Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Lesunya Kemanusiaan

27 November 2022   22:38 Diperbarui: 28 November 2022   06:35 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru dan siswa (Pixabay)

Guru dikenal dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Mulia sekali representasi "pahlawan" terhadap guru.

Hal ini didukung dengan fakta sosial bahwa bisyarah atau gaji guru honorer itu lebih kecil ketimbang pasukan kuning.

Namun, tetap saja citra seorang Guru tetap luar biasa dan lebih cerah. Seorang profesor tidak akan meraih gelarnya tanpa melewati tangan dingin seorang guru.

Begitu juga, pengusaha, pegawai dan lain sebagainya. Hampir semua manusia memiliki keterkaitan dengan sosok seorang guru.

Guru, digugu dan ditiru. Terminologi Jawa menyebutnya bahwa guru adalah orang yang sudah mampu menyelesaikan problem individu. Artinya selesai dengan dirinya sendiri.

Sehingga, yang kerap muncul adalah pengabdian, khidmat dan perjuangan. Hal ini tentu dengan prinsip dasar kepekaan membangun manusianya.

Guru, juga memiliki keeratan dengan kedalam berpikir dan keluasan cara pandang. Tidak serta merta menjadi hakim garis atau jaksa sebuah persoalan tanpa perenungan panjang.

Guru, juga memiliki keluasan dalam membidangi anak didiknya, siapapun itu diterima. Selagi niat dan tujuannya adalah mengembangkan diri sebagai manusia.

Agar menjadi manusia yang bermanfaat bagi siapapun. Khoirunnas anfa'uhum linmas. Ini jelas menjadi dasar pondasi bahwa title guru itu bisa disandangkan kepada orang-orang yang memiliki kebermanfaatan bagi siapapun.

Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, agaknya bergeser sedikit ke arah pemahaman bahwa jasanya harus dihargai.

Guru yang hari ini sebagai profesi, tentu memiliki ruang dan dimensi yang berbeda dengan term pahlawan tanpa tanda jasa. Karena guru dalam pemahaman serat wulangreh, disebut sebagai manusia yang mengenali dirinya, tidak berharap belas dan pemberian dari siapapun, tulus ikhlas membangun peradaban.

Tentu pertanyaan sederhananya adalah, kan guru juga manusia, pasti memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, lantas bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari mereka?

Jawabannya juga sederhana, bukankah guru yakin bahwa konsep rejeki itu sudah ada yang membaginya. Atau, profesional itu tidak akan mengingkari prosesnya.

Namun, tak sedikit yang menolak pemahaman bahwa perjuangan itu pasti akan membuahkan hasil. Karena ibarat lima ribu hari ini lebih penting dari pada dua puluh ribu besok atau dua hari lagi.

Pun demikian, juga wajar jika guru seharusnya mendapatkan kelayakan dan kepantasan. Karena memang yang dibangun bukan bongkahan batu atau serpihan pohon kemudian disulap menjadi bangunan megah. Tetapi manusia.

Manusia itu relatif, fleksibel dan dinamis. Sehingga tidak bisa serta merta memukul rata pandangan tentang manusia. Peserta didik secara fitrah memiliki kelembagaan Ruhani dan intelektualnya masing-masing, tentunya berbeda.

Belum lagi, tugas guru bukan hanya mengajar, transformasi nilai dan pengetahuan. Tetapi juga memenuhi kepentingan administrasi yang ruwetnya luar biasa.

Artinya, memandang guru sebagai manusia itu jauh lebih penting. Karena ketika memandang guru sebagai status pekerjaan maka akan sangat riskan dan penuh dengan kekecewaan. Mengapa? Ya tadi, gajinya sedikit. Akhirnya, main proyek sana sini. Korupsi, jual beli status pegawai negeri, dan lain sebagainya.

Guru adalah manusia yang memiliki ruang pengkhidmatan luar biasa. Karena tidak semua manusia memiliki niat dan ketulusan hati menjadi seorang guru.

Baik dipahami sebagai profesi atau bukan, guru tetap harus dipandang sebagai manusia agar kepekaan dan penghormatan itu bukan dalam konteks kelayakan "upah" tetapi jauh dari pada itu adalah tentang kemanusiaan itu sendiri.

Sehingga, kebijakan yang disusul untuk kemajuan pendidikan, berikut element dan unsur-unsur pendidikan seperti guru, jangan sampai hanya menjadi wacana dan citra kaca benggala semata, harus diwujudkan agar cita-cita pendidikan dalam UUD 1945 dapat terealisasikan.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun