Mohon tunggu...
Akhlis Purnomo
Akhlis Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Copywriter, editor, guru yoga

Suka kata-kata lebih dari angka, kecuali yang di saldo saya. Twitter: @akhliswrites

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kearifan Lokal dalam Beragama

27 Mei 2019   10:43 Diperbarui: 27 Mei 2019   10:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Muslim mana yang tidak mau kehidupan yang berkah? 

Salah satu caranya adalah berkiblat pada sunah Nabi. Bahwa mereka yang mengaku muslim sejati dan haruslah meniru cara hidup Nabi Muhammad SWA sampai serinci mungkin lalu mengolok dan memojokkan mereka yang tak menyerupai Nabi. Sungguh itu bukan cara dan pendekatan nan bijak, kata Dr. Abd. Moqsith Ghazali.

Ia melanjutkan bahwa kita yang berpuasa di masa sekarang ini sungguh beruntung karena masih diberikan kelonggaran untuk makan sahur sehingga dalam sehari kita masih bisa makan dua kali. 

Tidak seekstrim orang dulu yang kalau puasa cuma bisa makan sekali sehari saja dan begitu mereka terlewat waktu berbuka, mereka harus kembali berpuasa. Tanpa ampun. Tanpa keringanan.

Karena ada keluhan dari seorang pekerja di masa Nabi yang berpuasa tapi sempat terlewat masa makan sampai akhirnya pingsan, akhirnya turun wahyu untuk mengizinkan umat berpuasa dari malam hingga terbit fajar asalkan sepanjang matahari muncul, tidak makan dan minum dan melakukan tindakan-tindakan yang dilarang lainnya.

Itulah yang menjadi pembeda puasa yang dijalankan umat Islam dan umat agama Yahudi. Puasa umat muslim ada sahurnya (dan ironisnya ada sebagian umat muslim yang sengaja melewatkan sahur ini karena dianggap merepotkan dan saat dini hari tak merasa nafsu makan padahal kan itu sebuah kenikmatan yang hakiki dan berpahala pula), sementara puasa umat Yahudi tidak.

Sahur di zaman Nabi tak dibatasi imsak. Kenapa? Karena imsak itu baru muncul di masyarakat muslim belakangan saja. Nah, di Al Quran sendiri dijelaskan bahwa kita masih diperbolehkan makan dan minum hingga jelas benang hitam dan benang putih.

Mereka yang memaknai ayat tadi dengan literal atau harafiah pun makan sahur sambil menyiapkan sehelai benang hitam dan putih. Jika sudah bisa kentara bedanya dengan mata telanjang, mereka akan berhenti makan sahur.

Sementara itu, imsak adalah peringatan saja. Yang sudah di dalam mulut tidak perlu dimuntahkan tetapi tetap lanjut makan saja. Namun, jangan menambah menyuap makanan lagi. Justru harus siap-siap berhenti. Ibaratnya, imsak adalah lampu kuning dalam berkendara. 

Tapi karena budaya orang beda-beda, lampu kuning justru diinterpretasikan sebagai pemacu. Makan sebanyak-banyaknya saat imsak berkumandang dan baru benar-benar berhenti tatkala azan subuh. Nah, kalau masih makan saat dengar azan subuh, haruslah memuntahkan makanan itu tak peduli seberapa enak rasanya.

Cara Berbuka Sesuai Cara Nabi

Lalu bagaimana tata cara mengakhiri puasa yang dilakukan Nabi? Ya karena Nabi orang Arab dan tinggal di tanah Arab yang vegetasi alaminya adalah salah satunya pepohonan kurma, maka tak heran akalu menu berbukanya adalah buah kurma. 

Dan kurma yang kita banyak temui di toko-toko di sini sejatinya tak menyerupai kurma Nabi sama sekali karena kurma Nabi tidak dicelupkan ke cairan glukosa/ gula. 

Justru kurma Nabi atau yang disebut kurma Ajwa (mukjizat) bersifat padat dan berwarna hitam. Dan karena dikonsumsi Nabi itulah, harga kurma jenis ini dibanderol sangat tinggi. Di luar jangkauan akal. Harganya 3oo real per kg!

Asal muasal nama "Ajwa" atau yang artinya mukjizat ini karena dulu ada orang Yahudi yang memberikan biji kurma yang sudah kering dan dibakar dan jika Nabi bisa menanam dan menjadikannya hidup menjadi pohon, maka tak diragukan lagi Nabi Muhammad memang sebenar-benarnya nabi. 

Dan mukjizat itu memang nyata, karen a begitu ditanam Nabi Muhammad, biji kurma yang harusnya tak bisa lagi berkecambah karena sudah kering dan dibakar itu masih bisa tumbuh.

Karena menu mereka kebanyakan buah kurma itulah tidak heran juga jika sunah Nabi juga menyarankan kita makan dengan tiga jari. Tentu sunah ini akan tak berlaku di Indonesia karena kita makan bukan melulu kurma! Kalau kita makan takjil biji salak atau bubur ayam dengan tiga jari saja, bagaimana bisa?! Makanya, kita tidak mesti mematuhi sunah itu secara ketat dan literal.

Yang penting ternyata bukan kurma tetapi makanan apapun yang manis. Dan manis ini bukan berasal dari gula pasir atau bahan pemanis sejenisnya. Justru manisnya yang alami. Misalnya, ustaz menyebutkan, buah labu. 

