Mohon tunggu...
Dyah Pratitasari
Dyah Pratitasari Mohon Tunggu... profesional -

Full time Mama | Breastfeeding Counsellor | Serves Preggos | Holistic Life Runner | pritazamzam@gmail.com | FB: Dyah Pratitasari | Twitter: @PritaZamZam\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Mama Harus Menyetir Sambil Menyusui

4 September 2013   22:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:20 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1378310692197749375

Kantor saya terletak di kawasan Lebak Bulus. Sementara rumah saya, terletak di daerah Jagakarsa. Keduanya masih berada di wilayah Jakarta Selatan. Relatif dekat, memang. Sehari-hari, perjalanan berangkat - pulang saya lalui tanpa masalah berarti.

Hingga suatu hari,

Jakarta tiba di bulan Mei 2011. Saat itu, saya baru saja menamatkan jatah cuti melahirkan. Di saat yang sama, asisten rumah tangga mendadak pulang ke kampung halaman.

Mau menitipkan Jojo (yang saat itu baru berusia 2,5 bulan) dan Velma (5 tahun, kakaknya) ke day care, rasanya nggak tega. Terlebih, beberapa tempat penitipan anak yang letaknya di dekat rumah belum terbiasa memberikan ASI perah. Mau menitipkan mereka pada saudara juga tak mungkin, karena keluarga dekat saya maupun suami semuanya berdomisili di luar kota.

Alhasil, di hari pertama kembali bekerja, saya pun memboyong mereka berdua.

Perjalanan pergi ke kantor kami lalui tanpa hambatan. Jojo bobo sepanjang perjalanan. Sementara kakaknya sibuk bernyanyi, ditemani iringan lagu kesukaannya. Di kantor, mereka juga bisa diajak bekerjasama. Menjelang waktu pulang, semua pekerjaan selesai sesuai harapan.

Rupanya, tantangan baru dimulai ketika mobil kami keluar dari kompleks perkantoran. Langit petang gelap berawan, angin bertiup kencang, dan jalanan yang kami lalui telah dipadati oleh kendaraan. Perjalanan dari kantor menuju gerbang tol, yang biasanya hanya memakan waktu sekitar 5 hingga 10 menit, membengkak jadi hampir satu jam. Di dalam jalan tol, sejauh mata memandang hanyalah mobil-mobil yang berderet dengan rapat. Jalan tol yang saya lewati seolah sedang menjelma jadi area parkir.

Mobil kami hanya mampu melaju sejauh sepuluh-dua puluh senti. Baru mau menginjak pedal gas, eh... sudah harus mengerem lagi. Saat tiba di kawasan Fatmawati, lalu lintas tak bergerak sama sekali. Klakson mulai bersahut-sahutan tak terkendali. Hujan pun tercurah dari langit, deras sekali.

Dalam suasana gaduh dan dingin itu, yang saya khawatirkan sungguh-sungguh terjadi. Velma merengek kepingin pipis. Sementara Jojo nampak tak nyaman tidur di car seat, dan mulai menangis.

“Kakak tarik napas panjang, biar lebih rileks dan bisa nahan”

“Adek tenang, ya… sebentar lagi mobil jalan, terus kita sampai rumah, terus nanti Mama bisa gendong Adek”

“Kakak, tolong pindah duduk ke belakang supaya adek nggak ngerasa sendirian”

“Adek, tuh udah ditemenin Kakak tuh… Sabar ya…”

“Doa bareng-bareng yuk, biar jalannya lancar lagi”

“Kakak sama adik mau dengerin lagu apaaaa?”

Berulangkali saya berusaha menenangkan anak-anak. Berulangkali pula seolah ada yang mengingatkan, bahwa sesungguhnya yang perlu ditenangkan terlebih dahulu adalah diri saya sendiri. Saya mulai panik ketika Velma bilang bahwa ia sudah tak tahan lagi. Di saat saya semakin panik, tangis adiknya pun menjadi-jadi.

Tak lama kemudian arus lalu lintas mulai bergerak. Kendati demikian, saat saya berusaha meminggirkan mobil ke jalur kiri untuk berhenti dan menyusui, kendaraan di belakang tak kunjung memberi jalan. Berkali-kali saya mencoba memberi tanda, pengemudi itu tetap menolak. Ia bahkan menjejalkan moncong mobilnya semakin rapat. Seolah mendorong kendaraan saya untuk terus berjalan.

Merasa tak punya pilihan, saya pun nekat. Rem tangan saya tarik kuat-kuat, sabuk pengaman saya lepaskan, dan saya berusaha melompat ke jok belakang secepat kilat. Setelah Jojo sudah berada dalam pelukan, saya kembali lagi ke depan. Mengambil napas panjang. Merapalkan doa dengan tubuh gemetaran.

Tangan kanan saya memegang kemudi.

Tangan kiri saya menggendong bayi.

Malam itu, untuk pertama kalinya saya resmi menyetir mobil sambil menyusui.

...

Waktu seperti terdistorsi. Untuk membantu menenangkan diri, saya dan Velma bersama-sama mempraktikkan salah satu teknik relaksasi. Tarik napas panjang lewat hidung, buang napas lewat mulut, teruuuussss kami lakukan sepanjang perjalanan.

Entah dalam hitungan berapa lama, akhirnya mobil yang saya kendarai sampai juga di depan rumah. Momen-momen turun dari mobil untuk membuka pagar, memarkir, membuka pintu, dan menyaksikan Velma berlari menghambur ke kamar mandi itu sungguh sulit dilukiskan dengan kata-kata. Rasanya seperti usai memenangkan sebuah pertarungan besar. Senang luar biasa, bahagia bisa selamat sampai rumah, sekaligus juga perih dan nelangsa: Kok, begini amat… hidup di Jakarta.

Sambil menidurkan anak-anak, saya merenungi adegan demi adegan yang kami lakoni sejak pagi hingga malam. Akhirnya saya mendapatkan sebuah pesan. Bahwa semua ini terjadi tanpa kebetulan. Tuhan sedang ingin memberi pengalaman baru pada saya, yang di dalamnya tersimpan banyak pelajaran berharga.

Soal menyusui, misalnya, mengajarkan saya untuk memperhatikan waktu-waktu Jojo biasa minum ASI. Dengan begitu, saya bisa memperkirakan kapan ia akan tertidur lelap karena perutnya kenyang, dan kapan ia mudah terbangun karena haus atau lapar. Jadwal minum dan dan tidur ini penting untuk menentukan kapan bisa memulai, atau justru menunda perjalanan - terutama jika anak saya masih ASI ekslusif, sementara saya harus menyetir sendiri.

Kemudian soal mobil, saya jadi teringat nasihat Eyang Kakungnya Jojo dan Velma, untuk selalu bepergian dengan mobil yang sehat dan berbahan bakar penuh. “Jakarta itu nggak bisa ditebak. Kebayang nggak, kalau suatu saat kamu kehabisan bensin di jalan tol, kejebak macet pula!”

Kebayang banget. Untungnya, sehari sebelum berangkat kerja, suami sudah mengecek oli, tekanan ban, air radiator, juga menraktir mobil saya “minum” di Shell sampai full tank. Kalau tidak… entahlah apa yang terjadi :D

Lebih dari itu semua, saya tersadar, bahwa kemampuan saya melepaskan diri dari ekspektasi masih perlu diasah lagi. Tidak semua hal terjadi sesuai harapan. Tidak semua kejadian bisa diduga. Oleh sebab itu, saya perlu terus belajar membuka diri terhadap kejutan demi kejutan, juga menyesuaikan diri dengan perubahan demi perubahan.

Mungkin memang benar kata banyak orang. Hidup di Jakarta membutuhkan ketangguhan dan seni tersendiri: Persiapan maksimal dan usaha terbaik iya, belajar nrimo iya juga :)

**

gambar: dokumentasi pribadi/Dyah Pratitasari

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun