Mohon tunggu...
Y ANISTYOWATIE
Y ANISTYOWATIE Mohon Tunggu...

Berusaha menemukan solusi permasalahan bangsa, blog saya: www.anisjasmerah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merancang Konsep Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta "Membumikan" Nilai-nilai Pancasila

1 Juni 2016   11:38 Diperbarui: 1 Juni 2016   14:45 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pedagos.wordpress.com

Kementerian Pendidikan  dan Kebudayaan telah mencanangkan bahwa bulan Mei ditetapkan sebagai Bulan Pendidikan dan Kebudayaan . Pencanangan ini bermaksud untuk menegaskan (kembali) bahwa dunia pendidikan ini harus menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Selanjutnya Peran Kemdikbud akan sebagai fasilitator, sementara platform dalam setiap kegiatan pendidikan dan kebudayaan akan dilakukan oleh publik dan komunitas. Tujuannya, yaitu untuk mengembalikan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai dan karakter Pancasila sebagai tujuan utama dari pendidikan nasional (Kompasiana). Karena itulah kemudian muncul gagasan menemukan Konsep Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta ?

Memahami Berbagai Gagasan Konsep Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta

Apa yang dimaksud dengan konsep pendidikan sebagai gerakan semesta atau gerakan bersama itu ? Inilah yang harus diperjelas terlebih dahulu ! Karena selama inipun, sebenarnya konsep pendidikan kita sudah demikian. Namun implementasi kesemestaannya, cenderung hanya pada pembiayaannya saja. Akibatnya, kualitas hasil pendidikan kita menjadi terpuruk. Orang tua murid banyak yang “babak belur“ karena harus menanggung besarnya biaya pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah/PT,  dan harus membeli berbagai buku pelajaran serta perlengkapan sekolah lainnya . Di samping itu, orang tua masih perlu keluar dana lagi untuk membayar biaya bimbingan belajar, kalau ingin anaknya bisa menguasai materi pelajaran yang akan di UN-kan atau diujikan sebagai materi seleksi masuk PTN. Jer basuki mawa bea. Itu kalimat yang sering diintimidasikan kepada wali murid yang keuangannya pas-pasan. Dampaknya kemudian, seperti kita ketahui bersama, sekolahpun menjadi ajang bisnis oleh banyak pihak.

Tetapi saya memahami, maksud “impian baru” dari Pak Anis Baswedan ini . Tentu yang diinginkan dengan  adanya gerakan semesta, bukanlah sebagaimana yang sudah lalu-lalu itu, yaitu semesta dalam segi pembiayaannya. Namun demikian, yang diinginkan dengan gerakan semesta oleh Pak Anis Baswedanpun ternyata juga belum begitu jelas.

Dari membaca beberapa konsep pendidikan sebagai gerakan semesta yang disajikan oleh teman-teman di Kompasiana ini, ada yang memahaminya bahwa gerakan semesta dalam kegiatan pendidikan terwujud dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan serba gotong royong. Sehingga kemudian bisa muncul sekolah-sekolah gratis, dimana guru-gurunya  bersifat sukarela, kurikulumnya dirancang sendiri, pengadaan sarana prasarana pendidikannya dari sumbangan masyarakat, peserta didiknya dari kalangan masyarakat miskin sehingga tidak dipungut biaya,  dll.

Kemudian, ada  konsep gerakan semesta yang ditekankan  pada proses pendidikannya. Dimana proses pendidikan ini akan melibatkan semua kalangan untuk menjadi “pendidiknya”, yaitu : guru, orang tua, dan masyarakat umum di manapun mereka berada.

Ada juga gerakan semesta yang menekankan pada pengadaan sarana dan prasarana pendidikan yang berkeadilan. Artinya, untuk pendidikan di seluruh wilayah Indonesia, baik di daerah maupun di kota harus memiliki fasilitas pendukung kegiatan pendidikan  yang sama. Selain itu, ada juga yang menekankan  kesemestaan dilihat dari sisi anak didiknya.  Yang  maksudnya  bahwa semua anak usia sekolah di negeri ini harus  sama-sama mendapatkan pendidikan yang layak.

Sementara kesemestaan yang diinginkan oleh Kemendikbud,  sepertinya ditekankan pada penyelenggara pendidikannya. Sehingga diharapkan, nantinya Kementerian hanya  sebagai fasilitator, dan platform (model) kegiatan pendidikannya dibuat oleh publik atau komunitas.   Para penyelenggara pendidikan  ini  "hanya" diberi kan rambu-rambunya, yaitu:  kegiatan pendidikan yang bisa  mengembalikan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai dan karakter Pancasila”.

Dimana kalau kita terjemahkan, konsep gerakan semesta  yang diinginkan oleh Pak Menteri ini,  yaitu semua komunitas atau publik boleh menyelenggarakan kegiatan pendidikan, apapun bentuknya asal tidak melanggar rambu-rambu nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, nantinya diharapkan akan banyak publik atau komunitas yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pendidikan tersebut.

Untuk konsep yang terakhir ini, konsekuensinya  kita bisa terjebak pada kondisi yang lama, yaitu para orang tua harus rela mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang terbaik bagi anaknya. Hanya bedanya, kalau dulu yang memungut biaya pendidikan mahal adalah sekolah-sekolah negeri, tetapi dalam hal ini yang memungut biaya pendidikan mahal akan banyak dilakukan dilakukan oleh penyelenggara pendidikan swasta.

Merumuskan  Konsep Pendidikan sebagai Gerakan Semesta  yang Tepat

Memahami bahwa yang membutuhkan “kecerdasan” itu, selain diri kita sendiri dan keluarga, sebenarnya juga pemerintah. Maka ketika kita berbicara sebagai pemerintah, berarti kita harus berpikir bahwa yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses pendidikan anak-anak bangsa itu adalah pemerintah/negara. Dalam hal ini oprasionalnya dikendalikan oleh 2 menteri pendidikan (saya dulu pernah menyarankan kepada Pak Jokowi agar kementerian pendidikan jangan dipecah menjadi 2, tetapi untuk yang ini tidak berhasil  (di sini). Sehingga sekarang ini, kalau membahas masalah  tanggung jawab dan program kependidikan nasional harus berembug 2 menteri ini terlebih dahulu.

Setelah mengkaji berbagai  masukan tentang konsep pendidikan sebagai gerakan semesta, maka bisa dirumusan tentang konsep  gerakan semesta yang  paling tepat (ideal), yaitu kesemestaan pelaksanaan kegiatan pendidikan harus  menginterintegrasikan peran  tanggung-jawab dari pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pendidikan tersebut. Pihak-pihak  yang terkait  itu meliputi: kementerian pendidikan, dinas pendidikan, sekolah, orang tua, dan lingkungan. Dimana kemudian  target bersamanya,  untuk mewujudkan tujuan utama pendidikan nasional yaitu menghasilkan anak-anak didik yang cerdas, terampil, sehat, serta memiliki karakter, dan bisa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini perlu diupayakan, karena selain di sekolah, hari-hari anak didik itu adalah bersama keluarganya dan berada dalam pergaulan masyarakat umum.

Kongkritnya, di samping  anak-anak didik itu mendapatkan materi pelajaran  sekolah , termasuk pelajaran nilai-nilai dan karakter Pancasila dengan  metode pembelajaran yang menyenangkan,  anak-anak didik itu juga mendapatkan teladan perilaku dari guru-gurunya. Kemudian ketika di rumah, para orang tua juga harus memberikan teladan terhadap penerapan karakter dan nilai-nilai Pancasila. Kalau anak-anaknya melakukan kekeliruan, misalnya bertengkar dengan temannya atau dengan saudaranya atau dicurigai menggunakan obat-obatan terlarang, maka para guru  maupun orang tua mampu mengingatkan anak-anak tersebut  dengan sikap yang bijaksana. Bukan dengan  gaya otoriter atau marah-marah.

Lalu kondisi lingkungan dimana anak-anak itu berada, yaitu di tetangga, di keluarga besarnya, di pasar ataupun  di tempat keramaian yang lain, juga mampu menerapkan hal yang sama. Para orang dewasa mampu memberikan  teladan sikap dan perbuatan yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai Pancasila. Kalau melihat perilaku anak-anak yang tercela; mereka mau menegur, mengingatkan, maupun melaporkannya pada lembaga yang berwenang. Contoh: ketika ada yang melanggar peraturan lalu-lintas, ketika ada perkelahihan, ketika menemui tindak kejahatan, ketika mencurigai adanya pemakaian narkoba,  dll.

Pada sisi lain jajaran  instansi kependidikan harus semaksimal mungkin, bisa menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan oleh anak-anak didik untuk mengembangkan potensi dirinya. Jangan diserahkan pada sekolah masing-masing. Ini akan menimbulkan penyalah-gunaan kekuasaan oleh kepala sekolah dan jajaran Diknas untuk “mengeruk keuangan para orang tua murid/mahasiswa”, sementara kementerian pendidikan yang anggarannya sudah lebih dari 20% APBN menjadi  tidak bertanggung-jawab terhadap kewajibannya  untuk mempersiapkan guru/pendidik yang berkualitas dan menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai di seluruh wilayah Indonesia.  Dalam hal ini, termasuk membantu sekolah-sekolah swasta yang sarana dan prasarananya masih minim.

Juga instansi-instansi terkait lainnya, perlu menyediakan fasilitas umum yang nyaman dan mencerdaskan, antara lain: taman bermain, lapangan untuk berolah raga, perpustakaan umum, tempat untuk berkreasi, dll.

Artinya konsep pendidikan sebagai gerakan semesta ini, sebenarnya melibatkan semua lembaga yang ada. Jadi tidak bisa hanya ditangani oleh Kementerian Pendidikan  dan Kebudayaan saja, karena itu presiden sebenarnya harus turun tangan.

Di samping itu, konsep pendidikan sebagai gerakan semesta itu hanya bisa terwujud, kalau kita menganut prinsip pendidikan itu selama hidup. Kalau kita hanya membatasi bahwa proses pendidikan itu, hanya dilaksanakan ketika pada usia sekolah sampai mahasiswa saja (itupun dengan asumsi bahwa guru dan dosennya sudah baik), maka harapan  itu bisa hanya tinggal impian saja. Mengapa ? Permasalahannya sbb.:

  1. Kita yang berperan sebagai orang tua memiliki karakter yang beragam, ada yang baik dan banyak yang jelek (tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila).
  2. Di lingkungan sekitar kita banyak “korban-korban” proses pendidikan masa lampau, atau banyak yang belum berhasil mentransformasi dirinya, sehingga kondisi lingkungan saat ini belum mendukung untuk dilakukannya upaya gerakan tersebut.
  3. Karakter manusia itu  bisa berubah setiap saat, menjadi baik atau buruk karena pengaruh lingkungan , pengaruh orang tua, dan seberapa kuat kepribadian yang bersangkutan ketika dihadapkan pada sebuah pilihan untuk mengambil sikap.

Selain itu, kita semua, para guru dan para orang tua  ini memiliki tingkat pendidikan dan latar belakang yang berbeda-beda pula . Kalau  tiba-tiba “diharuskan bisa mendidik” anak-anak dari bayi, balita, anak SD, SLTP, SLTA, dan mahasiswa; maka yang terjadi justru bisa “bentrok dengan anak”. Karena  para orang-orang  tua ini tidak pernah mendapatkan pendidikan, bagaimana harus mendidik anak-anak tersebut. Apalagi menurut teorinya, bahwa cara mendidik masing-masing kelompok anak–anak ini tidaklah sama.  Ini pengalaman pribadi saya. Bahkan saya justru “dibully” oleh anak-anak saya:” Ibu itu terlalu idealis, padahal hidup itu  tidak bisa dijalani dengan cara yang idealis !” Dalam hatipun, saya juga bisa membenarkan apa yang mereka katakan. Sehingga sebenarnya, sayapun sering  mengeluh: “Tuhan, kalau orang-orang baik di negeri ini justru dihadiahi  dengan kematian; bagaimana bangsa kami bisa berubah ?" Seperti kita ketahui bersama, Afrika Selatan bisa berubah karena ada Mandela.  

Jadi kalau kita mau menerapkan kegiatan pendidikan sebagai gerakan bersama  untuk  menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur  Pancasila pada saat ini, sepertinya masih sulit untuk bisa dilakukan. Kecuali yang sifatnya penunjang saja, misalnya: menerapkan jam belajar malam bagi anak-anak sekolah, melarang siswa pergi ke warnet pada jam-jam sekolah, dll. Sementara  untuk yang terkait dengan proses pendidikan  itu sendiri, dibutuhkan adanya “kurikulum” atau metode pendidikan yang sama bagi guru, orang tua, dan lingkungan. Contohnya menggunakan HP sambil berkendaraan,  berarti semua (sebagian besar) orang tua harus mengatakan  bahwa hal itu tidak diperbolehkan. Marah-marah kepada orang lain di jalanan itu tidak sopan, korupsi itu tidak boleh, merokok di tempat umum dilarang, dll. Dengan demikian, nantinya anak-anak sekolah ini tidak dihadapkan pada realita kehidupan yang “membingungkan”. Anak-anak diajari untuk tidak boleh korupsi, tetapi mereka mendapati kenyataan bahwa orang tuanya, atau sekolahnya dicurigainya melakukan perbuatan korupsi. Pada kelompok tertentu  menghina orang lain dilarang, tetapi pada kelompok yang lain diperbolehkan. Akibatnya,  mereka akan memilih perilaku yang cocok dengan kondisi batinnya, sebagaimana yang sedang mereka rasakan saat ini. Tak peduli  lagi pada penilaian orang lain. Bukankah yang lain juga bersikap demikian ?

Karena  itulah, kalau kita benar-benar ingin menerapkan  pendidikan sebagai gerakan semesta untuk  menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur  Pancasila, maka  yang harus dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu:

  1. Merumuskan konsep yang tepat terlebih dahulu,
  2. Mendiskusikan  hal ini dengan  Presiden, karena ini membutuhkan peran serta kementerian yang lain,
  3. Mempersiapkan “infrastrukturnya”, yaitu mengkondisikan para orang tua/lingkungan  agar bisa sejalan dengan prinsip nilai-nilai yang diajarkan di sekolah/PT,
  4. Mengaplikasikan gerakan bersama tersebut.

Kalau tidak demikian, ini "berbahaya". Karena anak didik akan  melihat perilaku-perilaku  yang munafik yang ditunjukkan para pendidik atau para orang tua. Sehingga yang bisa terjadi, justru memperparah tumbuhnya generasi  baru yang  semakin munafik, sebagaimana yang saat ini kita rasakan, semakin bertambah hari kondisinya semakin parah.

Mempersiapkan kondisi agar mimpi  Gerakan Semesta ini  bisa diwujudkan

Untuk bisa mencapai harapan itu, berarti harus ada perubahan paradigma berpikir terlebih dahulu, bahwa pendidikan itu tidak hanya selesai di bangku SLTA atau mahasiswa, tetapi juga harus ada pendidikan untuk calon orang tua atau para orang tua/orang dewasa. Calon orang tua atau para orang tua/orang dewasa ini, harus diajari terlebih dahulu, tentang bagaimana teori perkembangan anak dan hal-hal apa saja yang perlu  diajarkan sesuai dengan tingkat pertumbuhan mereka. Artinya, perlu ada penyuluhan, diklat-diklat atau seminar gratis untuk menjadi orang tua yang baik, sehingga nantinya kita bisa menjadi pendidik yang baik bagi anak-anak kita atau anak-anak di sekitar lingkungan kita. Contohnya: kalau  melihat anak kita atau anak-anak di lingkungan sekitar kita melakukan  corat-coret di tembok rumah orang, atau merusak rambu-rambu lalu-lintas, kita tidak boleh langsung  memarahi dan memukulnya, tetapi harus bisa menegurnya dengan  bijak. Hal ini kelihatannya sepele, tetapi ternyata itu tidak mudah, dan tidak banyak orang  yang mampu  melakukannya.

Kalau para orang tua ini (sebagian besar) sudah  tahu dan paham, bagaimana harus memperlakukan anak-anak tersebut, maka bisa diharapkan nantinya  kita tidak  membiarkan saja, apabila melihat perilaku-perilaku  negatif dari anak-anak tersebut. Bahkan tidak  ada lagi  yang mengatakan, “ Mereka bukan anak saya, kenapa harus ikut mengurusi mereka ?”  Karena kita  menyadari, bahwa ketika anak-anak kita berada di luar rumah, juga membutuhkan didikan mereka yang benar. Apabila kondisi ini berhasil diwujudkan, maka revolusi mental yang selama ini terus digaungkan bisa menjadi kenyataan.

Demikian pemikiran yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan ini bisa menjadi bahan renungan kita  bersama, sehingga apa yang ingin digagas Pak Anis Baswedan ini  tidak hanya menjadi slogan semata.

Untuk admin, maaf bukannya saya tidak mau menyertakan dalam lomba. Tetapi ini “ketinggalan kereta”, sebab tahunya sudah 2 hari menjelang penutupan. Kalau boleh, titip saja untuk bisa disampaikan ke Pak Anis Baswedan. Terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun