"Jika ingin melihat keadaan sebuah negara, lihatlah tayangan televisinya", kata seorang pakar. Dari sinilah kita bisa merangkai asumsi kita masing-masing tentang bagaimana keadaan negara kita sekarang ini. Dilanda berbagai isu, seperti isu agama, isu budaya, drama politik, bahkan maraknya pembunuhan dan kasus bullying ini telah mewarnai lembaran demi lembaran di negara gemah ripah loh jinawi ini. Isu-isu terus menjadi-jadi bahkan menjadi santapan lezat bagi pihak-pihak yang sengaja mencari keuntungan di dalamnya.
Mudahnya informasi yang bisa kita akses yang hanya melalui genggaman menjadi masalah tersendiri. Di satu sisi, kita dengan cepat bisa mendapatkan informasi tentang kejadian-kejadian yang ada di bumi Indonesia ini.Â
Di sisi lain, informasi-informasi yang belum dipastikan kebenarannya dengan cepat menjadi sasaran empuk para netizen. Akibatnya, cyberbullying telah menjadi hal yang wajar untuk dilakukan. Padahal jika terus dilanjutkan, bullying bisa menyebabkan kesehatan mental seseorang menjadi terganggu. Lalu, bagaimana sanggup kita memikul dosa hingga menyebabkan mental seseorang terganggu.
Belum lama ini, isu agama dan budaya menjadi salah satu isu yang hangat untuk dibicarakan. Beberapa kalangan bahkan mengaku menjadi orang paling 'benar' dan mengadu domba yang lainnya untuk turut andil dalam segala permusuhan. Bukannya memperkuat persatuan bangsa, hal ini malah menjadikan bangsa menjadi terpecah belah. Celakanya, orang-orang yang punyai niat tidak baik pun semakin memanfaatkan keadaan ini dengan terus memasak dan membumbuinya dengan berbagai macam dalih. Tak pelik, hal itu membuat hati saya terketuk untuk sedikit menuliskan 'kecemburuan'-Nya pada hamba-Nya.
      Tuhan benar-benar cemburu, bagaimana tidak, waktu yang harusnya menjadi milik-Nya, kini malah sibuk untuk bermain kata di media sosial.
      Ku rasa Tuhan memang cemburu, mati hati orang-orang telah tertutup, bahkan setelah Tuhan mengetuknya dengan kasih sayang yang begitu lembut.
      Bagaimana mungkin Tuhan tidak cemburu, kita semua dengan lalainya membuatnya murka tanpa peduli dengan 'perasaan'-Nya.
Orang-orang tanpa ragu menyulut api permusuhan tanpa berpikir cara untuk memadamkannya.
Oh Tuhan, jangan lagi kau hempaskan jari-Mu.
Kami tak kuasa menghadapi murka-Mu, ku mohon ampunilah kami dengan segala Rahman dan Rahim-Mu.
Tanpa henti manusia begitu sibuk dengan urusannya masing-masing dan kadang menjadikan Tuhan sebagai nomor dua di hatinya. Bagaimana mungkin Tuhan tidak cemburu dengan hal itu? Kita saja bisa sangat cemburu ketika orang yang kita cintai tidak mempedulikan kita, lantas bagaimana dengan Tuhan? Pemilik alam semesta pun dengan berani kita mengacuhkannya. Lalu di manakah setitik kehidupan yang penuh dengan cinta jika Sang Pemilik Cinta sendiri sudah tidak menjadi prioritas dalam hidup kita.