Anda yang sudah terbiasa makan makanan manis mungkin akan bertanya:bagaimana bisa buah labu terasa manis? Blah! Hei, itu karena lidah kita terlalu banyak dijejali makanan manis buatan pabrik saat ini sehingga yang manis alami sudah terasa tawar.

Labu seperti apa yang disukai Nabi Muhammad? Tak disebutkan secara spesifik, karena dicemaskan nantinya labu tertentu juga akan melonjak harganya hanya karena disebut menjadi makanan favorit berbuka puasa Nabi Muhammad.

Kesukaan Nabi atas buah labu ini berawal dari hidangan buah labu yang hampir basi dari seorang tetangga beliau yang kebetulan beragama Yahudi (entah kenapa harus disebut agama si pemberi oleh si ustadz).

Entah karena bercanda saja atau memang serius, ustadz ini menyebutkan buah yang tak disukai Nabi ialah buah mangga. Alasannya mudah: karena buah mangga di Arab tidak ada dan kalaupun ada harganya mahal sekali karena mesti diimpor dari negara lain.

Jadi, kalau mau ikut sunah Nabi, jangan makan mangga! Mungkin begitu kesimpulan Anda tetapi ingatlah bahwa ketidaksukaan itu hanya karena mangga bukan buah lokal! Sehingga harganya selangit.

Maka, kalau kita memang mau mengikuti sunah Nabi, haruskah kita berbuka dengan kurma saja yang harganya bisa saja lebih mahal dan menghindari mangga yang malah lebih murah dan berlimpah ruah?

Berpakaian Cara Nabi

Kemudian sunah dalam  berpakaian. Tentu harus menutup aurat. Di masa Nabi, gradasi warna yang lazim ada hanyalah hitam, putih dan hijau. Warna-warna lain tak tersedia secara luas.

Lalu bagaimana dengan kita yang di Indonesia mengenal khasanah warna busana yang lebih majemuk? Haruskah kita membatasi diri dengan memakai busana yang cuma berwarna hitam, putih dan hijau saja?

Lalu dengan demikian apakah memakai busana dengan warna-warni yang tidak dikenal di zaman Nabi akan menjadikan pakaian kita tidak syar'i?

Tentu tidak. Karena semua itu cuma elemen fashion yang tidak esensial dalam ajaran religi. Mempermasalahkan hal-hal superfisial hanya membuang-buang waktu dan energi saja kan?

Hanya dengan membiarkan rambut Anda gondrong dan membelah sisirannya di tengah tak berarti membuat anda sesuai cara hidup Nabi karena ternyata cara memperlakukan rambut semacam itu juga didopsi oleh tokoh kafir Quraisy Abu Jahal dan Abu Lahab juga.

Cara Menyisir Rambut

Mau tahu cara Nabi menyisir rambut? Bayangkan Anda mengambil sisir lalu membelah tengah rambut Anda yang tergerai sebahu. Istri Nabi, Aisyah, pernah bertanya pada beliau mengenai inspirasi gaya rambut itu.

Nabi berkata yang intinya rambut gondrong itu diilhami gaya rambut pria Yahudi sementara belahan tengah itu dari kaum pria Nasrani.

"Itu artinya apa?" tanya si ustadz,"Nabi mengikuti perkembangan dunia fashion!"

Namun, apakah dengan begitu serta merta kita mengubah gaya rambut menjadi panjang dan dibelah tengah? Kalau kita hidup di masyarakat Indonesia modern yang menghargai kerapian pria, tentu memotong rambut menjadi pendek lebih dihargai daripada rambut panjang. 

Rambut panjang pada pria diasosiasikan dengan jiwa urakan, tidak disiplin, atau artistik. Mungkin gaya rambut semacam ini bisa diadopsi pria-pria yang bekerja di bidang tertentu tetapi jika bekerja di sektor formal, rasanya tak mungkin bisa. 

Mari Utamakan Kearifan Lokal dalam Beragama

Di sinilah, kearifan lokal juga diperlukan dalam beragama. Makin banyak umat Islam yang kukuh untuk meniru perilaku dan sikap Nabi dalam kehidupan tanpa memperdulikan konteks. Pokoknya asal meniru. Tidak peduli faktor lain. Dan ironisnya malah melupakan esensi dari cara hidup nabi itu sendiri, yakni arif, tidak memaksakan diri dan mengutamakan yang lokal.

Hendaknya kita jangan terlalu mudah menghakimi seseorang belum meniru cara hidup Nabi hanya dengan melihat aspek-aspek superfisial. Misalnya, jika seorang dosen ingin mengajar di kampusnya, apakah perlu menunggang unta dan menolak memakai sepeda motor hanya karena Nabi tak pernah menunggangi kendaraan bermotor sepanjang hidupnya? Tentu konyol.

Yang perlu kita pegang teguh adalah esensi cara, pandangan hidup beliau. Dalam hal ini kita harus meniru kegigihan dalam menyebarkan ilmu. Namun, cara menyebarkan ilmu itu tak melulu harus persis dengan Nabi di masa lalu. Cara-caranya bisa disesuaikan dengan kondisi kebudayaan, peradaban, dan iklim di sekitar kita. (*/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun