Mohon tunggu...
Baharuddin Aritonang
Baharuddin Aritonang Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dapatkah Isu SARA Berhasil di DKI?

18 Agustus 2012   02:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:35 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13453024681382680103

[caption id="attachment_207535" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Admin (Si Eka Tuh)"][/caption]

Oleh : Baharuddin Aritonang

Pengamat Sosial Menjelang Pemilukada putaran kedua memperebutkan DKI-1 September 2012 mendatang suasananya tampak kian menghangat. Padahal jika peraturannya sebagaimana Pemilukada lainnya, maka hasilnya akan jatuh pada pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Merekalah yang memperoleh suara terbanyak, dan jumlahnya lebih dari 30%. Sebagaimana diketahui pasangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama memperoleh sekitar 43% suara. Sedangkan khusus untuk Pemilukada DKI ini kemenangan ditentukan dengan perolehan suara lebih dari setengah jumlah pemilih. Kalaulah perolehan suara Jokowi-Ahok di putaran pertama itu tetap maka tinggal memerlukan 7% suara tambahan. Sedang pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang memperoleh sekitar 34% diputaran pertama memerlukan lebih banyak tambahan suara yang lebih banyak. Yang menarik, barisan pendukung Foke-Nara yang kebetulan masih memegang kendali pemerintahan di DKI sebelum Pemilukada yang lalu berlangsung telah berkampanye bila pemilihan ini akan berlangsung satu putaran saja. Tentu dengan kemenangan berada di tangan mereka. Sikap yang terasa agak sombong, mirip kampanye Foke dulu, yang bertema "serahkan ahlinya". Apa mereka juga terlalu terpengaruh pada hasil survey yang selalu mengunggulkan Foke-Nara?. Karakter masyarakat Jakarta yang amat pluralis ini memang susah dipahami. Terkadang perlu omong besar dan bernada sombong. Tapi pada saatnya perlu bersahaja dan bersikap merendah. Mungkin itu jugalah suasana yang menyebabkan perolehan suara tertinggi berada ditangan Jokowi-Ahok. Bahwa masyarakat Jakarta kian membutuhkan kehadiran seorang pemimpin yang bersahaja dan merakyat. Sudah jenuh dengan kesombongan. Keadaan inilah agaknya yang membuat para pendukung Foke-Nara memerlukan strategi baru untuk memenangkan putaran kedua September 2012 mendatang. Dan dicarilah langkah yang paling berpengaruh dalam suasana seperti itu. Kalau kita mencoba membalik jalannya sejarah pemilu di DKI Jakarta, tema agama (dalam arti agama Islam) memang menjadi topik yang menarik. Tak heran didalam beberapa kali pelaksanaan Pemilu di DKI, partai yang mengusung tema Islam memperoleh kemenangan telak. Apalagi didalam sejarah Orde Baru. Akan tetapi ketika kita memasuki masa reformasi, ketika masyarakat kian mendapatkan kebebasan memilih, pemenangnya justru beralih ke Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) yang bukan partai Islam. Lantas disusul pula oleh Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Artinya, penduduk Jakarta sesungguhnya tidaklah selalu terikat pada tema agama. Yang jelas penduduk Jakarta senantiasa menginginkan adanya perubahan. Tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik. Artinya tema perubahan lah yang lebih berperan. Pada masa Orde Baru, masyarakat ingin berubah. Bosan dengan penguasa yang itu ke itu saja. Demikian juga ketika memasuki masa reformasi. Suatu tema yang sesungguhnya amat lekat dengan "wong cilik" dan generasi muda, yang menjadi kelompok penting di Jakarta. Dan kini tampaknya merekalah yang menjadi sosok pendukung utama Jokowi-Ahok. Mungkin perilaku kedua tokoh ini terasa dekat mereka, tidak formal, merendah dan tidak sombong, serta memberi harapan bagi sebuah perubahan di DKI Jakarta. Apakah para pemilih di putaran kedua ini akan terpengaruh pada isu Sara?. Saya tidak yakin. Malah ketika saya menonton televisi yang merekam penyanyi dangdut terkenal Rhoma Irama yang melontarkan agar umat Islam memilih pemimpin yang juga dari kalangan Islam, saya pun merasa tak habis pikir. Soalnya, kejadian itu berlangsung di dalam sebuah masjid, dan beberapa iklan dan kampanye Pemilukada putaran pertama sang penyanyi dikenal sebagai pendukung Fauzi Bowo yang kini masih Gubernur DKI Jakarta. Tentulah pendapatnya itu merupakan bagian dari kampanye. Apalagi dia kemudian mengulas calon lain, yang kebetulan bukan penganut Islam. Sesungguhnya didalam berbagai Pemilu dan Pemilukada pada tahun-tahun yang sudah berlalu hal seperti ini lumrah saja terdengar. Tapi sekarang adakah cara seperti itu masih pantas untuk kita teruskan?. Lebih-lebih itu berlangsung di depan mata, di Jakarta dan ibukota negara Republik Indonesia. Apa tidak ada lagi cara lain yang lebih simpatik?. Kenapa harus agama?. Kenapa harus Sara ?. Bukankah Sara juga dilarang sebagai tema kampanye?. Karena itu, wajar saja langkah itu dikecam banyak pihak. Bahkan sang penyanyi dimintai keterangan oleh pengawas pemilu. Tapi, karena saya tak ingin untuk berpihak, saya hanya bertanya-tanya didalam hati. Mungkin mereka tidak lagi memiliki cara lain untuk meraih tambahan suara yang lebih signifikan. Apakah langkah itu ditempuh karena tidak ada lagi cara lain yang lebih elegan?. Lantas saya terus berpikir, adakah pilihan langkah itu akan berhasil ?. Jangan-jangan menjadi bumerang. Akan memberi pengaruh simpati yang lebih besar bagi pasangan lawannya, yakni pasangan Jokowi-Ahok. Ah, sebaiknya kita lihat sajalah hasilnya nanti. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun