Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Awasi Kesiapan Finansial Anda Hadapi Resesi 2020

3 Oktober 2019   17:39 Diperbarui: 4 Oktober 2019   12:32 1376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Gambar oleh Ahmad Ardity dari Pixabay

Perlambatan ekonomi sudah terlihat dengan jelas dengan adanya melambatnya proyeksi pertumbuhan ekonomi di 5 negara yang menjadi mesin penggerak perekonomian dunia seperti Amerika, Eropa, Jepang, Cina dan India.

Secara global, pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2019 sebesar 3,2 persen dan hanya meningkat terbatas menjadi 3,3 persen pada 2020. Sementara pertumbuhan ekonomi AS meningkat jadi 2,3 persen di tahun 2019 akan melambat 2,0 di tahun depan.

Pertumbuhan ekonomi domestik (Indonesia) diperkirakan mencapai 5,1-5,2 persen dan meningkat sedikit menjadi 5,3 persen.

Amerika telah mengantisipasi perlambatan ekonomi yang disebabkan perang dagang antara Cina dan Amerika dengan mengenakan biaya tarif impor tinggi atas produk Cina dan situasi yang tidak terselesaikan Brexit, ditambah dengan adanya pembakaran kilang minyak Arab Saudi di laut emirat Fujairah dan meningkat kekhawatiran akan terjadinya perang/ketegangan antara Amerika Serikat dengan Iran.

Manufaktur yang mengalami penurunan drastis karena tidak ada permintaan. Harga-harga komoditas mengalami anjok, seperti batu bara yang sangat terpuruk. Tidak adanya permintaan negara exportir untuk komoditas batu bara dan lainnya. Sektor manfaktur Amerika mengalami kontraksi terburuk selama dekade terakhir. Perang dagang dengan China membuktikan perkonomian AS memburuk.

Volume dan nilai perdagangan Indonesia tahun 2019 defisit sebesar Rp.127,5 triliun atau 0,79% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama di tahun lalu jumlahnya Rp.93,5 triliun. Defisit lebih besar ini menunjukkan bahwa ekonomi drop. Jika ekonomi membaik maka defisit mengecil.

Pelonggaran kebijakan moneter negara-negara maju dibuat agar mampu untuk menghentikan pelambatan yang semakin dalam. Bank Sentral Eropa telah menurunkan suku bunga penyimpanan dana perbankan sebesar 0,1 persen jadi minus 0,5 persen.

Demikian juga bank Sentral Amerika, The Federal Reserve, pun ikut menurunkan bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 1,75 persen.

Sementara Tiongkok melonggarkan kebijakan moneter dengan memangkas kewajiban bank untuk menempatkan dana cadangan dan menmbah likuiditas perbankan Tiongkok.

Meskipun Indonesia masih kebanjiran dana asing karena imbal hasil lebih besar di sini ketimbang di Amerika, tetapi violitas dana asing itu sangat tinggi. Jika suhu kondisi politik dan keamanan serta demo-demo terjadi maka dana asing itu akan terbang kembali ke negaranya.

Terakhir IHSG telah turun drastis pada awal perdagangan hari Kamis, tanggal 3 Oktober ke level 6,033.13. Titik terendah pernah mencapai 5,997.69. Ini pertama kali selama 6 bulan terakhir sejak Mei mencapai titik rendahnya. Saham-saham turun berguguran.

Kontrak kerja BUMN Infrastruktur/konstruksi seperti Adhi Karya dan PTPP menurun. Hal ini terlihat dari jumlah/volume pekerjaan maupun dari laba bersih yang dibukukan.

Contohnya PTPP dan Adhi Karya. Laba bersih PTPP pada 2018 hanya naik 3,44 persen. Demikian juga Adhi karya yang hanya 24,97 persen di tahun 2018.

Indikator penurunan ekonomi di pelbagai sektor telah terlihat dengan jelas seperti yang dijelaskan di atas. 

Akibat dari ekonomi yang melambat atau resesi terhadap warga atau masyarakat secara langsung adalah makin lemahnya nilai tukar rupiah.

Bahkan Moody sebagai institusi internasional dalam bidang keuangan mengatakan bahwa India dan Indonesia adalah negara yang paling rentan mengalami penurunan kapasitas pembayaran kembali utang korporasi.

Risiko ketidakmampuan membayar utang yang cukup tinggi itu akan membahayakan bank. Risiko ini akhirnya akan berdampak besar kepada kesehatan bank yang membiayai korporasi besar itu. Pada akhirnya akan berdampak berat bagi perekonomian nasional.

Bagaimana menyikapi resesi?
Beberapa pengamat mengatakan bahwa resesi tahun 2020 tidak akan seberat atau sebesar di tahun 2008. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat mempridiksi sebesar apa resesi itu akan terjadi dan kapan berakhirnya?

Bagi yang masih merasa milenial tentunya saat yang tepat untuk "grab" atau mencari pekerjaan baru yang punya pendapatan jauh lebih baik dari yang ada saat ini.

Milenial yang belum mampu untuk mengambil kredit rumah atau mobil, sebaiknya tidak melakukannya karena akan menambah beban keuangan yang mungkin fasilitas dan gaji tidak akan naik di tahun depan.

Bagi mereka yang hanya punya pensiunan atau tidak punya pekerjaan tetap, jangan mengambil kredit yang melebihi dari pendapatan tidak tetap dalam setahun.

Lebih baik siapkan diri dengan dana kas karena dengan kas kita bisa melewati masa krisis untuk membiayai hidup yang cukup ketat dan keras.

Bagi yang masih punya saham di bursa efek, sebaiknya lebih selektif untuk memilih saham yang fundamentalnya harus bagus dan secara teknikal harga saham murah (jangan overvalued).

Apabila mereka yang punya saham ini bisa mulai mengatur untuk menjual secara bertahap, mana yang masih layak dipertahankan dan mana yang harus dijual. Ketika dijual dan punya kas, Anda bisa membeli saham yang benar-benar dijual murah tetapi punya fundamental bagus.

Untuk mereka yang berbisnis, sisihkan profit atau keuntungan di dalam uang tunai saja, jangan ekspansi karena tidak ada permintaan yang besar pada saat resesi, justru permintaan akan turun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun