Latar belakang atas terjadinya krisis perunggasan saat ini adalah, sejak kalahnya Delegasi Indonesia di WTO untuk menahan/memblokir daging ayam beku eks Brazil pada tahun 2017.Â
Seharusnya Pemerintah Indonesia cq. Mentan dan DJPKH mengkondisikan serta memberi arahan supaya para pelaku perunggasan khususnya para integrator PMA dan PMDN berbenah diri dengan membuat kebijakan bisnis unggas yang kompetitif yang bisa menghadapi produk unggas dari Brazil bukan sekedar meningkatkan produksi yang efisisen tingkat dalam negeri dengan meningkatkan kemampuan manajemen produksi saja dengan membuat kandang CH (Closed House).Â
Tetapi dalam hal kebijakan ekonomisnya, yaitu membuat BEP LB (LiveBird) yang efisien untuk hasilkan harga karkas yang kompetitif dan berdaya saing tinggi juga. Selanjutnya pemerintah harus mampu benahi tataniaga supaya harga karkas yang diperoleh konsumen juga bisa kompetitip untuk mencegah masuknya daging import.
Kenyataannya selama 2-3 tahun ini pasca JR (Judicial Review) di MK yaitu UU-PKH No.18/2009 di MK, malah naluri para integrator perunggasan, melalui asosiasi GPPU dan GPMT-nya, Â kebijakan monopoli dan kartelnya malah semakin tinggi termasuk hasilkan harga DOC, Feed serta BEP LB yang semakin tinggi (mengundang inspirasi dagang importasi karkas beku).Â
Sebagai contoh: harga DOC Rp.6.000 s/d Rp.7.000, dan harga pakan naik Rp.800 dengan alasan jagung naik karena alasan paceklik. Akibatnya, BEP LB malah semakin naik untuk kandang peternak rakyat dari Rp.17.000,- menjadi Rp.19.000,-. Untuk kandang CH dan Semi CH naik dari Rp.15.000,- menjadi Rp.17.000,-. Â
Malah pada ketentuan Permendag terbaru, dinaikan harga ketetapan batas atas dan bawah dari Rp.18.000,- menjadi Rp.20.000,-. Â Atas kondisi ini, Pihak Pemerintah cq.Mentan RI dan DJPKH malah mendukungnya/membiarkannya yang seharusnya selalu mengingatkan bahwa didepan kita ada ancaman peluang besar masuknya daging eks Brazil.
Tatkala ancaman daging beku Brazil akan masuk, pihak pengusaha tertentu malah membikin suasana makin memperparah krisis usaha perunggasan yaitu dengan jatuhkan harga LB jauh dibawah BEP, sehingga hrg LB secara nasional jatuh mencapai rataan antara Rp.7.000 s/d Rp.9.000,-/kg separuhnya BEP peternak rakyat.Â
Dalam jangka pendek dan menengah, akan menghabiskan potensi peternak pembudidaya hingga 30%-50%. Apakah ini suatu strategi perang psikologis pihak PT integrator tertentu untuk memanfaatkan pasar ayam segar dalam negeri secara sepihak bersamaan adanya ancaman daging Brazil yang nota bene daging Brazil ini hanya akan masuk di pasar supermarket dan menjadi bahan baku industri Nugget, Sosis dan Bakso.
Memang dalam jangka menengah dan panjang, Indonesia sudah seharusnya mempersiapkan strategi Kedaulatan Pangannya dengan mengutamakan basis pertanian dan peternakan dari potensi rakyat yang sudah dikondisikan sebagai Pertanian dan Peternakan terpadu dan terintegrasi sehingga daya saing pangan Indonesia juga tinggi.
Kalau kebersamaan tetap mau dijaga dan pemerintah sebagai motivator Kedaulatan Protein Hewani didalam negeri bahkan bisa menjadi penguatan Kedaulatan Pangan Nasional, maka kejadian harga LB jatuh atau dijatuhkan tidak akan terjadi.Â
Kalau daging eks Brazil ini menjadi ancaman maka cukup mengurangi produksi DOC 30% secara bersama sama dan proporsional terukur dan terkendali atau lakukan segera kreatifitas ekspor hasil unggas Indonesia ke berbagai Negara tujuan.Â