Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Substack Dianggap Penyelamat Jurnalis dan Penulis?

26 Maret 2021   13:53 Diperbarui: 26 Maret 2021   14:52 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Substack: Revolusi untuk jurnalisme? (Foto: tangkapan layar Substack.com)

BEKERJA sebagai penulis dan jurnalis di era digital memang penuh dilema. Dengan adanya komputer dan internet, jurnalis dan penulis memang sangat dimudahkan. Mereka bisa bekerja di mana saja dan kapan saja. Mau informasi apa saja, bisa diklik dengan mudah. 

Namun, komputer dan internet juga memberikan dampak buruk bagi para pekerja kata. Kita menjadi saksi hidup senjakala media cetak di awal abad ke-20 akibat naiknya media baru dan media sosial yang menjadi pemasok utama informasi bagi masyarakat.

Morat-maritnya Lansekap Industri Media

Akibat meluasnya teknologi informasi dan internet pada industri media dunia sangat luas. Banyak sekali pekerja kata yang mesti rela didepak dari posisi mereka karena dianggap tak memberikan nilai tambah bagi perusahaan media. 

Kalaupun ada yang masih bertahan, harus rela bekerja siang malam dengan gaji minim agar medianya tidak ikut tenggelam dan masih kelimpungan dan kebingungan bagaimana caranya mempertahankan pemasukan di tengah era digital.

Yang paling menyedihkan lagi kinerja para pekerja kata saat ini diukur secara kuantitas oleh metrik-metrik seperti pageviews (berapa banyak ia diklik dan dibaca) dan traffic (kunjungan pembaca). 

Semua ini akibat dominasi dan hegemoni Google yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip SEO buatan mereka sendiri di semua lini kehidupan dunia maya kita.

Di sisi lain, masyarakat juga masih kurang paham bahwa memproduksi konten berkualitas butuh energi dan waktu yang tak sedikit. Itu karena mereka terbiasa disuguhi berita-berita gratisan dengan judul clickbait.

 Sedihnya lagi mereka tak kapok-kapok mengonsumsi hoax atau berita yang dipenuhi bias. Mereka menganggap berita yang berkualitas itu tak perlu berbayar. Bisa diperoleh secara cuma-cuma. Padahal tidak!

Para pekerja kata tentu trenyuh saat masyarakat rela membayar makanan dan minuman mahal tetapi begitu disodori konten yang bagus dan berbayar, masyarakat enggan membayar dan memilih versi bajakan atau curian. Padahal konten yang bermutu itu adalah makanan untuk pikiran dan jiwa juga. 

Media pun sarat dengan kepentingan. Apalagi dengan campur tangan pemilik modal dan politisi pada ruang redaksi, kita makin miris membayangkan masa depan media. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun