Mohon tunggu...
Baharuddin Aritonang
Baharuddin Aritonang Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Buku dan Kebiasaan Membaca

18 Agustus 2012   03:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:35 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh : Baharuddin Aritonang

Tentang rendahnya minat baca di dalam negeri sesungguhnya dapat dilihat dari penerbitan dan penjualan buku. Tidak saja buku ilmiah ataubuku wajib, buku-buku umum saja penjualannya terbatas. Jangan sampai anda bayangkan seperti serial buku Laskar Pelangi dari Andre Hirata atau Ayat-ayat Cinta dari Habiburrrahman. Buku-buku semacam itu hanya sedikit dari ribuan bahkan ratusan ribu judul buku yang diterbitkan didalam negeri.

Yang paling umum justru buku yang diterbitkan dengan jumlah yang amat terbatas. Beberapa penerbit mengakui kalau buku yang diterbitkan umumnya hanya sekitar 3000 eksemplar. Kalau sejumlah itu habis dalam enam bulan saja sudah terhitung bagus. Padahal itu untuk kategori buku umum, artinya bukan bukuilmiah. Untuk jenis buku ilmiah biasanya hanya dicetak 2000 eksemplar, dan lakunya pun lebih seret lagi. Tak mengherankan bila kehidupan banyak penerbit pada umumnya berat.

Yang lebih menyedihkan adalah cerita tentang buku-buku ilmiah tadi. Termasuk buku yang sesungguhnya ditulis sebagai buku pegangan untuk para mahasiswa. Misalnya buku-buku ilmu hukum, yang sesungguhnya dapat dikatakan setiap universitas memiliki jurusan ini. Padahal harganya tidaklah mahal-mahal amat. Bahkan buku di dalam negeri sebenarnya relatif murah, dibandingkan buku-buku asing yang diterbitkan di luar negeri. Buku dalam negeri setebal 250 halaman misalnya, dijual dengan harga sekitar Rp.50.000.- Kadang-kadang dapat potongan harga lagi. Apalagi kalau sedang pameran. Padahal buku asing setebal ini biasanya mencapai tiga kali lipat bahkan lebih. Karena itu buku-buku import sesungguhnya terhitung mahal.

Gratis

Tapi, lebih dari sekedar harga, sesungguhnya ada suatu kebiasaan yang muncul dikalangan masyarakat kita. Bahwa buku belum dianggap sebagai sebuah kebutuhan, sebagaimana halnya makan dan minum. Mungkin karena kehidupan masyarakat kita kurang mempertimbangkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.

Karena belum menjadi kebutuhan maka orang tidak terbiasa membeli buku. Anehnya, perilaku semacam ini pun berlaku dikalangan masyarakat yang khusus. Misalnya dilingkungan para pejabat. Banyak sekali teman-teman saya, termasuk yang berkategori pejabat negara, yang masih berharap untuk mendapatkan buku-buku yang saya tulis dengan cara gratis. Terkadang saya tidak sadar untuk mengingatkan yang bersangkutan agar membelinya saja. Karena buku-buku itu juga dijual di toko buku. Harganya juga relatif tidak mahal. Buku saya, Orang Batak Memandang BPK (KPG, 2009), yang sesungguhnya menguraikan tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setebal 230 halaman hanya dijual Rp.45.000.- Jumlah yang bagi mereka tidaklah seberapa. Tapi itupun masih tega mereka minta. Bisa jadi mereka beranggapan kalau buku yang ditulis itu seperti buku otobiografi pejabat yang umumnya memang dibagi-bagikan.

Padahal kalau perdagangannya lancar tentu akan membuat penerbit bergairah. Dan penulis pun bersemangat menulis buku, walaupun sesungguhnya masih terlalu jauh untuk menjadikan menulis buku sebagai andalan hidup. Disamping penjualannya yang seret, royalti menulis buku juga hanya 10%.

Fotokopi

Kebiasaan ini juga menjalar ke perguruan tinggi. Jarang mahasiswa yang bersedia membeli buku, termasuk buku pegangan. Para mahasiswa dan penghuni perguruan tinggi lainnya masih lebih senang meminjam atau malah memfotokopi buku dari teman atau dari perpustakaan. Terkadang kebiasaan ini terasa kurang rasional, para mahasiswa masih lebih senang mengeluarkan Rp.20.000.- untuk memfotokopi buku pegangan itu ketimbang membeli bukunya seharga Rp.35.000 sampai Rp.40.000.Masih untung Rp.20.000!, kata mereka berbangga. Padahal sedih melihatnya. Karena dengan membeli buku asli memudahkannya untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat dibaca lagi.

Sesungguhnya perilaku semacam itu hampir sama dengan perilaku menjiplak atau plagiat yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Bukankah dengan memfotokopi buku itu sekaligus mengabaikan hak cipta penulisnya, yang terkadang adalah dosen di perguruan tinggi.

Kalau mahasiswa yang memfotokopi buku pegangan itu adalah mahasiswa yang kurang mampu, barangkali masih dapat dimaklumi. Tidak jarang mereka mengeluarkan biaya puluhan ribu di kafe. Bahkan banyak diantaranya yang menenteng laptop berharga puluhan juta. Atau Blackberry yang kini menjadi “gengsi” baru dikalangan mahasiswa. Saya pernah sedih memandang para mahasiswa di sebuah universitas swasta yang punya nama, dimana para mahasiswa dengan enteng memamerkan BB nya masing-masing, tapi tak seorang pun yang membawa buku bacaan, baik buku referensi maupun buku umum.

Itulah sebabnya seorang teman saya yang guru besar di universitas negeri ternama dan pernah menulis buku pegangan mengatakan bila dia kapok menulis buku. “Lebih baik saya melayani ceramah saja. Honornya juga lumayan!”, ucapnya ringan. Karena itu tidaklah mengherankan bila para penulis yang ditanyai mengatakan bila menulis buku itu hanyalah sekedar penyaluran hobby atau cara untuk sekaligus mengangkat nama atau citra. Repotnya bila yang bersangkutan sudah punya nama atau tidak butuh pembentukan citra lagi, sebagaimana teman saya yang guru besar diatas. Akibatnya tak ada lagi karya bermutu yang dilahirkan, termasuk dari kalangan dosen atau guru besar.

Penghargaan

Melihat kenyataan ini, barangkali diperlukan suatu sistem yang jelas untuk membuat para ahli rajin menulis buku. Pertama memang harus menggerakkan budaya membaca di lingkungan masyarakat. Suatu langkah yang mungkin bisa ditempuh sejak pendidikan dasar, SMP, SMA, dan selanjutnya di perguruan tinggi. Budaya membaca ini juga dilengkapi dengan budaya menulis agar para mahasiswa kelak terbiasa menulis sehingga tidak harus membayar orang lain untuk membuat skripsi atau malah disertasi. Kemudian harus pula dibudayakan membeli buku. Di kalangan umum bisa dimulai dari kalangan para pejabat negara, seperti anggota DPR, DPD, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, para Menteri dan pejabat lainnya. Agaknya perlu dilakukan kampanye berkunjung ke Perpustakaan atau ke Toko Buku sekaligus berbelanja buku. Atau mengajak mereka mampir setiap kali ada pameran buku. Dan pihak mediamassa agaknya tidaklah perlu merasa rugi untuk memberitakannya.

Sebaliknya, para penulis buku, terutama buku-buku ilmiah, perlu diberi insentif atau penghargaan dari pemerintah atau kalangan penerbit. Terutama penulis yang telah melahirkan karya sebagai buku pegangan di sekolah atau perguruan tinggi. Barangkali kementerian pendidikan dapat mengambil langkah ini bersama para penerbit atau himpunan penerbit.

Dilingkungan perguruan tinggi harus ada pengawasan yang ketat, baikdosen maupun mahasiswa, untuk membiasakan membeli buku-buku wajib, atau membaca di perpustakaan bagi mereka yang tidak mampu. Pengawasan terhadap mereka yang suka memfotokopi, khususnya terhadap buku-buku (wajib maupun umum) harus ditingkatkan. Kalau tidak mau membeli silahkan untuk menyalin sendiri bagian penting dari isi buku itu. Langkah ini sekaligus untuk menuntun mereka rajin menulis. Sejalan dengan itu perlu dilakukan sosialisasasi untuk menghargai hak cipta, khususnya atas karya-karya tulis, baik berupa skripsi, tesis, disertasi, maupun buku-buku yang beredar. Termasuk penindakan bagi mereka yang melanggar aturan.

Dengan cara semacam inilah nilai-nilai akademis dapat ditegakkan. Bukan hanya mencegah perilaku menjiplak atau plagiat, tapi juga sejalan dengan budaya menghargai hak cipta orang lain, juga budaya membaca dan budaya menulis, bahkan budaya kerja keras. Bukankah semua itu bagian dari kehidupan akademis?. Dalam suasana semacam ini pula perilaku jujur dan kerjakeras dapat dikembangkan. ***

Penulis adalah penulis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun