Di terik siang yang sangat menyengat itu, saya datang ke Bentara Budaya untuk menghadiri pameran batik peranakan dan tak show tentang perjalanan etnis Tionghoa dalam kancah budaya Indonesia. Acara ini diprakasai oleh Komunitas Lintas Budaya Indonesia.
Beruntung saya datang lebih awal dari jadwal talk show. Â Begitu masuk ke suatu ruangan joglo, saya terkesima dengan banyaknya batik-batik berupa kain yang digelar dengan pesonanya. Â
Kenapa bisa terjadi bermacam-macam motif batik di beberapa daerah?
Sebuah pemaparan dari Dr. Yudi Latif yang melihat bahwa budaya Cina atau Tionghoa itu jangan dianggap hanya satu budaya saja. Justru setiap budaya itu  memiliki keunggulan dan kelebihan. Masing-masing didorong untuk berinterakasi, bahkan ada yang mengkombinasikan budayanya dengan budaya setempat.
Istilah yang sangat populer disebut dengan "Akulturasi", yaitu  suatu perpaduaan dua budaya menjadi satu, timbullah budaya baru. Masing-masing budaya itu saling mempengaruhi dan berinteraksi dan berpadu tanpa meninggalkan budaya lamanya.  Â
Akulturasi adalah wajah Indonesia yang ada saat ini. Hal ini dapat dilihat dari warna warni peran Tionghoa dalam perjalanan budaya batiknya.
Pada suatu titik harmoni terlihatlah pusat persilangan antar budaya di antara bangsa yang terlibat dalam kawasan Mediterania. Ada berbagai elemen dalam kawasan Mediterania seperti  Indonesiasi, Arab, Barat dan Chinese.
Suatu harmonisasi yang terjadi ketika persilangan budaya itu terjadi. Mereka saling memberi, menerima. Ternyata hanya satu nebula yang tidak bisa dirubah yaitu orang Chinese. Mereka ini berlapis-lapis. Disebut berlapis karena ada beberapa ras yang meliputinya seperti ras mongoloid, ras papua, polynesia  Ini terjadi karena proses imigran yang berbeda.
Melayu Polynesia datang bergelombang, bersamaan juga dengan orang Chinese ke Indonesia. Khususnya untuk orang Chinese mereka hanya lelaki saja yang datang ke Indonesia. Â Mereka menikah dengan Melayu . Â
Dari hasil pernikahan campur itu sudah dapat dipastikan bahwa terjadi ras baru. Kesimpulannya tidak ada lagi orang Melayu asli atau orang Chinese asli. Mereka berbaur memiliki DNA yang juga punya darah berbagai macam ras.
Tantangan kedepannya adalah jangan menganggap sebagai seseorang dari satu suku bangsa merasa superior dari yang lainnya. Semuanya sudah jadi terintegral , tidak ada diskriminasi untuk membedakan satu suku dengan yang lainnya.Â
Diperlukan proses afirmasi untuk terus menghilangkan marginalisasi. Bagi kaum Tionghoa pun demikian juga mereka harus membaurkan diri untuk mengakui bahwa mereka bukan suku yang superior dalam ekonomi karena sebenarnya sudah ada proses perjumpaan yang ada antara beberapa suku dalam satu wadah. Bukan lagi minoritas atau mayoritas, tetapi konektivitas dan perjumpaang itu jadi penting adanya.
Dari Prof Ariel Haryanto , beliau sangat jelas mengatakan bahwa tema "Identity & Pleasure" dimaknai sebagai kaitan nasionalisme. Memiliki identitas suatu suku bukan berarti untuk melakukan diskriminasi atau reaksi terhadap diskriminasi. Tetapi justru sebaliknya bahwa identitas itu menjadi titik balik untuk mencari keseimbangan.
Contohnya tidak lagi memperdebatkan soal etnis siapa yang berhak untuk melakukan hak politik tertentu, tetapi lihatlah payung besarnya yaitu apa masalah di negera ini dan bagaimana mengatasinya. Bukan mempermasalahkan hal-hal fisik dan identitas yang sudah usang.
Cara pandang mengenai kebangsaan harus dibenahi:
Pandangannya harus secara alamiah. Konteks waktu yang jadi patokannya, apa yang akan dibuat untuk 200 tahun ke depan. Sesuatu baru bukan yang lama diungkit-ungkit kembali.
Yang sekarang berbeda dengan yang lalu. Kebangsaan itu nantinya adalah warisan untuk generasi yang akan datang. Bukan melihat ke belakang terus sebagai sesuatu ras yang istimewa. Kebangsaan juga dipahami sebagai proyek kerja "barang" atau kerja sama secara adil dan setara.
Sejarahwan, Didi Kwartanada lulusan Master dari Gajah mada ini sangat inspiratif dengan dokumen-dokumen kuno yang otentik tentang orang Tionghoa yang datang dari daratan China. Foto-foto menunjukkan hanya lelaki Tionghoa yang datang sebagai imigran di tanah Jawa, Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara. Mereka tersebar ke seluruh pelosok di tanah air. Mereka tak membawa istrinya yang ditinggalnya di China. Â
Pernikahan ras Tionghoa dengan ras Melayu melahirkan anak-anak yang punya pelbagai darah campuran. Â Sejarah pernikahan itu juga membawa bukti otentika bahwa orang Tionghoa yang berpangkat kapitan, mayor, letnan itu akhirnya membaur dengan suku bangsa setempat, Jawa, Arab dan laiinya. Â Â
Kemampuan untuk dagang dan membuat batik pun diwariskan kepada anak-anak ,cucu-cucu yang sampai sekarang ini sudah makin berkembang dengan corak dan motif yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Dokumen asli mulai dari tiket kapal perjalanan dari Tiongkok, sampai dokumen pernikahan dengan gadis lokal misalnya Jawa, Arab. Jadi istilah peranakan yang sering didengar itu berarti lahir dan orientasinya adalah Indonesia.