemain senior dan satu lagi dari para pemain muda. Sayangnya, ketika semangat mulai terbangun, timnas dihantam Skandal Senayan. Beberapa pemain diduga tersangkut penyuapan oleh bandar judi. Kekuatan Indonesia berkurang dan cabang sepakbola gagal total saat berlaga.

Indonesia sebenarnya juga berpeluang menembus kualifikasi Piala Dunia 1962. Setelah melewati hadangan China, Indonesia harus melewati Israel -- lawan yang sedang diboikot negara-negara Arab, termasuk Indonesia. Masalah politik terpaksa membendung ambisi masyarakat menyaksikan bendera Indonesia berkibar di Piala Dunia.

Hegemoni sepakbola Indonesia mulai beralih ke kawasan Asia Tenggara. Sebelum berpartisipasi dalam SEA Games 1977, Indonesia kerap berlaga di turnamen antarnegara, seperti Merdeka Games Malaysia, Piala Raja Thailand, Piala Aga Khan Bangladesh, atau President Cup Korea Selatan.

Setelah turun di pesta sepakbola Asia Tenggara itu, Indonesia harus menunggu sepuluh tahun sebelum meraih medali emas. Gol tunggal Ribut Waidi ke gawang Malaysia pada babak pertama di Senayan mengukuhkan nama Indonesia sebagai raja Asia Tenggara, 1987.

Setahun sebelumnya, Indonesia mengukir kejutan di Asian Games Seoul. Di bawah asuhan pelatih Bertje Matulapelwa, Indonesia meraih tempat keempat. Prestasi yang cukup menggembirakan juga diperlihatkan PSSI ketika dilatih Wiel Coever, pelatih dengan nama besar asal Belanda. Indonesia nyaris mengulang kegemilangan 20 tahun sebelumnya (1956 di Melbourne) ketika tahun 1976 mencatat hasil imbang 0-0 pada pertandingan noral dan 2 x 15 menit di Jakarta melawan Korea Utara. 

Di depan 120.000 pasang mata Indonesia telah menampilkan permainan terbaiknya di Grup II Asia. Indonesia sebelumnya merebut 1 angka tanpa gol atas Singapura. Lalau memetik kemenangan 8-2  atas Papua Nugini. Dalam pertemuan pertama dengan Korea Utara, Indonesia takluk 1-2. Namun dengan kemenangan 2-1 atas Malaysia Indonesia mampu menempatkan diri  di urutan kedua turnamen yang menggunakan sistem setengah kompetisi ditambah partai final, kembali menjajal Korea Utara. 

Untuk menentukan pemenang setelah bermain kacamata 0-0, maka ditempuh jalan adu penalti. Korea Utara merebut kedudukan 1-0 melalui petembak pertamanya, An Se Uk. Hasil ini disamakan Iswadi Idris 1-1. Tendangan Park Jo Hun berhasil ditepis Ronny Paslah yang berdiri di bawah mistar Indonesia. Tembakan Junaidi Abdillah berhasil mengunggulkan Indonesia menjadi 2-1. Hasil ini disamakan Ma Jung U, 2-2. Waskito mengantar Indonesia unggul 3-2. Namun disamakan lagi oleh Korea Utara melalui Yang Song Guk. Tendangan Oyong Liza berhasil ditepis kiper Korea Utara, kedudukan tidak berubah 3-3.

Korea Utara melalui petendang Kim Jong Min gagal menciptakan gol ketika tendangannya berhasil ditepis Ronny Paslah, kedudukan 3-3. Giliran Anjas Asmara maju menghadapi bola. Tembakannya berhasil ditangkap kiper Korea Utara, kedudukan tetap 3-3.

Giliran Korea Utara melalui petendang ke-6 mengubah kedudukan menjadi 4-3. Risdianto yang maju sebagai petendang ke-6, berhasil menyamakan kedudukan menjadi 4-4. Korea Utara kemudian mengirim petendang ke-7 Hong Song Nam yang ternyata berhasil menggetarkan jala Ronny Paslah.

Suhu perebutan gol kian meninggi. Ada beban psikologis dihadapi Suaeb Rizal yang menjadi petendang paling menentukan guna meraih tiket Olimpiade Kanada ini. Ternyata, tendangan Suaeb Rizal melenceng dari sasaran, bersamaan dengan Korea Utara unggul 5-4 atas Indonesia sekaligus meraih tiket ke Olimpiade Kanada 1976. Para pemain Indonesia, seperti diakui Suaeb Rizal kepada saya (penulis buku Ramang Macan Bola),tunduk tak berdaya dan menangis karena nyaris mengantarkan Indonesia mengulang sejarah Melbourne 1956. 

 Pada tahun 1986 Indonesia di bawah Sinyo Aliandoe mampu membawa Indonesia selangkah lagi ke Piala Dunia   Meksiko, namun harus mengakui keunggulan Korea Selatan dalam memperebutkan tiket terakhir jatah Asia. .

Prestasi Indonesia mulai menukik. Usai Ferril Hattu mengapteni tim memenangi medali emas SEA Games 1991, tidak ada lagi prestasi tinggi yang diraih Merah-Putih.

Terutama ketika mulai 1999, SEA Games diikuti tim U-23. Untuk tim senior Asia Tenggara, Piala AFF -- atau dulu dikenal Piala Tigers -- menjadi ajang prestise tertinggi. Prestasi Indonesia mentok di posisi runner-up. Catatan tersebut diraih tiga kali penyelenggaraan beruntun -- 2000, 2002, dan 2004. Tidak hanya posisi nomor dua, Indonesia menuai hujatan setelah pada Piala Tigers 1998 sengaja mengalah 3-2 ketika melawan Thailand. Pertandingan itu ditandai dengan gol yang disengaja Mursyid Effendi ke gawang sendiri.

Indonesia hanya mampu mencetak kejutan-kejutan yang hanya dapat dianggap sebagai prestasi minor belaka. Empat kali berturut-turut berlaga di Piala Asia, Indonesia hampir selalu menghadirkan kejutan.

Di Uni Emirat Arab 1996, Widodo Cahyono Putro mencetak gol spektakuler yang kemudian dinobatkan sebagai gol terbaik Asia tahun yang sama. Setelah melempem di Libanon 2000, Indonesia sukses membukukan kemenangan pertama di kancah pesta sepakbola tertinggi Benua Kuning itu. Qatar ditekuk 2-1, sekaligus membuat pelatih Philippe Troussier dipecat. Pada edisi terakhir di kandang sendiri, 2007, Indonesia sempat menang 2-1 atas Bahrain. Kalah di dua pertandingan selanjutnya atas Arab Saudi dan Korea Selatan, tapi seperti dimaafkan berkat penampilan yang penuh semangat.

Animo masyarakat pun melonjak tinggi. Prestasi boleh minim, timnas tetap dicintai. Apapun, catatan tersebut tak lantas menghilangkan seretnya prestasi sepakbola Indonesia. Sudah 17 tahun lebih Indonesia tak lagi meraih gelar bergengsi. Terakhir di Piala AFF 2008, Indonesia kalah tangguh dari Thailand di babak semi-final.

Macan yang dulu mengaum lantang di Asia itu kini sedang tertidur pulas. ( Agung Harsya, diunggah dari Google.com, 9 Juni 2010, pukul 23.20 Wita). (Bersambung).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun